Friday, November 19, 2004

Bonjol, nagari pahlawan di titik nol

Hayoo... sapah yang masih inget nama Peto Syarief? Kalo Tuanku Imam Bonjol? Sami mawon, tahu. Pahlawan asli Nagari Bonjol yang ngelawan Belanda blablabla... pada tahun... dan wafat... duh, lihat buku sejarah aja kali yee...

Terakhir gue ke Bonjol tahun 1996, udah lama banget kan? Waktu itu, museumnya baru dibangun dan gue nggak sempat lihat. Tapi sekarang, museum itu udah berdiri megah dengan patung Tuanku Imam Bonjol di depannya. Isinya adalah berbagai memorabilia yang dipakai Tuanku Imam hidup dan berjuang pada zaman itu, mulai dari meriam sampe kostum. Juga ada relief perjuangan beliau yang dipahat di batu. Serasa di candi aja. Juga ada silsilah keluarga, surat pengangkatan jadi Pahlawan Nasional, dan berbagai buku yang membahas tentang kehidupannya.

Museum itu sendiri dibangun persis di titik nol derajat alias garis khatulistiwa. Yup, Bonjol adalah salah satu daerah yang dilewati equatorial line. Mo tahu yang laen? Lihat pelajaran geografi SMP gimana:P? Di depan museum ini udah dibangun sebuah monumen dengan jembatan yang kalo kita berdiri dan jalan di atasnya maka seolah-olah kita sedang melintasi garis lurus khayalan yang ngebelah bumi jadi dua itu. Dulu garis itu cuma ditandai dengan sebuah monumen persis di pinggir jalan lintas Sumatra ke arah Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Tapi sekarang, monumen itu diruntuhkan dan dibangun semacam bola dunia besar yang dibuat di salah satu ujung jembatan.

Sayangnya, semuanya, enggak museum enggak monumennya, nggak ada yang dirawat dengan baik. Kotor, penjelasan yang minimal, bola dunia yang udah rusak, dinding yang kusam, robek sana, robek sini, duh, nggak kerawat banget sih ini tempat. Padahal kalo dipelihara mestinya bisa jadi objek wisata yang menarik.

Sayang.





Old posting and comments

Wednesday, November 17, 2004

Bokap gue seorang petani

Hampir dua tahun lalu, bokap gue memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya setelah pensiun di Bonjol, yang letaknya sekitar satu jam ke arah utara Bukit Tinggi, dengan satu cita-cita: jadi petani coklat. Dia pun membeli tanah sepuluh hektar dan sekitar 10.000 bibit coklat. Sekarang, setelah satu setengah tahun, dia udah menanam di lahan seluas sembilan hektar dengan jumlah bibit sekitar 9000-an batang.

“Lebaran tahun depan, kalo kamu balik, mungkin udah ada yang berbuah,” kata bokap. Sekarang aja udah ada yang berbunga.

Ini namanya bibit coklat (gue juga baru tahu)


Kayak begini toh bunga coklat


Bibit-bibit itu biasanya mulai berbuah dalam waktu tiga tahun. Mangkenye, dalam acara pulang kampung Lebaran ini, kunjungan ke kebun itu udah pasti masuk daftar kegiatan yang wajib gue kerjain, di luar kunjungan kenegaraan ke rumah sodara2.

Kebun itu letaknya di atas bukit. Terbagi dalam tiga wilayah. Hari kedua Lebaran gue datang ke salah satunya, di daerah Laru Satu.

Sebelum naik ke bukit, gue dan keluarga gue mandi di kali. Ada yang pernah mandi di kali/sungai? Buang pikiran kali ato sungai itu kayak di Jakarta. Airnya bersih dan dingiiiiin banget. Abis itu kita piknik di tepi sungai. Tapi baliknya, nggak semua orang ikut naik ke atas bukit buat lihat kebun coklat. Cuma gue dan dua keponakan tertua, bokap, dan Cece—keponakannya Mbak Lena (lihat Mbak Lena Tonggos)—ditemenin sama beberapa orang sodara asli made in Bonjol. Yang lain—kakak gue, adik ipar, dan anak-anaknya yang masih kecil—pada pulang semua.

Airnya dingiiinnn tapi segerrrrr banget!

Udara sejuk, abis mandi, laperrrrrr


Untuk mencapai kebun itu, kami harus ngelintasin jembatan gantung yang goyangannya dahsyat. Lumayan bikin deg-degan lah. Setelah itu, kami mesti mendaki lumayan tinggi sebelom sampe di dangau tempat bokap biasa istirahat. Di depan dangau, bokap membendung aliran mata air yang mengalir menjadi sebuah kolam yang di dalamnya dia sebar ikan.


Goyangan maut, kepeleset, byuurr!!!

Begaya FM dulu dong ah


Gue nggak heran bokap gue turun beratnya banyaaaak banget sejak pindah ke kampung. Perutnya udah nggak sebuncit dulu. Udara segar, olah raga rutin naik turun bukit, makanan segar, dan semua yang segar-segar bikin jantungnya sehat dan nggak bermasalah sejak operasi bypass-nya dulu sukses. Nyokap juga sehat cuma jadi rada iteman. Bokap sih emang udah item, jadi nggak ngefek. Hmmm... kayaknya tinggal di kampung nggak segitu sengsaranya ya, apalagi listrik di Bonjol nggak kelewat sering pet, udah ada air PAM pula. Top lah.


Kolam ikan di samping dangau


Dangau tempat bokap istirahat

Sementara bokap dan yang lainnya istirahat di dangau, gue naik ke atas bukit, sendirian. Gue berhasil sampe puncak. Keringetan. But it’s worth it. Pemandangannya, wow, keren. Gue dikelilingin bukit-bukit hijau dan langit biru. Udaranya segar dan setiap tarikan nafas menghilangkan kepenatan naik puncak dengan cepat.


Gue layangkan pandangan ke bawah dan gue lihat pohon coklat di mana-mana. Kebun coklat yang gue lihat ini adalah yang paling kecil dari tiga kebun yang dimiliki bokap. Tapi ngelihat lokasinya, kebayang sama gue kerasnya usaha bokap membuat semua impiannya ini jadi nyata. Menanam 9000-an batang di lahan berbukit seluas 9 hektar! Dan itu berhasil dilakukan bokap gue yang hampir dua pertiga hidupnya jadi pegawai kantoran biasa!


