Monday, August 30, 2004

Piano Bu Meinar

Beberapa waktu yang lalu, Tika dan Erwin—di acara “Brakfast Club”-nya Kosmopolitan FM—membahas acara tv dan orang-orang yang, waktu mereka kecil dulu, banyak berpengaruh memberi kebahagiaan buat mereka. Salah satu dari nama yang mereka sebut adalah Ibu Meinar. Waktu itu, karena memang stasiun televisi cuma ada satu, TVRI, setiap anak yang besar di era 70-an dan awal 80-an pasti pernah nonton acara-acara seperti “Ayo Menyanyi”-nya Ibu Fat, “Lagu Pilihanku”-nya Bu Mul, dan “Taman Indriya”-nya Ibu Kasur. Dalam acara-acara ini, pemain piano yang selalu mengiringi adalah Ibu Meinar. Nggak heran nama ini jadi akrab buat, bahkan, orang seperti Tika dan Erwin. Gue masih inget kalo setiap acara itu, para pengasuhnya selalu memanggil nama “Bu Meinar” untuk memberi tanda beliau mulai bermain piano.

Dan hari ini, gue baca blognya Leo yang ngebahas romantisme TVRI dan salah satu nama yang dia tulis di sana adalah Ibu Meinar. Ini bikin gue pengen menulis tentang orang yang, kebetulan, gue kenal secara pribadi ini. Orang yang udah berpengaruh banyak buat kehidupan dan pembentukan pribadi gue. Bukan cuma itu, Ibu Meinar adalah orang yang memberi nama waktu gue lahir, Rinaldo. Beliau adalah orang pertama yang menanamkan kecintaan terhadap musik secara umum, dan klasik khususnya.

Bu Meinar, begitu dia dikenal semua orang, termasuk keluarga, adalah tante gue, kakak sepupu papa. Dia adalah guru musik di SPG Negeri I dan mengajar piano untuk anak-anak secara privat, selain tampil dalam berbagai acara televisi. Kalo gue nggak salah, dia lahir tahun 1931, jadi umurnya udah sekitar 73 tahun. Salah satu orang paling disiplin yang gue kenal, maklum didikan Belanda, tapi sabarnya luar biasa. Dan di usianya yang sekarang, dia masih tetap aktif mengajar piano—walau muridnya nggak sebanyak dulu—dan terkadang jadi juri lomba menyanyi anak-anak.

Waktu gue SD, dia sedang giat mencari "penerus" keterampilannya bermain piano di kalangan keluarga. Terutama setelah anaknya yang paling berbakat, Pak Cik Budi, kecelakaan ditabrak truk sewaktu hendak ke rumah Titiek Puspa di Jalan Surabaya—yang nggak jauh dari rumahnya di Manggarai—dan koma selama tiga bulan dan berakhir tragis, kesimbangannya rusak, dia harus menderita tremor permanen sehingga nggak mungkin bermain piano dengan baik lagi. Hebatnya Pak Cik ini, cacat-cacat juga masih bisa bikin beberapa lagu anak-anak. salah satunya, “Anugerah”, yang liriknya, "Alam terhampar di bumiku ini, ...".

Sedangkan anaknya yang pertama, Bang Oce, hopeless. Nggak punya ketertarikan sama sekali dengan piano. Dan dia meninggal tahun lalu karena lever sementara anak-anaknya yang dua orang—cucu-cucu Ibu—juga nggak ada yang tertarik dengan piano. Dan Bu Meinar cuma punya dua anak, jadi kemana lagi dia mesti cari penerus kalo bukan ke keponakan2nya.

Satu demi satu keponakannya—yang lebih tua dari gue—diajarin piano, tapi satu demi satu gugur. Berhenti di tengah jalan, Beyer juga banyak yang nggak kelar (Beyer Opus 102 itu buku panduan belajar piano klasik pertama yang dipake banyak orang). Dan ketika gue kelas empat SD, gue mulai merengek ke bokap-nyokap pengen belajar piano karena gue udah bosen main pianika. Tapi, karena piano harganya mahal, mama bilang, dia mesti menabung dulu. Nyokap gue tercinta memenuhi janjinya, kelas V SD gue dibeliin piano.

Mulailah gue belajar dari Tante gue itu. Gue inget, jadwal kursus gue itu dimulai setelah murid piano Bu Meinar yang sekarang ngetop, Shahnaz Haque. Tapi, waktu itu, gue mana kenal dia. Yang gue tahu, sapa nih cewek, lucu banget (ehem, awas ada yang protes!). Dua kali seminggu gue naik bus ke Manggarai, ke rumah Bu Meinar buat belajar piano, setelah Shahnaz… hmmm… dia masih inget gue nggak ya? Hihi… nggak mungkin bang-get.

