Monday, December 13, 2004

Lo Cina ya?

Gue tahu banget tampang gue sangat nggak Minang, yang sebenernya gue juga nggak tahu kayak apa, bahkan cenderung nggak Melayu. Semelayu-melayunya, paling gue disangka orang Palembang. Kebanyakan orang bakal nuduh tanpa basa-basi—kalo gue suruh mereka nebak asal-usul gue—dengan satu kalimat menohok:

"Lo Cina ya?"

Selama ini, gue mah nggak keberatan dituduh Cina. Gue malah sangat bersyukur akan karunia wajah kosmopolitan Asia gue ini karena itu berarti gue bisa ngaku jadi orang Jepang, Thailand, ato Filipino. Karena itu, di mana pun gue berada, gue akan bisa berbaur dengan baik. (Errr… buat yang punya penyakit dengki dan iri akut yang sering kena serangan mendadak kalo orang berkata jujur, tolong ya… jangan muntah sembarangan, kasihan kan orang di sebelahnya. Gih, ke kamar mandi sana, baru baca lagi. Tapi teteup baca ya, awas lho kalo nggak!)

Nggak kayak Agus ato Bowo, misalnya. Mereka pasti kelihatan jadi orang asing di Taiwan misalnya. Nggak usah jauh-jauh, kalo mereka hilang di Mal Pluit, kita tinggal minta information buat bilang, "kepada pengunjung Mal Pluit yang merasa dirinya paling hitam, ditunggu di information."

Eniwei, tuduhan ke gue itu nunjukin bahwa "orang cenderung sangat mempercayai matanya". Mereka gemar bikin kesimpulan dari apa yang dilihat, dan kesan itu sering susah hilang seperti noda yang membandel. Dan karena nggak mungkin mencuci mata dengan Rinso, maka nggak heran kalo banyak orang yang matanya bernoda terus. Masalahnya, kalo cuma stop sampe segitu aja sih nggak masalah, tapi yang nyebelin adalah kalo setelah itu gue kena labeling.

Nah, di antara semua tuduhan itu, kalo diurutin ada dua kejadian yang paling bikin gue nggak abis pikir, "kok bisa ya?" Tapi ya bisa toh, wong kejadian jeh *baca dengan logat Bu Broto ndari Losmen.*

Di urutan kedua adalah tuduhan yang terjadi belom lama ini dan udah sukses bikin gue terheran-heran karena pelakunya adalah seorang kawan blogger yang cerdas (dengan berat hati gue angkat dulu ini orang karena nanti gue bakal banting abis-abisan, hihihi…) dan notabene adalah orang yang udah cukup lama kenal dan ngebaca blog gue. Oknum adalah seorang arek Malang yang telah lama berdomisili di Singapura dan beberapa waktu yang lalu ditenggarai membuat janji dengan seorang ibu muda yang rupawan dan memiliki rambut dan nama yang indah, Karmela Amanda Kamila, atau dikenal oleh keluarganya dengan panggilan sayang, Mea aka Mel.

Tuduhan tersebut dilontarkan dalam salah satu obrolan melalui MSN messenger yang mana selama proses pembicaraan membuat gue harus menahan siksaan silau akibat pantulan cahaya dari jidatnya yang cukup luas terpampang di window, yang pada akhirnya membuat gue tergelitik untuk menggugat, "ada apa dengan arek Malang? Kenapa mereka memiliki jidat yang begitu luas ya? Apakah ini adalah kecenderungan kemalangan orang Malang?" Kalau benar adanya, bahwa orang Malang cenderung bernasib Malang memiliki jidat yang luasnya di atas rata-rata (Iwan, Bowo, dan oknum), maka kita perlu mewaspadai agar kecenderungan yang Malang ini tidak meluas dan menjadi wabah nasional.

Untuk menghargai asas praduga tak bersalah dan menjaga kerahasiaan yang bersangkutan karena mungkin dia agak-agak malu telah melakukan kebodohan ini, dengan memohon maaf kepada para peri gosip kelas berat yang suka MTA (mau tahuan aja), gue nggak akan pake nama aslinya, tapi cukup kita sebut saja oknum dengan Jidat Dua (secara Iwan adalah Jidat Senior dan Bowo Jidat Satu).

Berikut isi cuplikan pembicaraan gue dan Jidat Dua:

* Jidat Dua * says:
Hah? Elo orang minang???

Rio says:
Hah? Elo baru tahu?

* Jidat Dua * says:
Hahahahahahahaha….

Rio says:
Lo gila ya, apa makna lo baca tulisan liburan gue?