Di puncak Bukit Laru

Kebon coklat di Bukit Laru


Damn, I’m so proud of my dad! Bokap udah menjawab semua keraguan orang, termasuk nyokap dan adek-kakak gue, sodara-sodara, termasuk orang kampungnya sendiri. Di keluarga yang mendukung penuh usaha bokap adalah gue dan adek gue yang tengah. Kakak dan adek bungsu gue ikut nyokap yang terlalu khawatir dengan beratnya kerjaan, di samping resikonya ngerjain sesuatu yang sama sekali baru.


Sebagai orang yang biasa dagang coklat (bokap dulu kerja buat Cargill—perusahaan Amerika di Makassar yang merupakan salah satu pemasok coklat terbesar dunia), bokap emang ngerti teorinya menanam yang baik, tapi prakteknya kan nol. Kerjaannya dulu adalah beli coklat dari petani dan dijual di pasar komoditi. Dulu pedagang, sekarang petani sambil tetap berdagang. (Padang banget nggak seh?)


Papan nama di gudang coklat bokap

Pernah lihat biji coklat? Kayak gini nih bentuknya


Sementara nyokap gue sih cuma pengen ngabisin pensiunnya buat main sama cucu dan tetap mengajar. Kalo aja bokap pindah ke Padang, ia bisa ngajar di Unand ato Akademi Gizi Padang. Di Bonjol? Dia bingung mau ngapain. Tapi gue bilang sama nyokap, bokap nggak akan bisa hidup tanpa kerja, dan di Jakarta dia nggak tahu mau ngapain. Dan dibanding nyokap yang mudah beradaptasi di mana aja dan dalam lingkungan apa aja (secara nyokap gue itu kan sanguinis berat), bokap gue adalah orang yang kaku dan disiplin alias koleris. Bokap nggak gampang menyesuaikan diri dengan kepensiunannya.

Bener aja, sementara bokap gue nanam coklat, nyokap gue udah menyesuaikan diri dengan seribu satu kegiatan. Jadi bendahara majelis taklim, bikin Taman Pengajian Alquran (dan gue ditodong jadi penyumbang tetap dan sekarang gue MENGHIMBAU teman-teman kalo ada yang mau ikutan nyumbang bisa japri lewat gue ya), serta menanam dan menjual kaktus, yang ternyata tumbuh bagus di daerah khatulistiwa seperti Bonjol. Nyokap gue, seperti gue duga, sukses beradaptasi.

Kaktus-kaktus nyokap


Mushalla tempat TPA yang diasuh nyokap belajar


Dan gue nggak sabar nunggu panen.

Old posting and comments

Monday, November 15, 2004

Taluk, nagari serba (tak) ada

Jumat malam, sehari setelah tiba di kampung, gue ikut abang ipar pergi ke wartel di daerah Batang Kapas yang jauhnya tujuh kilometer dari Taluk untuk menelepon rumah dan Si Jawa. Duh, hapenya nggak bisa dihubungi. Telepon ke rumah, “belom datang,” kata nyokapnya.

Gue telepon Kenny dan minta dia buat sms Si Jawa. “Hmmm... bagus ya, gue jadi serep,” katanya ngeledek gue. Ya, gimana dong, itu gunanya teman, bukan?

Malamnya gue nggak bisa tidur dan, terima kasih untuk mesin gen set-diesel milik orang yang mengontrak tanah di sebelah rumah nyokap buat usaha meubelnya, listrik di rumah gue tetap menyala walaupun satu kampung gelap.


Taluk, kampung halaman nyokap gue, emang rada ketinggalan dalam banyak hal. Ingatan gue tentang kampung ini adalah ingatan delapan tahun lalu, waktu terakhir gue berkunjung. Gue memang sempat pulkam tahun 1999 dan 2003, tapi cuma sampe Padang dan Bukit Tinggi.

Dan kemarin, malam pertama gue di kampung, beberapa tatuo kampung datang dan ngobrol bareng nyokap dan mamak gue. Nyokap bilang, mereka ngobrol sampe jam satu pagi. Sementara gue ngobrol sampe jam setengah sebelas Bang Eri, abang ipar gue dan kakaknya si Jon (lihat Kalau orang Minang kasih nama), si Iwin. Salah satu topik adalah ke(tidak)majuan Taluk, nagari tacinto ini. Dan secara gue adalah banceh ring-ring yang nggak bisa hidup tanpa alat komunikasi, gue pun bertanya soal telepon yang masih belum juga masuk kampung.

Iwin bercerita bahwa ketika Telkom membangun sambungan telepon di daerah Kabupaten Pesisir Selatan, maka sambungan itu seolah lewat begitu saja dan ngelongkapin nagari Taluk ke nagari selanjutnya.

“Kok bisa?” gue keheranan campur jengkel sama Telkom yang udah bikin hidup gue susah jalan hujan-hujan ke wartel-tujuh-kilo jauhnya cuma buat nelepon. Boro-boro maen internet dan buka blog!

“Nggak ada yang ngurus,” jawab si Iwin.

Duh, miris gue ngedengernya. Segala kemudahan kota yang biasa gue dapet merupakan kemewahan di sini. Listrik yang jarang pet dan nggak harus ngandalin gen-set diesel, punya orang pula. Telepon biasa sampe mobile yang hampir semua orang punyayang mati cuma kalo belom bayar ato kehabisan pulsa—sehingga orang nggak harus jalan tujuh kilometer hanya untuk pergi ke wartel. Mau air tinggal buka keran dan nggak perlu menimba sumur gara-gara listrik mati, pompa nggak bekerja, dan PAM nggak ada.

Dan gue cuma bisa menulis sambil berharap mudah-mudahan dieselnya nggak kehabisan solar.



Jalan utama Nagari Taluk dan sungai yang membelah nagari jadi dua.

Old posting and comments

Sunday, November 14, 2004

Suara termerdu

Suara siapakah yang termerdu di dunia ini? Kita bisa berdebat panjang mulai dari nentuin definisi merdu sampe seribu satu kategorisasinya. Siapapun bisa punya pilihan sendiri. Tapi, pagi itu, di tengah belantara hutan Bukit Barisan, gue sadari bahwa suara terindah dan termerdu itu adalah suara yang dilantunkan dengan segenap kasih dan cinta. Buat gue, suara seorang ibu adalah suara termerdu dan terindah di dunia.

*

Jam lima pagi. Matahari belum terbit, gelap. Gue udah nyetir sekitar sepuluh jam dan lama nggak berpapasan dengan satu mobil pun. Keponakan-keponakan gue yang besar, Fauzan dan Iqbal, tertidur di belakang bersama Cece, anak asuh kakak gue. Fifi, anak adek kakak ipar gue, juga tertidur sambil bersandar di samping ibunya, di bangku tengah.

Tiba-tiba dua keponakan gue yang terkecil bangun dan rewel. Mereka menangis berebutan mamanya.

“Abang Faiqal, di depan sama Papa ya, Nak. Nanti kalo Mama udah nidurin Adek Aydin, Abang sama Mama.”

“Nggak mau,” Faiqal menangis sambil memukul adiknya.

“Sama Papa aja ya, sayang,” Papanya coba membujuk.

“Huaaa....”

Tangis itu makin keras. Aydin juga nggak mau kalah. Mereka berdua koor tangis.

“Ya udah, Abang Mama gendong di kanan, Adek di kiri ya, ntar Mama nyanyiin. Tapi abang ikut bobo ya. Jangan main lagi”

Kakak gue pun menggendong Faiqal di kanannya yang berbaring sambil meminum susu dari botol dan kain lapuk. Aydin meminum susu sembari memilin-milin rambut mamanya, kebiasaannya setiap mau tidur. Dengan lirih dan lamat-lamat, kakak gue meninabobokan kedua anaknya, “Faiqal bobo, Faiqal mau bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk....”

Suara kakak gue bukan cuma biasa banget, tapi sering kali sumbang. Pernah, waktu SD ada pemilihan anggota paduan suara buat ikutan lomba, kakak gue nggak terpilih. (sementara, maaf ya, gue terpilih dan paduan suara SD gue jadi juara dua lomba paduan SD se-Jakarta Timur, hihi... sorry, dear sister) Dia sedih dan menangis. Padahal dia udah ikutan kursus nyanyi—secara kakak gue emang banceh kursus, semua kursus dia ikutin—tapi nggak banyak nolong memperbaiki kemampuannya nyanyinya.

Tapi, pagi itu, buat dua anaknya yang kelelahan, suara kakak gue terdengar merdu. Dan suaranya bisa menenangkan mereka, dan nggak lama mereka terlelap. Somehow, mendengar suara kakak gue nyanyi buat anaknya, dengan pitch control yang nggak kejaga, tangga nada yang atonal, di pagi buta, gue teringat suara nyokap yang juga suka menyanyi buat gue sebelum tidur. Suara nyokap gue yang lembut menyanyikan lagu yang sama selalu bisa bikin kegelisahan gue hilang. Gue akan berhenti menangis dan terbang ke alam mimpi.

Gue kangen nyokap.



Kalo Aydin dan Faiqal mau tidur


Old posting and comments

Saturday, November 13, 2004

POEM-Rindu

Rinduku rindu cakrawala kepada mentari

Yang membenamkannya

Bulat-bulat

Rinduku rindu ombak kepada pantai

Yang mengikis pasirnya

Butir demi butir

Rinduku rindu nyiur kepada angin

Yang melambaikan pucuknya

Ayun-mengayun

Rinduku rindu nelayan kepada laut

Yang berseru dalam setiap lamunan ombak

Yang berbisik dalam desahan angin

Hingga biduk menjejak buih

Melarungkan buritan

Menentang angin

Ke tempat surya melongokkan kepala

Rindu itu kan berlabuh

Pantai Taluk, kala rindu dan samudera bersekutu

Rinduku rindu cakrawala kepada mentari

Yang membenamkannya

Bulat-bulat

Rinduku rindu ombak kepada pantai

Yang mengikis pasirnya

Butir demi butir

Rinduku rindu nyiur kepada angin

Yang melambaikan pucuknya

Ayun-mengayun

Rinduku rindu nelayan kepada laut

Yang berseru dalam setiap lamunan ombak

Yang berbisik dalam desahan angin

Hingga biduk menjejak buih

Melarungkan buritan

Menentang angin

Ke tempat surya melongokkan kepala

Rindu itu kan berlabuh

Pantai Taluk, kala rindu dan samudera bersekutu




Old posting and comments

POEM-Rindu

Rinduku rindu cakrawala kepada mentari

Yang membenamkannya

Bulat-bulat

Rinduku rindu ombak kepada pantai

Yang mengikis pasirnya

Butir demi butir

Rinduku rindu nyiur kepada angin

Yang melambaikan pucuknya

Ayun-mengayun

Rinduku rindu nelayan kepada laut

Yang berseru dalam setiap lamunan ombak

Yang berbisik dalam desahan angin

Hingga biduk menjejak buih

Melarungkan buritan

Menentang angin

Ke tempat surya melongokkan kepala

Rindu itu kan berlabuh

Pantai Taluk, kala rindu dan samudera bersekutu

Rinduku rindu cakrawala kepada mentari

Yang membenamkannya

Bulat-bulat

Rinduku rindu ombak kepada pantai

Yang mengikis pasirnya

Butir demi butir

Rinduku rindu nyiur kepada angin

Yang melambaikan pucuknya

Ayun-mengayun

Rinduku rindu nelayan kepada laut

Yang berseru dalam setiap lamunan ombak

Yang berbisik dalam desahan angin

Hingga biduk menjejak buih

Melarungkan buritan

Menentang angin

Ke tempat surya melongokkan kepala

Rindu itu kan berlabuh

Pantai Taluk, kala rindu dan samudera bersekutu


Friday, November 12, 2004

Suka Jawa

Dalam perjalanan kemarin ini, pas lewat di daerah Lampung Selatan, gue menemukan satu daerah yang namanya sangat full pede: Suka Jawa. Gue pun mengirim sms ke salah seorang Jawa yang pedenya selangit: ”Aku baru nyalain hape di Kab Lampung Selatan, terus lihat papan nama restorang n syok! Nama daerahnya: Suka Jawa! Amit2 deh transmigran2 narsis ini:P!”

Si Jawa jawab: “Ngaku aja kalo kangen aku:D. Wah, kamu langsung inget aku dong:), secara kamu emang suka Jawa banget hehe... Miss u.”

Ya, inilah contoh Jawir narsis yang gue rasa keturunan dari para Jawir narsis van Lampung ini! Tapi sms itu bikin gue kemudian kepikiran tentang orang-orang Jawa yang gue kenal. Secara gue nggak ada kerjaan nungguin sahur di kampung nyokap yang sepi sementara siangnya kebanyakan tidur, gue jadi terusin lanturan gue ini.

Dan gue mulai berhitung.

Orang Jawa itu jumlahnya sekitar 100 juta, sedangkan penduduk Indonesia sekitar 220 juta. Boleh dibilang, setengah penduduk Indonesia adalah orang Jawa. Nggak heran mereka ada di mana-mana, termasuk Lampung. Apalagi sejak program transmigrasi yang merajalela di zaman Orde Baru itu, orang Jawa mulai menclok di Sumatra, Kalimantan, sampai Irian.

Dengan demikian,logika sederhananya, dari dua orang teman yang gue miliki, maka satu orang adalah orang Jawa. Tapi, coba gue hitung ya, hmm... sahabat SD gue adalah dua orang Betawi, satu orang Sunda. Di SMP gue akrab dengan satu orang Minang-Palembang, satu orang Sunda, satu orang Minang. Sahabat SMA gue itu satu orang Bugis, satu orang Sunda-Betawi, satu orang Minang-Palembang. Di kuliah, gue paling temenan dengan satu orang Minang dan dua orang Minang-Jawa.

Sedangkan di dunia kerja tempat gue akrab dengan Rio’s Angels, mereka terdiri atas satu orang Minang, satu Batak-Jawa, satu Jawa. Di tempat kerja lain gue akrab dengan satu orang Sunda, satu orang Arab, dan satu orang Aceh.

Udah ah, gue capek ngitung. Tapi dari sampel sekian banyak aja (18 orang), orang Jawa yang gue kenal baik dan akrab ternyata nggak sebanyak seharusnya, lima puluh persen dari jumlah teman gue, melainkan cuma dua setengah orang! (hehe... ada ya orang yang cuman setengah?) Secara gue tinggal di Jakarta yang plural dan bisa jadi representasi angka nasional, seharusnya logika sederhana 1:1 itu bisa diterapin. Lain kalo gue tinggal di Jogja, perbandingan teman Jawir dan non-Jawir gue mungkin bisa 2:1, bahkan 4:1!

Jadi, bagaimana mungkin perbandingan teman Jawir dan Non-Jawir gue ternyata 1:6 (dibuletin) dengan jauh lebih banyak teman non-Jawir gue (Hmmm... gue mesti cek sensus penduduk Jakarta nih, apakah perbandingan jumlah suku Jawa dan lainnya di ibukota ini emang nggak sebesar angka nasional?). Berarti cuma sekitar 16% persen teman gue yang Jawir, jauh banget di bawah angka nasional kan?

Wooii... para Jawanis, lo pade kemane sih? Ini gue yang nggak mau temenan sama lo-lo pade ato, jangan-jangan, mereka yang males temenan sama gue? Kenapa juga? Gue kan anaknya asyik getoh lho *rendah hati mode on* (eh, salah ya:P?). Trus kalo nggak, apa iya gue suka milih teman berdasarkan suku, agama, ato blabla basi lainnya? Nggak ah, gue menolak keras! Itu nggak gue bangget!

Terus gue coba telusuri dari sudut pandang lain.

Ternyata, anehnya, angka itu berubah drastis kalo bicara tentang orang yang ‘dekat’ dengan gue. Kalo kategorisasinya adalah mulai dari yang sukses ‘jadian’ sama gue, terlepas lamanya, sampe yang bentuknya nggak jelas kayak di TK sewaktu gue hanya suka ngegangguin satu orang cewek. Mulai dari rambutnya gue tarik, bukunya gue coret, banyak deh, tapi gue juga paling dekat sama dia sampe kita dipasangin apa-apa sama-sama. Pawai bareng kita pasti pasangan pakaian adat yang sama, sampe dipasangin nari bareng segala (akhirnya itu anak beneran jadi penari serius sampe ngelanglang buana kemana-mana getoh).

Nah, kalo definisinya gue buka seluas ini, maka... sebentar... *simpoa mode on*. TK, Jawir, SD enam tahun akrab dan bersaing dengan Jawir. Di kelas dua SMP gue dekat dengan seorang Jawir dan kerjanya nyontek ke dia melulu dan dia selalu ngasih semua jawaban yang gue minta. Ketika rapor dibagiin dia juara tiga dan gue juara... satu! Nggak adil ya, tapi begitulah hidup. Kelas tiga kita ‘putus’ gara-gara dia pindah ke Tegal dan gue pun berpaling ke Jawir yang lain.

Di kelas tiga SMP juga gue baru mulai pake sok bilang sayang segala dengan si Jawir dan sering pulang bareng sampe akhirnya kita punya julukan Kopi Susu (Jelas banget kan kenapa?). Sementara di SMA, gue ‘dekat’ dengan seorang Jawir (kelas 1) dan satu orang Minang (kelas 2), dan waktu kuliah gue cuma suka sama satu cewek Minahasa.

Tapi semua hubungan yang bisa dibilang serius—yang ngelibatin cucuran darah dan air mata*hiperbolis mode on*— terjadi pasca kuliah waktu gue ‘dekat’ dengan satu orang Betawi, terus seorang China plus naksir berat dan ditolak sama satu orang Arab.

Setelah masa paceklik Jawir ini, gue seperti kembali ke selera asal ketika tiga kali terakhir gue ‘suka’, semuanya Jawir! Pertama, jadian terus putus, lalu naksir Jawir belagu (abis gue ditolak sih, nggak sopan memang itu orang! Beraninya!—lho kok ngamuk:P?), sebelum akhirnya ‘dekat’ dengan orang Jawa yang lain lagi.

Berapa tuh angkanya? Kalo ngitung total termasuk yang nggak jelas kayak waktu TK ato SD, orang yang gue ‘suka’ dan Jawir berbanding yang bukan adalah 4:1 ato 80%. Tapi kalo cuma ngitung ketertarikan serius yang cuma terjadi pasca kuliah, angkanya jadi 1:1 alias 50% ato sama dengan angka nasional! (Akhirnya...)

Dan gue nggak bisa ngejelasin dengan puas kenapa bisa ada perbedaan mendasar antara jumlah orang Jawa yang jadi teman gue dan yang gue ‘suka’. Jadian atopun nggak. Kalo lihat trennya malah lebih gawat karena gue kok akhir-akhir ini suka Jawa melulu ya?

Gue rasa gue dipelet.


Old posting and comments

Thursday, November 11, 2004

Aksi lima bocah

“Pa, gedein ac-nya! Fauzan kepanasan”
“Oom, kecilin ac-nya, Iqbal dingin nih!”
“Iqbal, pake jaket aja!”

“Abang nih Ma! Adek ditendang,” Iqbal menjerit.
“Abang! Mama cubit kamu ya?!”
“Habis aku laper,” Fauzan membalas. “Kalo aku laper, aku maunya gangguin orang biar lupa lapernya!”
“Oohh gitu ya,” kata gue. “Oom Yoyok puasa, jadi bukan Abang aja yang laper, Oom juga. Kalo Oom laper, Oom maunya jitak orang biar lupa. Oom Yoyok jitakin kamu aja ya? Ayo Iqbal, Fifi, Cece, kita jitakin Fauzan! Serbuuu!!!”
“Enak aja!”
“Kamu yang enak aja!”
“Ma, tolong, Oom Yoyok nih!”
“Bodo,” kata mamanya.

“Yoyok, pipis,” kata Faiqal—sambil pipis di pangkuan gue.
Jins gue basah, pesing.

“Mau bobok sama mama!”
“Huaaaaaaa....”
Faiqal dan Aydin menangis.
Berebut mamanya.

“Huaaa...”
“Susu!”
“Berapa sendok? Airnya berapa banyak?”
“Tiga perempat air, susunya tiga sendok aja.”
Di tengah gelap, guncangan mobil, sumpeh lo, susu tumpeh di dada lo!
Dada gue basah air susu.

“Ke depan sama Oom,” kata Faiqal.
Pindah ke depan.
Dua menit.
“Sama mama.”
Pindah ke belakang.
Lima menit.
“Mau lihat sapi.”
Pindah lagi ke depan.
Kok nggak ada capeknya sih, Faiqal?

“Bau apa nih?”
“Aydin ee! Berhenti!”
“Oom Yoyok, tolong ambil air aqua, tisu basah sama pampers ada di tas.”
Sejam kemudian.
“Cari mushalla! Air habis.”
Hah? Aydin beol lagi?
Lima belas menit sampe ketemu mushalla, dan bau itu, oh bau itu.

“Hahahaha... hueeeeekkk....”
“Makanya Fifi jangan ketawa melulu, muntah kan!”
“Hueeeeekkk....”
“Udah muntahnya?”
“Udah.”
“Jalan, Oom Yoyok.”
Gigi satu. Gas. Angkat kopling.
“Hueeeeekkk....”
Lha? Katanya udah!

40 jam.

Old posting and comments

Wednesday, November 10, 2004

Satu langkah

Perjalanan seribu li dimulai dengan satu langkah kaki (Pepatah China).

Pepatah atau peribahasa ini adalah salah satu pepatah atau peribahasa kesukaan gue. Sejak tahu peribahasa ini, entah kapan, gue selalu mengingatkan diri sendiri kalau malas gue kumat, atau disiplin gue drop, bahwa segala pekerjaan besar, seberat apapun, dimulai dengan perbuatan kecil. Hebatnya pepatah ini, dia bisa diterapkan secara harfiah maupun kiasan. Kalo mau sampe kantor, ya gue kudu mulai dengan melangkahkan kaki keluar kamar. Tapi, untuk bisa menyelesaikan skripsi—yang gue kerjain selama tiga tahunan itu—gue memulainya dengan mengetik judul proposal.

Perjalanan gue pulang kampung kali ini punya arti harfiah dan kiasan sekaligus. Secara gue bakal nyetir mobil menuju kampung halaman nyokap dan bokap gue di Sumatera Barat, perjalanan literal dimulai ketika kakak gue dan pasukannya menjemput gue di kos.

Namun perjalanan ini juga punya arti lain buat gue. Selama ini, istilah pulang kampung buat gue nggak lebih dari sekedar liburan ke desa tempat kelahiran orang tua. Gue nggak pernah menganggap kampung halaman orang tua gue sebagai kampung halaman gue juga. Kampung halaman gue adalah Jakarta.

Sekarang, semua berubah sejak orang tua gue tercinta memutuskan untuk menghabiskan hari tuanya di kampung. Dan gue sadar, salah satu dampak keputusan mereka adalah gue bakal sering pulang kampung. Seenggaknya setahun sekali. Gue harus belajar mencintai kampung mereka agar gue selalu merasa keinginan untuk kembali.

Perjalanan fisik pulang kampung ini dimulai dengan satu langkah kaki yang gue ayun untuk masuk ke dalam mobil panther kakak gue. Kehadiran gue membuat populasi mobil itu pun bertambah menjadi sepuluh. Gue, kakak gue, kakak ipar gue, adek kakak ipar gue, ditambah satu orang ABG—anak tetangga yang udah jadi kayak anak asuh kakak gue (o ya, dia keponakannya Mbak Lena [lihat Mbak Lena Tonggos])—dan lima orang bocah, empat keponakan laki-laki gue dan satu orang sepupu. A full-house car.

1500 km to go.

Old posting and comments

Tuesday, November 09, 2004

Pulkam

IT’S MUDIK TIME!

Yup. Akhirnya gue ikut-ikutan kebiasaan mudik Lebaran yang nggak pernah gue kerjain itu secara:

- gue lahir dan gede di Jakarta,

- bokap-nyokap gue paling males pulang kampung waktu Lebaran, mereka lebih suka pas anak-anaknya libur panjang sekolah.

Tapi sejak bokap gue mutusin jadi petani dan pulang ke kampung halamannya di Bonjol (Tuanku Imam Bonjol, ring a bell?), sekitar satu jam dari Bukit Tinggi, mau nggak mau gue mesti membuat kebiasaan baru: mudik lebaran. Tahun lalu, bokap-nyokap masih bisa diminta dateng ke Jakarta, tapi tahun ini gak mungkin secara nenek gue stroke dan gak bisa ditinggal. Dan secara kakak gue pengen bawa mobil, dia minta gue buat jadi sopir 2. Padahal, gue gak punya SIM, hihihi...


Yah, petualangan akan dimulai malam ini, tepat jam 11 kalo nggak ngaret. Sekitar 1500 km perjalanan Jakarta-Padang mesti gue jalanin dan Mas Wisa dengan pintarnya udah ngitung bahwa gue bakal nyetir 750 km. Pinter ya, secara sopir cuma dua orang getoh:P. Tolong buat semua orang pendengki yang suka mampir, dengan tiada bosan, dan penuh kesabaran, gue menghimbau bahwa selama gue meninggalkan blog ini, JANGAN SAMPAI BLOG INI DISALAHGUNAKAN. Apalagi untuk mencela, inget dosa ditanggung masing-masing ya:P.


MET LEBARAN, MET MUDIK, TAWABALLAHU MINA WA MINKUM, MISS U ALL, SEE YA...

Kampungs, here I come!

Sunday, November 07, 2004

Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa

Gue suka banget pelajaran sejarah. Buat gue belajar sejarah seperti membaca novel yang bercerita tentang kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Banyak drama di sana. Dan secara gue adalah penggemar cerita, suka baca buku cerita, dengar cerita, dan sejak nulis blog jadi suka bercerita, sebenernya wajar kalo gue suka pelajaran sejarah. Tapi zaman sekolah dulu, ada satu pelajaran tentang sejarah yang bikin gue ngantuk: Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (gue nggak yakin adek-adek tahu kalo pernah ada mata pelajaran yang namanya sepanjang ini).

PSPB. Namanya yang panjang buat jadi nama mata pelajaran ini udah menjelaskan apa yang diajar: sejarah perjuangan bangsa (Indonesia). Kalo kemudian pake embel-embel pendidikan karena pelajaran ini emang maunya nggak hanya mengajarkan SPB itu tadi, tapi juga menanamkan nilai-nilai SPB—rela berkorban, gotong-royong, tepo seliro, dan seterusnya (males nggak seeehhh)—pada para murid.

Caranya? Nah, cuma ini yang gue suka dari PSPB: cara menanamkan the so-called-values. Selama di SMP, guru PSPB gue bakal meminta satu kelompok (biasanya satu kelas terdiri dari 3-4 kelompok) untuk mementaskan satu drama perjuangan sebagai salah satu komponen nilai. Dan gue, secara punya hasrat banceh atur yang gede, selalu dengan suka cita dan penuh semangat ’45 *istilah jayus mode on* memborong tugas sekaligus. Udah gue yang nulis skenario dramanya, gue yang nentuin peran teman-teman satu kelompok, gue yang jadi sutradara, dan tentu, untuk memuaskan hasrat lain yang juga gede, apalagi kalo bukan hasrat banceh tampil—biar nggak segede Gusye ato Miund yang amat luar biasa sampe bisa minta nyanyi di Timebreak, gue pun memilih diri sendiri jadi aktor utama.

Hal pertama yang gue kerjain adalah dengan semangat gue ngetik skenario drama pake mesin tik merk Brother punya nyokap. Dan ketika skenario selesai, dengan otoriter gue bertitah nentuin siapa memerankan apa. Latihan pertama di rumah gue, dengan semangat gue mimpin latihan dan, biar nggak pake TOA, gue paling gemar bilang, “action!” sama “cut!” Duh, udah serasa Teguh Karya lagi ngarahin Yenny Rachman di November 1828, gue pun ngarahin teman gue Ratu Mas Laura (kemana ya ibu ini?) yang jadi ibu-ibu secara emang mukanya paling keibuan (kelas satu SMP! Hihihi... sori ya Laura).

“Laura!” teriak gue. “Anak lo mati ketembak Belanda, lo nangis yang bener dong! Masa nggak ada air matanya? Suaranya dibikin bergetar dong pas bilang ‘anakku!’”

Ya, ya, ya, gue tahu gue sangat ngeselin kalo udah mulai kumat bossy-nya. Hasrat Hitlerisme gue itu emang nggak ada matinya kalo udah ketemu penyaluran. Dengan sangat ambisius gue memperlakukan drama karangan gue itu seolah-olah kita bakal tampil di Broadway. Dengan tangan besi gue ngatur semua temen gue yang pasrahan itu biar masterpiece gue itu tampil sempurna. Dengan niat gue bawa tape dan kaset buat efek suara, beli bendera-bendera kecil dan bambu yang diruncingin, dan minjem pensil alis nyokap gue buat bikin kumis.

Di SMA semua berubah. Nggak pernah ada drama-dramaan lagi. Dan karir singkat gue sebagai penulis skenario dan sutradara sekaligus aktor dan casting director pun terhenti. PSPB di SMA nggak lebih dari sekedar pelajaran biasa dengan guru ngelantur depan kelas dan gue maen catur jawa sambil makan permen swissels dan segala camilan di belakang kelas, dan tetap kurus (oh those good old skinny days). Tapi guru PSPB gue di kelas tiga tampil beda, Pak Jumari namanya.

Pak Jumari orang Betawi, dan seperti almarhum Benyamin S, dia kocak dan nyeleneh abis kalo ngajar. Kalo dia juga lagi bosan, dia bisa cerita dan ngelawak tentang hal yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan PSPB, dari gosip seputar sekolah sampe politik, dan kita pun ketawa. Pas ulangan, dengan baik hati dia bilang kalo kita boleh buka buku. Ujian open book gue pertama seumur-umur. Secara gue emang gemar nyontek kalo dibutuhkan, gue bawa semua buku sejarah sampe ‘30 Tahun Indonesia Merdeka’ ke kelas. Tapi begitu kertas foto kopian berisi soal ulangan dibagiin, gue baru sadar bahwa semua itu sia-sia. Cuma ada 10 soal, tapi nggak ada satu pun yang bisa ditemuin jawabannya dalam semua buku yang gue bawa. Percuma.

Begini bunyi soal pertama:

1. Ibu Fatmawati Soekarno menjahit Bendera Sang Saka Merah Putih pada waktu:
a. Siang terik
b. Petang Menantang
c. Malam gulita
d. Pagi buta

Otak gue berpikir keras mencari jawabannya. Gue berusaha untuk membayangkan situasi dan keadaan pada waktu itu. Sebuah drama PSPB pun dipentaskan dalam khayalan gue.

Begini plot ceritanya.

Siang itu, sehari sebelum proklamasi, dalam keadaan lapar dan haus Ibu Fatmawati harus pergi ke toko kain Tjahaja Textile di Passer Baroe buat beli kain merah dan putih. Pulangnya dia mampir ke Pasar Senen buat belanja kebutuhan berbuka. Jadi siang terik itu, Ibu Fatmawati nggak mungkin menjahit bendera.

Sore hari, sesampainya di rumah Jalan Pegangsaan, Ibu Fatmawati sudah harus bersiap-siap memasak untuk berbuka sore itu. Nasi putih, lalap, sambal terasi, dan oseng-oseng ikan teri Medan yang siangnya dibeli Ibu dari inang-inang di Pasar Senen. Setelah berbuka dan membereskan meja makan, mencuci piring dan mengeringkannya, Ibu memberi makan dan kemudian menidurkan Guntur yang waktu itu masih berusia dua tahun. Dia pasti terlalu sibuk untuk menjahit bendera di sore temaram itu.

Baru aja selesai menidurkan Guntur, Bung Karno pun masuk kamar dan mengedipkan matanya ke arah Ibu. Tahu dong reputasi Bung Karno kayak apa, biar katanya beliau lagi sakit flu tapi kan, tapi kan.... Lagian, biar bulan puasa, kalo udah malam kan sah-sah aja maen bobok-bobokan, secara mau ngapain lagi coba. TV nggak ada, DVD boro-boro, ya udah deh. Jadi gue ngebayangin, sebagai istri yang baik, Ibu Fatmawati harus ‘menidurkan’ Bung Karno terlebih dahulu. Setelah menunaikan semua tugas dan kewajibannya, gue yakin Ibu sudah terlalu lelah untuk bangun dari peraduan dan menjahit. Di malam yang gulita gara-gara listriknya terputus (gardunya dibom Belanda), Ibu pun terlelap sementara kain merah dan putih itu masih terbungkus koran di atas kursi di samping jendela.

Dan baru setelah sahur, Ibu Fatmawati mengambil lampu tempel dan meletakkannya di kusen jendela. Bung Karno sudah kembali terlelap di tempat tidur besar berkelambu. Guntur pun nyenyak setelah disusui Ibu. Setelah tak seorang pun menuntut pelayanannya sebagai ibu dan istri, setelah menunaikan shalat Subuh, dengan mata merah karena mengantuk, Ibu yang mulia ini membuka bungkusan koran dan mengambil secarik kain merah dan putih yang tergeletak di atas kursi di samping jendela dan mulai menjahit. Matanya mengerjap-ngerjap antara kelelahan dan kurangnya cahaya.

Dalam drama khayalan yang gagal gue pentaskan mengenai hari terakhir sebelum Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan almarhumah Tuti Indra Malaon gue pilih untuk berperan sebagai Ibu Fatmawati, di pagi hari 17 Agustus 1945, di saat seisi rumah terlelap, Ibu baru mempunyai waktu untuk menjahit bendera merah putih. Bendera yang kemudian akan berkibar di udara beberapa jam kemudian. Bendera yang melambangkan Indonesia telah merdeka. Pagi buta itu.

Dengan mantap gue pun mencoret huruf D.

Old posting and comments

Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa

Gue suka banget pelajaran sejarah. Buat gue belajar sejarah seperti membaca novel yang bercerita tentang kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Banyak drama di sana. Dan secara gue adalah penggemar cerita, suka baca buku cerita, dengar cerita, dan sejak nulis blog jadi suka bercerita, sebenernya wajar kalo gue suka pelajaran sejarah. Tapi zaman sekolah dulu, ada satu pelajaran tentang sejarah yang bikin gue ngantuk: Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (gue nggak yakin adek-adek tahu kalo pernah ada mata pelajaran yang namanya sepanjang ini).

PSPB. Namanya yang panjang buat jadi nama mata pelajaran ini udah menjelaskan apa yang diajar: sejarah perjuangan bangsa (Indonesia). Kalo kemudian pake embel-embel pendidikan karena pelajaran ini emang maunya nggak hanya mengajarkan SPB itu tadi, tapi juga menanamkan nilai-nilai SPB—rela berkorban, gotong-royong, tepo seliro, dan seterusnya (males nggak seeehhh)—pada para murid.

Caranya? Nah, cuma ini yang gue suka dari PSPB: cara menanamkan the so-called-values. Selama di SMP, guru PSPB gue bakal meminta satu kelompok (biasanya satu kelas terdiri dari 3-4 kelompok) untuk mementaskan satu drama perjuangan sebagai salah satu komponen nilai. Dan gue, secara punya hasrat banceh atur yang gede, selalu dengan suka cita dan penuh semangat ’45 *istilah jayus mode on* memborong tugas sekaligus. Udah gue yang nulis skenario dramanya, gue yang nentuin peran teman-teman satu kelompok, gue yang jadi sutradara, dan tentu, untuk memuaskan hasrat lain yang juga gede, apalagi kalo bukan hasrat banceh tampil—biar nggak segede Gusye ato Miund yang amat luar biasa sampe bisa minta nyanyi di Timebreak, gue pun memilih diri sendiri jadi aktor utama.

Hal pertama yang gue kerjain adalah dengan semangat gue ngetik skenario drama pake mesin tik merk Brother punya nyokap. Dan ketika skenario selesai, dengan otoriter gue bertitah nentuin siapa memerankan apa. Latihan pertama di rumah gue, dengan semangat gue mimpin latihan dan, biar nggak pake TOA, gue paling gemar bilang, “action!” sama “cut!” Duh, udah serasa Teguh Karya lagi ngarahin Yenny Rachman di November 1828, gue pun ngarahin teman gue Ratu Mas Laura (kemana ya ibu ini?) yang jadi ibu-ibu secara emang mukanya paling keibuan (kelas satu SMP! Hihihi... sori ya Laura).