Ada satu kejadian kecil yang gue inget yang berhubungan dengan Shahnaz selama gue belajar sama tante gue itu. Satu sore waktu gue udah sampe rumah Bu Meinar sementara Shahnaz belum selesai latihan. Dia memainkan satu lagu yang di telinga gue kedengaran begitu asyik dan ceria. Dan gue pun menyela latihan mereka dan bertanya ke Ibu lagu apa yang dilatih Shahnaz. Ibu bilang, lagu itu Beyer No. 96. Dan karena gue menyela waktu latihan, Ibu pun memperkenalkan gue kepada Shahnaz. Impresi gue, dia sangat ramah dan baik. Rambutnya dikuncir kuda dan senyumnya manis.

Balik ke Beyer No. 96 itu, gue masih lama baru akan belajar lagu itu, tapi gue penasaran pengen bisa. Di rumah, gue latihan sendiri lagu itu dan ketika gue udah bisa, gue maenin. Bu Meinar kaget ngelihat gue udah bisa tanpa diajarin, akibatnya banyak lagu di Beyer yang dia lompatin.

Ketika udah kelar Beyer, Ibu bilang kalo gue lebih baik kursus di sekolah musik yang bagus, dan gue pun ikutan audisi masuk YPM (Yayasan Pendidikan Musik) yang dipimpin oleh dua orang pianis kondang Indonesia, Rudy Laban dan Iravati Sudiarso. Gue berhasil masuk kelas satu. Tapi waktu itu gue mulai bosan, sifat jelek itu membuat gue mulai sering bolos. Kelas dua gue berhenti dan istirahat dari piano selama setahun sebelum masuk Yamaha. Setahun di Yamaha, gue berhenti lagi setahun.

Waktu SMA, gue belajar piano privat dengan Tante Fat (atau Ibu Fat, pengasuh acara “Ayo Menyanyi” itu, yang juga adalah guru piano). Gue belajar dengan almarhumah Tante Fat—beliau meninggal dunia beberapa tahun lalu karena kanker—selama dua tahun. Gue berhenti di kelas lima—kurikulum YPM—dan nggak pernah menyentuh piano lagi setelah itu.

Pupus sudah harapan Ibu Meinar buat mencari seorang pianis di kalangan keluarga. Ketika gue memutuskan berhenti main piano, dengan sedih dia menyesalkan gue. Apalagi di antara semua keponakannya, pelajaran piano gue adalah yang paling jauh. Katanya lagi, gue punya bakat dan sayang kalau gue memutuskan buat berhenti. Dia bilang, gue nanti akan menyesal berhenti belajar. Tapi waktu itu, gue bosan banget main piano. Dan dengan bebal gue tetap mutusin buat berhenti.

Dan sekarang, sewaktu gue menulis ini, gue pengen bilang ke Ibu Meinar kalo dia benar dan gue sangat menyesal. Nggak seharusnya gue berhenti belajar karena gue sangat menyukainya. Tapi ketidakdisiplinan gue dan sifat pembosan gue dari dulu emang jadi penghalang gue maju. Lima belas tahun kemudian, keputusan gue untuk berhenti belajar piano akan menjadi salah satu penyesalan terbesar gue.

Setiap gue menonton resital piano klasik dan melihat Ananda Sukarlan, Wibi Suryadi, almarhun Yazeed Yamin, Iravati Sudiarso, Rudy Laban, dan pianis-pianis manca negara bermain, gue hanya bisa mengagumi mereka karena gue tahu, butuh lebih dari sekedar bakat buat bisa bermain piano sehebat itu. Disiplin dan kegigihan lebih menentukan.

Gue ingat waktu pertama kali Ibu mengajak gue menonton resital piano. Waktu itu seorang pianis Inggris, gue lupa namanya, menggelar konser di auditorium S. Widjojo Centre. Gue nonton bareng bokap-nyokap dan Bu Meinar. Dan itu adalah momen-momen penting kehidupan musikalitas gue.

Saat ini, piano tua di rumah Bu Meinar semakin jarang dimainkan, sedangkan piano di rumah gue udah ‘out of tune’. Sementara, jari-jari gue udah terlalu berkapur buat belajar piano lagi. Gue sempat nyoba belajar dua tahun lalu sama sahabat gue, Marvi, yang emang jagoan abis itu, tapi gue sadar, gue udah susah maju. Cuman latihan tiga kali dan gue berhenti. Gue selalu mengulur waktu antara satu kursus ke kursus berikutnya karena gue jarang latihan di rumah. Dan sebagai murid, gue jauh lebih galak daripada Marvi, gurunya, hehe…. Sementara Marvi memang anak yang kelewat sabar dan pasrah menghadapi ulah temannya (Vi, lo mestinya lebih keras sama gue, lo udah tahu adat gue kan?). Alhasil, baru belajar tiga lagu, apa empat ya, gue berhenti. Kemudian gue memutuskan buat kos, dan kesempatan belajar piano lagi jadi terasa semakin jauh.

Dan piano di rumah cuma jadi pajangan.

Old posting and comments

1 comment: