Friday, August 12, 2005

Si Sisir Merah


Kemaren siang gue ngupi bareng Ve, Pram, dan Bowo di Starbucks Skyline Building. Ve cerita bahwa dia baru menulis sebuah artikel tentang kecacatan perilaku orang-orang yang pengen ngupi di warung kopi kapitalis yang menjamur di mana-mana kayak Bintang Dolar favorit gue, Ve, dan Bowo, atau warung kopi Biji Kopi dan Daun Teh yang cheesecake Chicago yang beraroma lemonnya selalu bikin gue ngeces dua ember setiap mampir. Dan Ve, dari hasil obrolannya dengan seorang mantan barista, berhasil ngumpulin cerita-cerita itu dan dia tulis buat Reader's Digest (Tatut, bayar gue nih, udah ngiklanin majalah lo, hehe...).

Asyik emang ngamatin kelakuan orang-orang ketika berhadapan dengan suatu bentuk budaya pop baru karena nggak semuanya bisa dengan cepat beradaptasi. Cerita cacat dari orang-orang yang gegar budaya, termasuk yang gue alami sendiri—maaf, bukan untuk untuk konsumsi publik ya *selebriti mode on*, tentu amat sangat banyaknya, seiring dengan semakin banyaknya terpaan budaya pop itu.

Gampang-gampang susah emang mau beradaptasi itu. Sapa yang ngasih tahu caranya mesen kopi di Starbucks kalo lo baru pertama kali ke sana, misalnya. Mau nggak mau kalo salah-salah dikit biasa lah. Abis, mana ada sih juklak alias petunjuk pelaksana caranya beradaptasi dengan budaya pop? Lah, udah dikasih tahu juga orang Indonesia kan sering ngeyel. Coba deh lihat sekitar kalo nonton film di bioskop. Betapa jengkelnya gue ketika ada orang yang keukeuh ngobrol di telepon waktu Christian Bale lagi digebukin di Batman Begins. Mas, mas, minta digebukin juga ya? Rese banget sih, padahal iklan dilarang maen hape itu kan udah banyak banget ragamnya dan jelas banget maknanya. Adakah efeknya? Sekali dalam bulan biru kali yaaaa... (baca: once in a blue moon)

Demikian juga dengan ngupi di cafe. Ada banyak cerita di sana. Bowo pernah cerita waktu dia lagi ngupi di Biji Kopi dan Daun Teh Plaza Senayan ketika seorang pesohor—yang berprofesi ganda sebagai artis sinetron dan pengacara kondang dengan rambut dicat dan kuncir andalan dan punya marga yang bisa jadi tebak-tebakan garing: “pisau nggak tajam namanya apa hayoo?”—datang ke dalam cafe dan langsung duduk di kursi yang kosong. Tanpa ba-bi-bu dia manggil baristanya dan minta... DAFTAR MENU!

Dengan sabar baristanya nyamperin si Abang ini dan bilang kalo dia harus ngantri di kasir buat memesan. Untung si Abang ini orangnya asyik, dia langsung mengeluarkan selembar seratusribuan dari tas Versace-nya dan bangun dari tempat duduknya. Makanya Abang, ini bukan kelas Abang, lain kali janjian di Hotel Mulia aja, dekat juga kan?

Nah, ada satu kejadian yang gue alami di satu Senen yang cerah waktu gue bolos kantor dengan alasan ada urusan keluarga, padahal gue punya kerjaan sampingan yang mesti gue kelarin secepatnya. Secara kamar kos gue nggak punya kursi dan meja, dan setiap gue kerja di tempat tidur, gue selalu memanfaatkannya sesuai fungsi dasarnya: untuk tidur, gue pun memutuskan untuk kerja di cafe-nya QB, Plangi.

Siang itu lumayan banyak orang makan dan minum dan ngobrol di cafe-nya QB. Setelah sekitar satu jam ketak-ketik di notbuk andalan gue itu, gue mulai bosan dan pengen cari hiburan. Untungnya, nggak lama hiburan itu dimulai.

Gue masih asyik kerja waktu seorang perempuan muda dan cantik mengenakan kaos putih ketat dan pendek yang memamerkan sebagian perbatasan punggung bawah dan pantatnya yang dibalut dengan jins yang memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya yang aduhai (dikutip dari Nick Carter, Cinta Segitiga Seorang Spion, hal. 47; errr..mau pinjem, Way? *kedip-kedip*) masuk ke dalam cafe dan duduk persis di meja di depan gue. Cewek bohay ini datang dengan seorang perempuan setengah baya dan dua orang pria muda. Mereka bereempat kelihatannya punya hubungan kekerabatan deh.

Setelah duduk dan memesan ini-itu, tiba-tiba cewek cantik itu memasukkan tangannya ke dalam tas dan ngeluarin...

JRENG... JRENG....

Sisir plastik bergerigi panjang berwarna merah dengan ujung seperti pisau pembuka kertas!

Di dalam sebuah cafe. Di sebuah mal. Di sudut Jembatan Semanggi. Seorang cewek cantik dengan pede menyisir rambutnya yang bak mayang terurai dengan menggunakan sisir plastik merahnya itu.

Gue cuma bisa nganga keheranan menatap pemandangan yang tak biasa dan bertanya-tanya dari mana asal cewek itu karena, yang pasti, dia bukan anak Jakarta!

Gue keinget satu episode di film seri Sex and the City ketika Jack Berger, pacar Carrie Bradshaw, menulis dalam bukunya tentang seorang perempuan Manhattan yang mengenakan ikat rambut (yang menurut nengsarah namanya scrunchie) di sebuah bar. Carrie mendebat hal itu karena menurutnya nggak mungkin ada perempuan asli Manhattan yang mau make ikat rambut seperti itu di tempat umum. Sampe satu saat di sebuah bar Manhattan, Jack Berger melihat seorang perempuan mengenakan ikat rambut. Semangat, dia pun bertanya dari mana asalnya. Perempuan itu tertawa ketika Jack menuduh kalo dia berasal dari New York. She’s no New Yorker, she said laughing, she comes from Georgia (tengkyu lagi buat nengsarah yang udah ngebenerin).

Jadi, buat semua yang protes sama kejakartaan gue, maaf-maaf aja nih. Gue emang anak Jakarta deh! Dan seumur hidup gue nggak pernah ngelihat ada cewek Jakarta apalagi dengan atribut segaul itu yang nekad nyisir rambut pake sisir plastik murahan yang biasa dipake buat nyasak di depan umum. Dalam sebuah CAFE lagi! Gila bener. Mbak, mbak, ke toilet dulu deh kalo emang mau ngeberesin dandanan!

Dan belum selesai kekagetan gue sama kelakuannya, selesai nyisir tiba-tiba cewek itu bangkit dan masuk ke dalam toko buku dan nggak lama kemudian dia kembali ke mejanya membawa...

JRENG... JRENG....

Dua buah buku baru!

Err... mbak, mbak, ini toko buku kale, bukan PERPUSTAKAAN! Kalau mau baca di cafe, beli dulu kek! Kalo nggak, baca di luar aja, gimana? Gue cuman bisa geleng-geleng ketika cewek itu asyik ngebalik-balik isi buku entah apa judulnya itu sambil nyeruput es teh beraroma lemon. Lah, kalo basah bukunya gimana? Kalo robek gimana? Masih mau beli apa?

Pengen deh nanya, “Mbak, maaf, dari Desa Sukatani ya?”