“Laura!” teriak gue. “Anak lo mati ketembak Belanda, lo nangis yang bener dong! Masa nggak ada air matanya? Suaranya dibikin bergetar dong pas bilang ‘anakku!’”

Ya, ya, ya, gue tahu gue sangat ngeselin kalo udah mulai kumat bossy-nya. Hasrat Hitlerisme gue itu emang nggak ada matinya kalo udah ketemu penyaluran. Dengan sangat ambisius gue memperlakukan drama karangan gue itu seolah-olah kita bakal tampil di Broadway. Dengan tangan besi gue ngatur semua temen gue yang pasrahan itu biar masterpiece gue itu tampil sempurna. Dengan niat gue bawa tape dan kaset buat efek suara, beli bendera-bendera kecil dan bambu yang diruncingin, dan minjem pensil alis nyokap gue buat bikin kumis.

Di SMA semua berubah. Nggak pernah ada drama-dramaan lagi. Dan karir singkat gue sebagai penulis skenario dan sutradara sekaligus aktor dan casting director pun terhenti. PSPB di SMA nggak lebih dari sekedar pelajaran biasa dengan guru ngelantur depan kelas dan gue maen catur jawa sambil makan permen swissels dan segala camilan di belakang kelas, dan tetap kurus (oh those good old skinny days). Tapi guru PSPB gue di kelas tiga tampil beda, Pak Jumari namanya.

Pak Jumari orang Betawi, dan seperti almarhum Benyamin S, dia kocak dan nyeleneh abis kalo ngajar. Kalo dia juga lagi bosan, dia bisa cerita dan ngelawak tentang hal yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan PSPB, dari gosip seputar sekolah sampe politik, dan kita pun ketawa. Pas ulangan, dengan baik hati dia bilang kalo kita boleh buka buku. Ujian open book gue pertama seumur-umur. Secara gue emang gemar nyontek kalo dibutuhkan, gue bawa semua buku sejarah sampe ‘30 Tahun Indonesia Merdeka’ ke kelas. Tapi begitu kertas foto kopian berisi soal ulangan dibagiin, gue baru sadar bahwa semua itu sia-sia. Cuma ada 10 soal, tapi nggak ada satu pun yang bisa ditemuin jawabannya dalam semua buku yang gue bawa. Percuma.

Begini bunyi soal pertama:

1. Ibu Fatmawati Soekarno menjahit Bendera Sang Saka Merah Putih pada waktu:
a. Siang terik
b. Petang Menantang
c. Malam gulita
d. Pagi buta

Otak gue berpikir keras mencari jawabannya. Gue berusaha untuk membayangkan situasi dan keadaan pada waktu itu. Sebuah drama PSPB pun dipentaskan dalam khayalan gue.

Begini plot ceritanya.

Siang itu, sehari sebelum proklamasi, dalam keadaan lapar dan haus Ibu Fatmawati harus pergi ke toko kain Tjahaja Textile di Passer Baroe buat beli kain merah dan putih. Pulangnya dia mampir ke Pasar Senen buat belanja kebutuhan berbuka. Jadi siang terik itu, Ibu Fatmawati nggak mungkin menjahit bendera.

Sore hari, sesampainya di rumah Jalan Pegangsaan, Ibu Fatmawati sudah harus bersiap-siap memasak untuk berbuka sore itu. Nasi putih, lalap, sambal terasi, dan oseng-oseng ikan teri Medan yang siangnya dibeli Ibu dari inang-inang di Pasar Senen. Setelah berbuka dan membereskan meja makan, mencuci piring dan mengeringkannya, Ibu memberi makan dan kemudian menidurkan Guntur yang waktu itu masih berusia dua tahun. Dia pasti terlalu sibuk untuk menjahit bendera di sore temaram itu.

Baru aja selesai menidurkan Guntur, Bung Karno pun masuk kamar dan mengedipkan matanya ke arah Ibu. Tahu dong reputasi Bung Karno kayak apa, biar katanya beliau lagi sakit flu tapi kan, tapi kan.... Lagian, biar bulan puasa, kalo udah malam kan sah-sah aja maen bobok-bobokan, secara mau ngapain lagi coba. TV nggak ada, DVD boro-boro, ya udah deh. Jadi gue ngebayangin, sebagai istri yang baik, Ibu Fatmawati harus ‘menidurkan’ Bung Karno terlebih dahulu. Setelah menunaikan semua tugas dan kewajibannya, gue yakin Ibu sudah terlalu lelah untuk bangun dari peraduan dan menjahit. Di malam yang gulita gara-gara listriknya terputus (gardunya dibom Belanda), Ibu pun terlelap sementara kain merah dan putih itu masih terbungkus koran di atas kursi di samping jendela.

Dan baru setelah sahur, Ibu Fatmawati mengambil lampu tempel dan meletakkannya di kusen jendela. Bung Karno sudah kembali terlelap di tempat tidur besar berkelambu. Guntur pun nyenyak setelah disusui Ibu. Setelah tak seorang pun menuntut pelayanannya sebagai ibu dan istri, setelah menunaikan shalat Subuh, dengan mata merah karena mengantuk, Ibu yang mulia ini membuka bungkusan koran dan mengambil secarik kain merah dan putih yang tergeletak di atas kursi di samping jendela dan mulai menjahit. Matanya mengerjap-ngerjap antara kelelahan dan kurangnya cahaya.

Dalam drama khayalan yang gagal gue pentaskan mengenai hari terakhir sebelum Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan almarhumah Tuti Indra Malaon gue pilih untuk berperan sebagai Ibu Fatmawati, di pagi hari 17 Agustus 1945, di saat seisi rumah terlelap, Ibu baru mempunyai waktu untuk menjahit bendera merah putih. Bendera yang kemudian akan berkibar di udara beberapa jam kemudian. Bendera yang melambangkan Indonesia telah merdeka. Pagi buta itu.

Dengan mantap gue pun mencoret huruf D.

Old posting and comments