Wednesday, September 29, 2004

Jadi orang Jawa sehari III - Hidup adalah panggung sandiwara

Gue tiba di masjid jam 7 pagi berbarengan dengan Nona Ratu Singa, anggota lain Rio’s Angels. Sementara, Nirmala, my favorite and most beloved angel, nggak bisa datang karena mendadak ada tugas dari kantornya keliling beberapa kota di Sumatra. Dalam acara sandiwara pernikahan itu, kita berdua berperan jadi “adik” Paman Gembul Pasaribu, walaupun ya, secara dia kan umurnya lebih muda dari gue getoh. Peran sebagai adek itu ditentuin sendiri sama “abang” baru gue itu ya. Mungkin dia juga sadar nggak mungkin ngaku lebih muda dari gue, hehe.... Secara tampang kan gue, hmmm... berapa ya, kalo Mas Wisa berani ngaku 28-29, berarti gue masih pantes 26 dong (yang protes gue delete ntar).

Sementara yang berperan jadi mama kita bersama adalah ibu teman baik Bibi Titi Teliti Gajahwati, yaitu Rondo Batak Dadakan. Dan yang jadi kakak laki-laki tertua—sebut Yuyu Kangkang—sekaligus menemani mama Rondo Batak Dadakan berdiri di depan pelaminan adalah suami dari salah satu anak Rondo Batak Dadakan, Kleting Marun. Dan kakak-kakak dadakan gue terdiri dari Kleting Kuning dan suaminya Ande-Ande Lumut, Kleting Marun, dan Kleting Pinky.

Keluarga besar Rondo Batak Dadakan yang berbahagia.

Tugas gue sebagai adek dalam upacara akad nikah, secara cuma ada tiga orang cowok di keluarga besar kami termasuk pengantin, adalah jadi pendamping pengantin pria yang memegang tangannya menuju tempat pelaksanaan upacara akad nikah di dalam masjid. Entah buat apa, mungkin para pengantin zaman dulu suka kabur sehingga perlu dipegangin. Secara ya, kalo Paman Gembul Pasaribu nekad kabur, mana kuat gue nahan dia, badannya lebih gede dari gue getoh (termasuk perutnya ya, teman-teman yang suka sirik). Sementara Kakang Ande-Ande Lumut jadi saksi sekaligus yang menyerahkan pengantin pria ke keluarga perempuan. Nona Ratu Singa dan kakak-kakak Kleting masing-masing membawa salah satu barang hantaran.

Mama Rondo dan Kakang Yuyu bakal ngumpet selama ijab kabul sesuai kebiasaan adat Jawa, orang tua mempelai laki-laki nggak boleh lihat upacara tersebut. Jangan tanya gue kenapa, tanya Gusye tuh, ato Isna, ato hayoo... para Jawir, keluar dari persembunyian! Masa, tiap gue nyebut Jawir, Mas Wisa terus yang ketempuhan jadi narasumber ato bahan eerrr... bahan percakapan? Nggak enak kan.

Dalam masjid, semua tahu, mesti duduk di lantai. Dan SIKSAAN itu pun dimulai. Gue nggak bisa duduk dengan cara apapun kecuali BERSIMPUH. Mo marah! Selama hampir satu jam, gue harus duduk bersimpuh sambil mengutuk-ngutuk dalam hati orang yang bikin pakaian feodal ini. Segala variasi bersimpuh gue coba, dari gaya duduk kayak orang shalat, gaya pembantaian (baca: pembantu, secara mereka memang sering dibantai majikan bukan?) dengan kaki miring, duh, teuteup! Nggak nyaman! Belom lagi lilitan setagen yang bikin gue susah nafas itu. Awas ya kalo sampe asma gue kumat, gue tuntut ntar perias pengantinnya karena udah berniat mencelakai gue! Heran, kok para Jawanis itu mau-maunya ya menyusahkan diri make kostum kayak begini? Kalo nggak duduk di lantai sih mending, tapi ini? Aduh, kenapa sih gue nggak disuruh pake batik aja ato jas. Ntar aja pake kain rese ini pas resepsi. Bibi Titi Teliti Gajahwati kejam!

Tapi, ada hiburan sedikit waktu acara penyerahan mas kawin. Pengantin pria dan wanita sama-sama berdiri dan tiba-tiba Paman Gembul Pasaribu hampir jatuh karena kesemutan! Bibi Titi Teliti Gajahwati juga ternyata ngalamin kesulitan bangun dan hampir jatuh. Hehe... ternyata bukan gue sendiri yang tersiksa. Gue spontan cekikikan ngetawain mereka, hihi... lupa sama jaim dan secara itu masih dalam masjid. Abis, gue kan nggak rela kalo gue tersiksa sendiri, hihi.... harus ada orang yang ikut menderita seperti gue! Apalagi lo ya Big Lady yang minta gue buat make semua kostum lenong ini! Jadi kita sama-sama susah ya, hehe...

Selesai akad nikah dan para pengantin ganti baju, acara resepsi dimulai. Dan gue bersama adek-kakak dan mama mulai berbaris barengan keluarga Bibi Titi Teliti Gajahwati. Di depan ada penari yang majunya lambaaaaaaaaaaaaaattt banget. Ai mate! Sumpah! Kenapa sih jalannya harus selambat ini.

Dan selama gue jalan, gue bete ngeliat tatapan para tamu dan bisik-bisik mereka. Khususnya sepasang ibu-ibu yang kasak-kusuk sambil ngeliatin gue.

“Oh Jeng, itu adek laki-lakinya manten kakung ya? Kok ndak mirip ya?”
“Iya, masnya item, ini adeknya putih.”
“Heeh, cakep lagi, kayak Delon ya.”
“Nggak ah, kayak Daniel.”
“Delon!”
“Daniel!”

Lho kok berantem sih, Tante? Ya sudah, secara saya emang mirip dua-duanya kok. Hayo, dilanjutin ngegosipin sayanya.

“Udah kawin belom ya?”
“Nanti saya tanya sama Jeng Parwoto (ibu Jeng Gajahwati, red).”

Dan ibu-ibu itu pada senyum sama gue, sumpeh! Amit-amit deh disenyumin emak-emak! Kayak Mas Wisa aja sih! Gue bales tersenyum kecut sambil ngedumel, “Rese nih! Kok gue digenitin tante-tante gini sih!”

Terus, waktu gue antri ambil makanan, gue diajak ngobrol lagi sama ibu-ibu laen lagi. “Adeknya Mas Gembul, ya?”

“Eh... iya, Bu.”

“Kapan nyusul nih?” katanya sambil tersenyum manis dan nyelak antrian buat ikutan ambil siomay di sebelah gue.

PDA, gerutu gue dalam hati. Nggak ada komentar laen apa. Dan hellooo... kenapa sih para emak-emak ini? Kok pada kecentilan semua gini sih? Yang dua senyum-senyum sambil bisik-bisik, eh yang ini ngajak ngobrol. Dengan manis, secara gue menghayati peran gue sebagai orang Jawa yang harus selalu penuh kehalusan dan basa-basi, gue jawab aja, “masih lama kali ya, soalnya saya masih kuliah, Tante.”

Dan gue buru-buru kabur sebelom ibu itu sukses ngajak gue ngobrol lebih jauh dan bikin gue harus akting lebih banyak. Secara, gue sebenernya udah gatel pengen nyiram tante ini sama kuah kacang. Maaf ya, Tante, saya nggak marah sama Tante secara pribadi, saya cuman lagi males berbasa-basi.

Keajaiban siang itu berlanjut waktu acara foto-foto. Gue nggak denger waktu dipanggil secara gue lagi asyik duduk sambil ngebenerin setagen gue yang udah nggak kencang dan mau copot secara perut gue udah makin bengkak diisi siomay, sate, martabak, pempek, ayam singgang, maccaroni schotel, kakap goreng, termasuk puding yang sedang gue lumatkan dimulut gue.

Tiba-tiba ada tante-tante sebelah gue nowel gue, “Dek, tuh dipanggil, saudara kandung manten pria mau difoto.”

Hah? Apa? Sodara kandung? O iya, lupa, gue adeknya manten ya! Gue pun maju ke panggung nyusul Nona Ratu Singa beserta para Kleting buat berfoto. Lengkaplah sudah sandiwara siang itu. Kita udah punya foto keluarga.

Setelah resepsi gue pulang ke kos, kecapekan. Secara gue emang belom fit banget. Sepanjang jalan gue cuman merenung. Apa yang terjadi nanti kalau bom itu meledak? Ketika Paman Gembul harus bilang ke keluarganya tentang pernikahannya? Gue nggak berani ngebayangin, apalagi secara gue udah jadi pemain dalam sandiwara ini. Besar atau kecil peran gue dalam kebohongan ini, tapi gue udah ikut andil dengan sadar. Gue memilih untuk mendukung pernikahan diam-diam penuh kejaiman mereka dan berbohong ke semua yang hadir. Gue turut jadi pemeran pembantu dalam pergelaran sandiwara pernikahan itu.

Secara, gue udah capek bersandiwara.

Old posting and comments

Tuesday, September 28, 2004

Jadi orang Jawa sehari II - Permintaan kecil

Pertemuan gue dengan Bibi Titi Teliti Gajahwati di Secret Recipe berakhir dengan satu permintaan kecil dari si Gedes ini.

"Yo, gue minta tolong lo ntar ikutan jadi keluarganya Abang ya," katanya.

"Oke," jawab gue cepat.

Dia kaget, "lho, tumben lo nggak protes."

"Buat apa? Gue udah bilang dari dulu kalo lo mau merid lo tinggal ngomong gue bisa bantu apa, ya gue akan bantu sebisa gue.
Makanya apa yang mau diprotes."

"Iya, berarti lo ikutan dateng pagi dan dandan pake baju Jawa ya," katanya.

"No, problemo," jawab gue mengentengkan permasalahan.

http://img.photobucket.com/albums/v327/guario/TH04CAs.jpg">

Dan, o betapa salahnya gue. Seumur hidup gue, dari kecil sampe sekarang, dari zaman masih ikutan karnaval buat ngerayain Kartini atau 17 Agustusan, dari zaman SMA-kuliah dan sering diminta jadi pagar bagus, entah kenapa gue rasanya jaraaaang banget pake pakaian adat Jawa lengkap. Lagian, tampang oriental kayak gue emang kagak ada pantes-pantesnya pake blangkon, bukan? Jadi gue nggak pernah bener-bener sadar betapa ribetnya pake kain!

Tapi hari Sabtu itu gue NGERASAIN betapa tersiksanya, betapa nggak nyamannya, mengenakan pakaian adat Jawa. Lah, Mas Wisa yang Jawanis murni aja nggak mau disuruh pake baju itu, apa kabarnya orang Minang muka Cina kayak gue kalo disuruh pake baju Jawa?

Menurut gue, maaf buat para Jawanis (Mas
Wisa sih udah maklum ya, hihi...), pakaian adat laki-laki Jawa itu sangat nggak manusiawi (Sementara pakaian adat perempuan paling nggak manusiawi menurut gue adalah pakaian adat anak daro alias pengantin perempuan Minang dengan suntingnya yang amit-amit beratnya itu). Nggak bisa jalan, nggak bisa duduk enak, semua serba salah! Beteeeeee banget.

Aduh plis deh ah, nggak lagi-lagi.

Mau tahu celaan orang iri hati dan dengki melihat betapa imyutnya gue pake blankon? Klik sini ajah! Itu waktu di Blogdrive lho. Yang belum muji masih punya kesempatan dg mengklik yang di bawah ini *wink wink*

Monday, September 27, 2004

Jadi orang Jawa sehari I - Cinta memang dahsyat

Satu hari di akhir minggu sebulan yang lalu, salah seorang tim Rio’s Angels, mari kita sebut dia Bibi Titi Teliti Gajahwati, minta ketemuan sama gue. Berdua aja. Di telepon gue langsung nembak, “lo mo ngasih gue undangan kan?”

Dengan juteknya dia bilang gue sok tahu, tapi apa lagi memang. Rencana itu udah lama, cuma gue mencium dia menyimpan sesuatu karena nggak biasanya nih anak sok rahasiaan minta ketemu berdua gue doang tanpa ngajak Angels yang laen. Akhirnya, sambil ngupi-ngupi di Secret Recipe Plaza Indonesia, dia ngeluarin undangan pernikahannya dengan Paman Gembul Pasaribu, pacarnya dua tahun terakhir.

Dua tahun lalu, waktu Bibi Titi Teliti Gajahwati mulai beroman-romanan sama si Paman Gembul Pasaribu, gue udah coba ngingetin. Bukan apa-apa, beda agama getoh lho. Tapi tahu sendiri kan kalo orang lagi jatuh cinta, bukan mata aja yang buta (buat seseorang yang mengetahui bahwa walau aku juga buta tapi tetap objektif, errr... terima kasih), kuping juga budek. Buat gue, kawin beda agama itu cuma cari masalah (Gue nggak bakal bahas karena itu bisa jadi cerita sepuluh halaman). Tapi apa lacur, cinta mereka tambah lengket kayak plastik dibakar. Nggak mungkin dipisahin, kemana-mana selalu berdua.

Gue tahu keluarga Bibi Titi Teliti Gajahwati memberi syarat Paman Gembul Pasaribu harus masuk Islam kalau mau menikahi pujaan hatinya yang tinggi besar itu. Ternyata, Paman Gembul Pasaribu—mudah-mudahan karena dari dasar hati—akhirnya pindah agama dan menganut agama Islam. Sampe sini latar belakang kisah cinta kedua makhluk berbadan besar itu yang perlu gue paparin biar lo bisa ngikutin cerita selanjutnya.

Dan sore itu, setelah basa-basi dan pesan makan minum, dia pun mulai curhat permasalahannya. Dan apa yang bakal disampein Miss Lady Elephant sore itu di Secret Recipe bakal bikin gue syok.

“Tapi Yo,” katanya sok imut sambil nyomot cheesecake di piring gue (Secara dia lagi diet jadi nggak mau makan kue getoh). “Nggak ada satu pun keluarga Paman Gembul Pasaribu yang tahu soal pernikahan ini.”

“APA???” gue nganga selebar-lebarnya, secara sebenernya gue juga udah sering nganga tanpa disengaja, cuman selama ini nganga itu menimbulkan efek seksi ala model-model kalo difoto buat iklan lipstik. Kali ini gue lupain keseksian nganga gue dan gue buka mulut gue selebar-lebarnya sangking gue nggak sanggup menahan kesyokan gue.

“Gila lo! Gimana mungkin lo nyimpen rahasia segede gini dari keluarganya! Lo sarap ya!” Lho kok gue yang emosi jiwa begini?

“Rencananya, kalo udah merid baru nanti dibilangin pelan-pelan,” Ratu Jutek itu membela diri. “Soalnya kalo dikasih tahu, ibunya pasti nggak setuju! (bapak Paman Gembul Pasaribu udah meninggal, red) Dia Batak, cowok, bungsu, kakaknya udah merid semua, dengan pariban semua pula! Ibunya keras, nggak bakalan setuju, ngomong ke kakak-kakaknya juga percuma deh.”

“Lo udah coba?”

“Udah, gue pernah dateng ke rumahnya terus dikenalin sebagai teman. Belom-belom nyokapnya ngomong gini, ‘eh, tak ada kau pacaran sama anakku ya. Kau Jawa, beda agama pula. Semua anakku kawin sama paribannya, tak kukasih dia kawin biar sama Batak yang bukan paribannya.’ Coba? Gue mesti gimana?” Dengan berapi-api Bibi Titi Teliti Gajahwati membela diri.

“Tapi lo udah pikirin kalo lakiku lo pindah dari rumah alasannya apa? Terus kalo dicari gimana?” gue masih coba cari celah.

“Dia bakal bilang ke ibunya kalo dia dipindahin kerja ke luar kota,” jawabnya kalem.

Gue punya segudang argumentasi tapi gue nggak bisa banyak berkata apa-apa sore itu. Udah dua jam kita ngobrol dan sebentar lagi Paman Gembul Pasaribu akan menjemput kekasihnya ini. Gue hanya kagum dan salut sama keberanian perempuan yang satu ini, yang gue nggak sangka bisa segitu bujubune alamakjan makdikipe romantisnya. Nggak nyangka ini anak bisa sekeras dan seberani itu ngelawan dan ngedobrak begitu banyak aturan, siap menghadapi seribu kemungkinan termasuk dibuang keluarga. Gue cuma diam aja, dan ngedoain mereka dalam hati.

Ya Allah, hamba tahu hamba jarang berdoa, tapi sekali ini hamba mohon beri mereka kesempatan membuktikan cinta mereka.

Buka hati orang-orang di sekitar mereka karena orang-orang seperti mereka membuat hamba percaya kalo masih ada cinta yang begitu dahsyatnya sehingga mampu membuat orang melawan segala aral melintang.

Cinta mereka membuat hamba percaya akan hidup karena apatah makna hidup bila bukan berjuang segenap peluh.Hingga cucuran keringat dihentikan takdir-Mu.

Cinta yang sedemikian hebat sehingga orang bisa hidup dalam dunianya sendiri dan tak mempedulikan orang di luar dunia kecil mereka.Membutakan, menulikan.

Membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.

Membaikkan yang buruk dan memburukkan yang baik.

Mengacaukan nilai, mengaburkan arti, merancukan makna.

Karena cinta itu datang dari-Mu, hanya Kau yang dapat memeliharanya dan mencabutnya.

Kau telah pelihara cinta mereka sejauh ini,jangan cabut begitu saja.

Kasihani mereka.

Andai saja, cinta sedahsyat itu dipersembahkan untuk-Mu.

Andai saja, cinta sedahsyat itu milikku.

Old posting and comments

Sunday, September 26, 2004

Sakit dan dokter

Udah lama banget gue nggak sakit yang cukup parah sampe bikin gue nggak masuk kantor, tapi kali ini gue kena batunya. Dan ya, spiritually speaking, Tuhan ngingetin gue buat jaga badan. Gue tahu ini semua karena gue kecapekan dan gue nggak pake doping yang memadai. Nggak minum susu, seperti dulu, dan nggak minum vitamin yang teratur. Biasanya sih, kalo pake doping begini, mo kerja sampe jam berapa, mo dilanjutin begaol kemana, gue tetap fit.

Dan gue benci banget ke dokter. Gue ngabisin masa kecil gue dengan ke dokter, dan itu bikin gue males pergi ke dokter sekarang. Rasanya jatah gue ke dokter buat seumur hidup udah dihabisin sewaktu gue masih SD. Bayangin aja, dari umur 7 tahun sampe 12 tahun, hidup gue nggak lepas dari dokter. Semua gara-gara penyakit asma dan alergi gue.

Waktu kecil kalo asma gue kumat, gue bisa sampe muntah-muntah karena nggak bisa nafas. Dan untuk itu gue harus disuntik kekebalan dari mulai tiga kali seminggu. Hari ini lengan kiri gue, dua hari kemudian lengan kanan, dan dua hari kemudian balik ke lengan kiri. Entah berapa lama sampe kunjungan berkurang jadi dua kali seminggu, terus sekali seminggu, dua minggu sekali sampe akhirnya sebulan sekali. Setelah itu hidup gue tergantung sama obat dan semprotan aja tanpa harus disuntik lagi.

Sementara gara-gara alergi, yang juga jadi pencetus utama asma gue, produksi—maaf—ingus gue itu bener-bener top banget deh. Meleeeeeeeeerrr melulu kerjaannya. Dan dampaknya adalah hidung gue udah dioperasi dua kali. Pertama, sinusitis dan kedua tulang hidung yang bengkok yang katanya bikin hidung gue mampet melulu. Tapi teuteup hidung gue meler dan mampet sampe sekarang karena sumbernya cuma satu: ALERGI.

Lah, gue alergi debu dan bulu getoh lho. Di Jakarta ini mana mungkin nggak ketemu debu? Di mana-mana ada bukan? Kalo bulu binatang masih bisa dihindari. Gue inget waktu TK sampe SD kelas satu, gue pernah memelihara kucing sampe lebihd dari sepuluh ekor. Tapi sejak gue ketahuan asma dan alergi, udah deh, tuh kucing dikasih orang sama nyokap gue.

Tapi alergi bukan penyakit yang bisa sembuh, cuma bisa berkurang karena penderitanya meningkat kekebalan tubuhnya. Dan itu terbukti kok sama gue. Gue udah sangat jarang asma, walau alergi mah jalan terus. Cuman nggak separah dulu. Kalo parah, apa iya gue mesti pake masker kemana2 kayak Jacko sekedar buat menghindari debu? Euuuhhh… enggak bangget deh.

Cuma karena keseringan ke dokter waktu kecil itu makanya sekarang gue nggak mau ke dokter kecuali gue udah ngerasa lumayan tepar gara-gara sakit. Dan Rabu kemaren, gue nggak tahan, demam gue tambah parah. Di kantor gue menggigil terus, makin siang malah itu demam bolak-balik ngeganggu. Gue nggak bisa kerja. Nggak kuat, gue putusin buat ke klinik yang ada di gedung gue dan berobat. Setelah itu gue izin pulang.

Tadinya, gue mau istirahat di kos aja, tapi adek gue telepon kalo nyokap mau datang hari Kamis. Akhirnya, daripada bolak-balik nanti gue putusin buat sekalian pulang dan istirahat di rumah. Ya udah, gue pulang dan istirahat. Lumayan, sakit-sakit bikin gue bisa nyelesaiin dua buku. Pertama buku yang baru dipinjemin Kenny, His Brother, dan kedua, Dress Your Family with Denim and Corduroy, memoar-nya David Sedaris. Kehabisan bacaan, gue cari buku yang belom gue baca di rumah. Ternyata masih banyak. Sekarang gue lagi baca The Sound of Mountain-nya Yasunari Kawabata, orang Jepang pertama yang menang Nobel Sastra tahun 1968.

Malam ini, gue keinget bahwa Jumat adalah deadline buat nyelesaiin kata pengantar majalah dan sambutan dari bos besar gue. Ya udah, kerja bentar deh, untung gue emang sengaja bawa notbuk kerumah. Soalnya, sakit sih sakit, tapi deadline kan jalan terus. Hiburannya, nulis blog ini. Wah, udah jam 12, udahan dulu ah, besok aja upload-nya sekalian ngirim imel ke kantor.

Oahem.…

PS: Ternyata, koneksi internet dari rumah gue begetoh super leletnya, gue mutusin buat nitip kerjaan pake disket ke abang ipar gue yang kebetulan kerja di satu bangunan. Tapi, upload-nya jadi terpaksa ikutan nunggu. Nggak sabar neh.

PPS: Terima kasih buat semua teman yang udah nulis pesan di tagboard, ngirim sms, bahkan nelepon, tengkyu banget buat perhatiannya, jadi terharu, hiks… I love you guys, really.

Old posting and comments

Thursday, September 16, 2004

WATCHING Jersey Girl, Annoying Affleck

Last night Kenny and Ve convinced me to see a movie starred by one of the most annoying actor in Hollywood, Ben Affleck. I was first irritated by his acting in Armageddon. I found his so-called good look was exaggerated and his half-ascending-smirk looks like some one who just had stroke. But Ve said, this was a Kevin Smith’s movie and his only movie I saw as reference was quite amusing in a sense that it was an absolutely originally nut case movie. The movie was ‘Dogma’. They made Alanis Morissette playing GOD. Crazy enough I suppose.

But I was disappointed. Totally disappointed. I expected Smith could at least create an unusual romantic comedy out of the already-bland-title ‘Jersey Girl’. But the result was another bland romantic drama. And, once again Ben Affleck proved me that he was still rank as my numero uno annoying actor working in Tinsel Town!

I’m sorry to all Affleck’s fan, but if Affleck intended to replace the ageing Tom Cruise as the-next-arrogant-people-love, well, think again. Tom Cruise, older he may be, is still the best actor to play arrogant-snob-character in Hollywood. Noone can beat him in playing such arrogant yet so loving characters. ‘A Few Good Men’, ‘The Firm’, you name it, his charisma would always linger and his good look would make all women—and gays alike—drool and men would want to be him. I know I do, I want to be Tom Cruise when I grew up. Heck I even once put a poster of him with his ‘Top of gun’ attire on the wall of my room, back in those teenage-confusing years.

In short, the plot of the story followed Affleck’s efforts to become the best father in the world as he proclaimed to his baby after he lost his wife—played by another almost equally annoying actress, ex sweetheart Jennifer Lopez—and his dream job. For the first fifteen minutes I was bored to death to see this two love birds fell in love, got married, and gave birth, until J-Lo’s character died in the labor process. Thanks God, I had to say, for I would’ve banged my head to the wall of Djakarta Theater if I had to sit through another hour watching these two annoying actors invading the screen.

The story then went forward to the time when the girl was a seven year old smart-mouth-annoying kid and Affleck’s character stuck in a no-end job as street sweeper. For seven years he proved that he could become the best father in the world until one day when he got an interview for a potential dream job and he had to make some tough choices. The story went on so insipidly. I never expect much when I see a romantic drama, especially with Affleck and Lopez in it. But this was a Kevin Smith, so yes, my expectation got higher, and unfortunately, crashed. I expect some surprises, but there was none.

Anyway, I found Raquel Castro, the girl that played Ben’s daughter, was a natural actress. She’s cute and she makes up the lame script for making her too-smart-for-her-age with her wink and smile that showed these two humongous front teeth that simply adorable. As for Liy Tyler, well, she’s beautiful and wow, those breasts, o those breasts—does she perform any surgery on those mountainous boobs, guys? Is it natural? Just focus on the boobs, guys, for I wouldn’t care less if her character was non existent in the movie. So nggak penting getoh.

My suggestion, if you never watch any Affleck’s movie (Where the hell have you been? Pluto?), I recommend you to see this one as a date movie. You’ll love it, that’s the only way you could love this movie, seeing it with your lover. The theater would be empty and sitting in the corner you could kiss and do whatever you like.

Don’t mind me.

Old posting and comments

Sunday, September 12, 2004

Tommy J. Pisa dan Richie Ricardo

Minggu menjelang siang gue brunch di sebuah restoran China. Nasi goreng spesial. Ada latar belakang musik yang awalnya gue nggak sadar siapa penyanyi lagu yang sedang diputar. Suara seorang pria dengan melodi dan musik yang jelas berasal dari zaman jahiliyah delapan puluhan ketika Obbie Messakh dan Rinto Harahap menjadi the dynamic duo penggerak industri rekaman. Dan rasanya, gue kok inget suara orang ini ya, biar sumpeh lo, gue nggak tahu lagunya. Lagian lagu ciptaan mereka kan satu sama lain mirip-mirip, bukan? Otak gue langsung men-search file-file data 80-an yang belom di-delete dari recycle bin. O em ji, ini kan suaranya Tommy J. Pisa! Masih ada apa yang jual kasetnya? Secara ya, ini tahun 2004 dan bukan 1984 getoh lho!

http://www.liferecords.com/album_images/WAU%2018600/18600.jpg">

Penasaran, gue bangun dari kursi dan nyamperin tape yang kebetulan letaknya dekat meja gue. Ada satu kaset yang isinya kosong di atas tape itu. Dengan jantung berdegup cepat gue ambil kaset itu dan dugderudugdug! Gue mo pingsan karena ternyata gue... BENAR! Ya oloh tolong, gue kaget menyadari bahwa after all these years gue masih bisa ngenalin suara penyanyi cengeng pesaingnya Jamal Mirdad yang tampangnya mirip Oddie Agam ini. Sedemikian dahsyatnyakah pengaruh musik-musik cengeng itu sampe dua puluh tahun kemudian, gue masih bisa ngenalin salah satu penyanyi pria pelantunnya? (bahasa gue ikutan jadi najis tralala begeneh!)

Gue sms salah seorang yang gue tahu sering punya kemampuan mengingat tokoh-tokoh penghancur selera musik Indonesia 80-an, sapa lagi kalo bukan Gusye (sebenernya ada satu lagi: Rudi). Dan Gusye membuat gue bertambah syok ketika dia menawarkan buat minjemin kaset-kaset lamanya Ratih Purwasih! Aduh gue nggak sanggup baca sms si Item gilingan satu ini! Terlalu menyiksa bathin. Gusye, dapet salam dari Endang S Taurina!

Selama makan, siksaan terus mendera gue ketika si Tommy nyanyiin lagu yang gue nggak tahu judulnya tapi liriknya dia lafalkan “membaca diarimu...” dengan benar-benar apa adanya: DI-YA-RI! Oh no, dengan ngebut gue makan nasi goreng yang masih panas dan membakar lidah dan langit-langit mulut gue itu. Gue harus buru-buru keluar dari siksaan telinga yang membuat semua rasa musikalitas gue menjerit memohon ampun!

Dan Tommy J Pisa bikin gue ingat dengan penyanyi pria 80-an, tapi beda gaya, lainnya. Nama penyanyi ini muncul secara nggak terduga dan udah sukses bikin gue nggak pede sama penampilan gue seharian penuh. Kejadiannya di kantor beberapa waktu lalu di hari Jumat saat gue ngerubah gaya rambut gue yang biasanya berjambul rapi jadi bermodel agak sedikit jambul emosi jiwa getoh. Plis deh ah, ini kan Jumat. Tampil agak gaul dikit boleh dong.

Tiba-tiba, salah seorang teman kantor gue, bapak-bapak dengan dua anak komentar, “Ciee... Pak Rio ganteng lho!”

Ehem, gue cuman tersenyum kecil aja denger pujian itu. Secara yang muji Bapak-bapak yang nggak punya kualifikasi memadai sebagai pengamat tren. Malah gue rada-rada ngeri kalo jambul gue bisa dianggap bagus sama dia, jangan-jangan... belom selesai pikiran gue menuntaskan kecurigaan gue, gue dapet bom super dahsyat.

Bapak itu ngelanjutin, “Sekarang Pak Rio jadi kayak Richie Ricardo!” (puas Mas Wisa:P?)

Hah?! Dia udah meninggal bukan? Jambulnya juga beda bukan? Dia kan jambulnya bulet ala Lupus yang dulu emang dengan amat sangat gegap gempita ditiru banyak anak OSIS di mana-mana (secara tahun 80-an istilah anak anak OSIS kan lagi top-topnya ya). Tapi gue nggak ikutan jambul Lupus itu, sumpah! Gue cuman ikutan makan permen karet sama ngantri minta tanda tangannya Hilman di Gramedia Matraman doang kok. Lagian, gue belom kenal salon zaman OSIS, gue masih potong rambut di barber shop langganan bokap! Bareng bokap pula tiap bulan!

Aduh, gue nggak terima! Untung jantung gue kuat! Nggak ada pembanding laen yang masih hidup apa? Bapak udah nggak pernah denger musik ato nonton tv lagi ya sejak ada tv swasta? Kok bisa-bisanya sih yang diinget itu orang yang udah lama meninggal, dan nggak ada mirip-miripnya sama gue getoh. Saya tahu Bapak maksudnya muji, tapi plis deh ah, kalo nyamain tuh mbok pake referensi terbaru getoh lho. Ini 2004, jadi mbok bilang saya itu mirip Delon kek, Irgi kek, Daniel MTV kek, bukan Richie Ricardo!

Jambul gue jadi emosi jiwa beneran.

Old posting and comments

Saturday, September 11, 2004

Curhat

Catatan: Cerita di bawah ini adalah benar belaka, hanya untuk men-jaim reputasi beberapa tokoh yang terlibat, maka diputuskan untuk menggunakan nama-nama samaran.

Wiken panjang bermula ketika gue memutuskan untuk pulang ke rumah dan nggak balik ke kos dari kantor. Tapi perut laper, dan pengen makan malam dulu, cuma ngajak sapa ya. Iwan pacaran, Pram pacaran, Miko—kayaknya sih pacaran juga, o em ji, kesadaran itu muncul! Temen-temen dekat gue udah pada pacaran sekarang, dan gue, eh, gue kan juga lagi hangat-hangatnya pacaran sama... kerjaan, hehe.... Dug! Kenyataan menyebalkan ini menohok gue di taksi dalam perjalanan pulang.

Okeh, buat apa susah susah itu tak ada gunanya. Coba telepon teman-teman sesama jomblomania. Adit: lagi di warnet, males kemana-mana dan udah pengen pulang; Rommy: ya oloh tolong, udah tidur dia, perasaan baru jam delapanan deh! Plis deh ah, nggak malu sama bantal udah diilerin jam segetoh:P? Duh, siapa yang yang lagi bengong nih? Masa makan sendiri? Makan di rumah? Duh, males ah.

Tiba-tiba gue kepikiran, lho, gue kan mau pulang ke rumah, kenapa gue nggak ajak makan temen yang rumahnya sejalan dan udah beberapa minggu ini nggak ketemu. Ya udah, gue telepon Mas Ganteng-gantengKokMedok (para Jawanis yang terhormat, maaf bukan bermaksud ngeledek, cuman nyela aja, hihi...), dan ternyata dia nggak kemana-mana. Kebetulan gue juga udah lama nggak makan tahu campur yang enak dekat kosnya itu. Tengs Gad, dia setuju.

Kita pun ketemuan di tempat warung tahu campur itu biasa mangkal dan ternyata, gue bete berat, tutup aja udah. Mas, mas, piye toh kowe, ini Jumat getoh lho, kok nggak jualan sih?! Sebel! Gue kan nggak pengen makan yang kelewat berat, lagian menu yang laen udah bosan banget. Bubur, nasgor, nasduk, aduh, sutra lah, udah kelewat sering! Akhirnya, Mas Ganteng-gantengKokMedok ngusulin buat makan di soto sum-sum dekat situ. Ya sut, kepalang laper, mari kita lupakan sejenak lingkar pinggang yang tidak tahu diri dan suka membengkak seenaknya tanpa diminta. Wiken adalah saat pelepasan segala nafsu yang selama ini dikekang, termasuk nafsu makan, hihihi....

Sambil makan, kita pun ngobrol. Malam itu gue mendengarkan Mas Ganteng-gantengKokMedok curhat lagi setelah beberapa minnggu lalu dia sempat curhat waktu nginep di kos gue karena kemaleman. Ternyata belom kelar curhatannya dulu itu, padahal udah sampe jam empat pagi. Penyebabnya ternyata gue juga yang cerita waktu dia nginep itu bahwa gue mendukung keputusan yang diambil Dinda ImutTapiCadel. Malam itu, Mas Ganteng-gantengKokMedok dengan halus menyampaikan kemarahan (ato mungkin lebih tepat penyesalan, namanya juga Jawir, mana suka konfrontasi terbuka) dia ke gue yang dia anggap nggak mendukung usaha-usaha dia dulu untuk tetap pacaran sama salah satu dedek-ketemu-gede gue, Dinda ImutTapiCadel (Dedek kesayangan gue yang kelakuannya emang sering kali minta dijewer dan pedenya aduh, nggak kuat).

Mas Ganteng-gantengKokMedok, jejaka lugu freshly imported from Java yang baru beberapa tahun di Jakarta, dengan penuh pengharapan mencintai sang dara kosmopolitan, Dinda ImutTapiCadel. Masalah utama: Mas Ganteng-gantengKokMedok masih gamang dengan pergaulan kota semegapolitan Jakarta. Sementara Dinda ImutTapiCadel adalah tipe anak gaul yang ingin selalu eksis di tengah sosialisasi kaum hedonis ibukota. Hasilnya: sebuah kasus perbenturan budaya, clash of civilization—bahasa Begaya FM-nya (untuk studi lebih lanjut silakan baca Samuel Huntington, hihi...).

Dinda ImutTapiCadel pun mengucap kata pisah.

Dan gue ada di tengah-tengah dua kutub yang begitu berlawanan. Gue memang nganjurin Dinda ImutTapiCadel buat mutusin Mas Ganteng-gantengKokMedok kalo dia udah nggak ingin bertahan lagi. Logika gue sederhana, memaksakan diri buat bertahan dalam hubungan itu nggak guna. Waktu Dinda ImutTapiCadel curhat dia lagi capek berhubungan dengan Mas Ganteng-gantengKokMedok—seperti di bulan kedua hubungan mereka, gue anjurin Dinda ImutTapiCadel buat bertahan. Tapi masuk bulan ketiga, curhatannya udah beda. Dia udah NGGAK MAU bertahan.

Di lain pihak, Mas Ganteng-gantengKokMedok minta tolong gue buat ngebujuk Dinda ImutTapiCadel terus bertahan karena dia menganggap perbedaan gaya hidup itu bukan alasan berarti. Masih bisa diusahain dan dia mau mengusahakannya. Tapi tetap, gap-nya terlalujauh. Dan butuh dua orang untuk menari serampang dua belas (terjemahan dengan muatan lokal dari idiom “it takes two to tango”, hehe...). Mas Ganteng-gantengKokMedok nggak bisa berbuat apa-apa kalo Dinda ImutTapiCadel nggak mau lagi bertahan.

Mas Ganteng-gantengKokMedok, dengan segala pengendalian diri tempaan budaya Jawanya itu, cuman bisa ngomong ke gue, “aku ngerasa sedih aja Abang nggak ngedukung.”

Gue diem sebentar dan akhirnya cuma bisa bilang, “maafin aku Mas Ganteng-gantengKokMedok. Bukan aku nggak ngedukung hubungan kamu dan Dinda ImutTapiCadel. Tapi aku kenal Dinda ImutTapiCadel, dan dia keras kepala luar biasa. Kalo aku ngotot-ngototan sama dia, hasilnya adalah ribut. Aku sering ribut juga sama dia buat hal-hal remeh, kalo aku lagi lupa bahwa dedekku ini nggak bisa dikerasin. Cara terbaik ngasih tahu dia adalah ketika dia minta pendapat ke kita dan bukan menggurui dia. Dan kalo dia udah nggak mau bertahan, aku nggak bisa bilang apa-apa. Lagipula, terkadang orang harus kehilangan dulu buat ngerasain besarnya arti orang yang dia tinggalkan. Siapa tahu, nanti Dinda ImutTapiCadel sadar bahwa kehadiran kamu selama ini sangat berarti buat dia. Kalo itu terjadi, jodoh nggak bakal kemana. Tapi, aku nggak nyaranin kamu buat diam dan menunggu. Selalu buka kesempatan buat orang lain yang ingin masuk ke dalam hati kamu.”

Malam itu gue berasa jadi Mas Imam dari Majalah Kartini.

Old posting and comments

Friday, September 10, 2004

Sedih

Sore itu, dalam siaran televisi, dengan takjub gue menyaksikan pernyataan paling, maaf, ignorant yang bisa keluar dari mulut seorang petinggi negara, yang, sesungguhnya, tertinggi di negara ini. Presiden Megawati memberikan pernyataan di depan para wartawan soal pemboman di Kedubes Australia. Katanya, “kepolisian sangat perlu bantuan masyarakat untuk mencermati lingkungannya dengan mewaspadai dan melaporkan orang-orang yang dicurigai.”

Dug!

Apa maksudnya Ibu bilang begitu? Sadarkah Ibu bahwa masyakat adalah sumber daya terakhir yang mampu menenggarai sebuah aktivitas terorisme? Kewaspadaan macam apa yang Ibu harapkan dari kami? Orang seperti apa yang mesti kami laporkan ke polisi, Ibu? Apa mulai sekarang kami harus saling mencurigai tetangga dan teman? Sanak dan saudara? Apa mulai sekarang kami harus melaporkan kalau ada orang berjenggot dan bercelana kutung ke polisi karena mencurigai mereka terlibat Al Qaeda? Atau karena mereka berjilbab dan bersorban? Bagaimana mungkin di tengah perbedaan ini, justru iklim kecurigaan yang Ibu tekankan?

Sungguh saya kaget komentar senaif itu diucapkan seorang presiden. Seharusnya Ibu bilang, Ibu akan memerintahkan polisi bekerja 24 jam sehari untuk menuntaskan kasus ini. Seharusnya Ibu bilang, Ibu akan memerintah jaksa menyeret pelaku-pelaku yang belum berhasil dibawa ke pengadilan dan mendesak pengadilan untuk mempercepat kerjanya agar memberi contoh bahwa Indonesia tidak takut pada terorisme dan akan terus memeranginya. Seharusnya Ibu bilang bahwa Ibu akan memecat Hendro Priyono yang sudah kecolongan setiap tahun. Tapi Ibu, kata sahibul hikayat, Ibu sudah diberi tahu intelijen bahwa kemungkinan bom itu akan terjadi, tapi ndilalah, Ibu tetap jalan-jalan ke Brunei dan percaya kepada laporan Kapolri yang, ironisnya, baru melaporkan kepada DPR bahwa situasi keamanan pra Pemilu aman dan terkendali. Jargon orba yang memuakkan karena jauh panggang dari api, Ibu.

Dan esoknya saya lebih kaget, Ibu, ketika di televisi diberitakan bahwa bom itu telah dilacak keberadaannya dan perpindahannya dari kota ke kota di Indonesia. Sungguh, tidak masuk akal saya kalau intelijen dan kepolisian bisa melacaknya, lantas kenapa mereka tidak bisa menghentikannya?

Ibu Presiden, di tengah perpecahan dan perbedaan yang ada, di saat pemimpin diharapkan menampilkan critical leadership-nya, Ibu malah memberi komentar yang tidak menunjukkan Ibu menguasai keadaan dan bagaimana mengendalikannya. Bu, komentar itu sungguh, maaf, basi. Mengajak masyarakat memerangi terorisme adalah komentar paling naif yang yang saya dengar karena komentar itu tidak dibarengi dengan ketegasan seorang pemimpin yang tahu apa yang harus dilakukan.

Pernah terpikirkah oleh Ibu bahwa masyarakat tidak bisa berbuat banyak? Pernahkah terpikir oleh Ibu bahwa pemeriksaan mobil dan tas setiap akan memasuki berbagai gedung di Jakarta adalah upaya masyarakat yang membabi buta mencoba melindungi diri sendiri karena aparatnya tidak bisa diandalkan? Sejak kapan para teroris itu begitu bodohnya membawa bom dalam tasnya dan melenggang masuk sebuah mal? Sejak kapan para satpam itu bisa mendeteksi keberadaan bom di dalam mobil?

Dan Ibu, kalau kejadian bom kemarin mengajarkan sesuatu, orang Indonesia sudah rela mati demi tujuan yang diyakininya, apapun itu. Itu bom bunuh diri, Bu. Bukan hanya orang Palestina atau Lebanon saja yang sanggup melakukan itu sekarang ini, orang Indoenesia juga sudah berani. Kalau sudah begini, bagaimana cara satpam yang sibuk memeriksa mobil dan membuat jalan di depan Plaza Senayan macet karenanya akan mampu menghalangi bila sebuah mobil berisi bom melaju terus dan membiarkan dirinya meledak di depan pertokoan yang sibuk itu?

Duh, saya sudah lama tidak peduli politik, Ibu. Sejak saya menangis di pemakaman Elang di Tanah Kusir Mei 1998, saya berhenti dan tidak ingin menangisi kekacauan politik lagi. Tapi kemarin, Ibu, ketika saya menyaksikan Manuela dibopong orang yang tak dikenal, dan kain kafan menutupi tubuh Pak Anton, Satpam yang naas itu, saya kembali ke meja saya dan tak sanggup menyaksikan televisi dan hanya bisa duduk dan air mata saya menetes lagi. Delapan tahun lewat terakhir kali saya menangis penuh kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan terhadap keadaan sosial dan politik di negara saya tercinta.

Dan saya tidak percaya Ibu mampu mengatasinya.

Old posting and comments

Tuesday, September 07, 2004

INDONESIAN IDOL My first Indonesian Idol


Joy won. She deserved it. Delon didn’t, but if he won, he deserved it too. Joy and Delon gave “The Prayer” a full blow. If anyone should speak falsely about Delon after that night, may he speak up now or forever hold his peace. Mas Wisa, perhaps? Hehehe… But I do think that he matched Joy in every possible way in that particlular song. Furthermore, I’d like to say, repeating the words of Randy “the wise guy” Jackson commenting on Tamyra Grey’s performance in “A Fool in Love”, “Delon, you are acting, singing, dressing exactly what I think an American Idol is all about.”

In deed Delon did, unlike Joy, oh poor Joy who dressed like, well you’d better read Miund's entry on that subject for she has discussed quite a length on how Joy badly needed a 911 fashion emergency. She did look like “mak-mak mo kondangan di Rt 05/Rw 03 Jalannya, Jalan Cinta, Jurusan Kota Intan” (lyrics were, of course, repeated without any permission from Cici Faramida or whoever wrote the song).

Nania opened the result and reunion show with a national song, which I never quite comprehend the reason why. It was as if I attended my undergraduate inauguration I refused to attend many many years ago. Nania started of quite nicely but then failed to impress me for she, again, sang only with her technic and power, and not with her heart. And at the end of “Indonesia Pusaka”, she screamed her lungs out and hurt my ears.

Nania, Nania, did you know that the song was about longing for our motherland? Was this your idea about longing? Were you always screaming when you were longing for someone? If yes, I think we had serious different ideas on how to express our longing. Why don’t you go to attend University of Indonesia’s inauguration and listened to Mbak Aning Katamsi sang. But oops, she didn’t sing in inaugurations anymore ya.

The Indodol girls sang badly too, especially in “Ratu Sejagat”, they collectively forgot the lyrics. Plus, the blocking was awful and so were other songs. Suci and Karen seemed like they were about to crash on one another as for Winda and Nania, well they were better. I didn’t say their blocking was good, but at least better.

And to frustrate me further, the Indodol guys, in particular Michael and Andhika, sang and danced like they were forced and dragged to the stage. Guys, I know you were much much more masculine than sweet-cutie-pie-looking Bona, or that hmmm… well not so cute Lucky, but once you were a part of a group, act like one! Be prepared ya and learn the moves! And be professional getoh lho!

The commercial break, I could imagine, was too long and boring. Thanks God I was entertained by the dynamic duo Indra Bekti and Okky Lukman. They were FUNNY! My deepest condolences to all the tv viewers for watching never-ending parade of commercials, which according to Kompas, took a third of the show time. Gosh, I really have to thank Mbak Rika, Gus, for not going so I could fortunately got the ticket.

Now, let’s gossip about the judges. The judges, well, gave boring and uninspiring speeches. Mukas went further by giving the most irritating speech I heard so far. As if she wanted to cleanse all annoying comments she made during the show. Why did you have to do that? You were annoying from the beginning, but sometimes you did make good judgment. Sutra lah, why did you have to apologize so dramatically? That sort of attitude belongs to AFI ya, in case you forgot, read my previous entry deh (like, when would Mukas ever read my blog:P?!). You lost my respect once you began defending yourself unnecessarily. Your comments were part of the show, you entertained people with your harsh comments. Apologize a bit, and that’s it. Don’t over do it. If you still want it, do that in private lah. It was more elegant.

Now, I wanted to dedicate the following paragraphs to talk about someone who, in my humble opinion, was robbed.

Winda, o Winda, I never saw you performed in the first two Spectacular shows, I was so sorry I failed to pay any attention. My defense: I wasn’t infected by the Indodol virus at that time. I already love your voice singing “Dalam Cita dan Cinta” in the CD. But watching you tonight, I would have to say that your riddance was THE MOST RIDICULOUS choice ever made in the short history of Indonesian Idol. Not Lucky’s, not Nania’s, but your riddance. How could people think that Karen, Bona, Michael, Helena, and yes, Delon were better than you? Or even had more star-quality than, say, the stunning Helena?

Noone, among them Idol finalists, looked more at ease performing than Winda that night. She moved onstage so effortlessly and confidently as if the stage was her backyard. She played with her song and the melody masterfully. Only Joy’s near-narcissism-confident could match Winda’s eclectic performance.

And that voice, o that voice, the power, the colour, I love it more even than Joy’s or Nania’s or Lucky’s. So how could, how ever could, she was voted off so early in the competition? I was speechless.

Winda should be the first Indodol!


I demanded a rematch!