* Jidat Dua * says:
Yaolooooooo *baru ngeh* Tampang elo kan (seperti elo tulis sendiri) sangat oriental.

Rio says:
I know, lo orang ke 2,365,987 yang bilang getoh.

Demikianlah kebolotan tiada tara yang telah dilakukan oleh kawan blogger kita, Jidat Dua. Gila yeee… udah berbusa-busa gue ngomongin soal asal-usul gue, eh, ini anak dengan kekeuh jumekeuh tetep nyangka gue Cina cuman gara-gara tampang eksotis Asia gue itu. Udah kebanyakan ngomong Singlish gue rasa bocah Jawir satu ini sampe-sampe ngaclak begini jalan pikirannya. Nauval, Nauval,… kok bisa ya? Eh, sori, kesebut ya? Ah bodo, males ngedilet, bekspesnya rusak, hihihi….

Tapi biar gimana, di atas langit ada langit. Seajaib-ajaibnya Nauval, tetap ada yang ngalahin keajaibannya, yaitu seseorang yang namanya pun gue nggak tahu. Kejadiannya beberapa tahun lalu waktu gue habis berenang di hotel Ibis Slipi. Di ruang ganti, gue lagi pake sepatu saat seorang laki-laki muda keturunan Tionghoa ngajak gue ngobrol.

"Ko," katanya manggil gue.

"Ya," jawab gue sigap secara gue udah sangat refleks ngejawab kalo dipanggil koko.

"Lo tahu gereja Bethany di Petamburan nggak?" tanya orang itu sambil memasukkan handuknya ke dalam tas.

"Wah, nggak tahu deh. Gue tahu ada gereja di daerah Petamburan, tapi nggak tahu itu Bethany atau bukan."

"Emang engko gerejanya di mana?" dengan keukeuh dia nerusin pembicaraan

"Oh, gue nggak ke gereja," jawab gue diplomatis sambil buru-buru nutup tas ransel gue.

"Kok nggak?" tanyanya.

Lah kok maksa, bebas dong ah, pikir gue yang mulai jengkel dengan kerumpiannya. Want to knoooooooowww aja… Gue diem dan hanya memberikan dia senyum gue yang tersohor imyut dan kiyut itu.

"Oh," katanya ngelanjutin sambil tersenyum dan kalo khayalannya bisa tergambar maka pasti ada lampu bohlam menyala sebagai lambang keberhasilannya menemukan jawaban orisinal. "Engko Buddha ya?"

Lho kok gitu sihhh! Jadi karena kulit gue terang, gue pasti Cina ya, dan kalo gue Cina otomatis gue pasti Kristen; kalo bukan, gue mestinya Buddha ya? Adaw, gue kena labeling!

Plis deh ah! Free your mind getoh lho. Ada terlalu banyak ragam orang di dunia. Tuhan itu Maha Kreatif, Dia udah bikin orang dengan variasi yang muachem-muachem. Gue, buktinya. Biar gue orang Minang, nggak berarti gue jago ngaji dan rajin shalat kayak si Jon (lihat Kalau orang Minang kasih nama) kan?; juga nggak berarti gue pinter dagang kan? Wong gue paling nggak bisa nawar kok! Gue juga nggak pelit kok.

Mas Wisa, contoh lain, biar udah sepuluh tahun hidup di Jakarta, medhok Jawanya nggak hilang-hilang (heran bener gue); tapi gitu-gitu kan pemikirannya selalu maju dan cosmopolitan. Dia orangnya juga on time, nggak jam karet seperti para Jawir umumnya.

Terus ada orang Sunda kayak Mel tapi bisa punya rambut kayak errr… Beyonce sebelom di-rebonding (eh, Fira sama Adam teh rambutnya kayak sapa ya?). Padahal kalo inget orang Sunda kan kita ngebayang Iis Dahlia ato Ice Tresnawati ato Desi Ratnasari yang rambutnya lurus panjang sebahu kayak Miss Kunti van Tanah Kusir, ya nggak?

Atau orang Tionghoa kayak Anri yang biar badannya kecil tapi berhati besar dan suka memberi tak harap kembali (jadi kapan lo minjemin gue duit tanpa bunga dan jangka waktu tak terhingga?). Jadi nggak kayak engkoh-engkoh di Glodok yang suka ngerente duit itu kan?

Lain lagi Ipe yang asli orang—errr…lo orang apaan sih Pe? Yah, walaupun selalu kelihatan sableng tapi ternyata Ipe baik hati karena udah rela online malem-malem sambil ngumpet-ngumpet takut ketahuan bokapnya buat buka blognya Mel dan ngasih tahu gue nama lengkapnya supaya gue bisa nyelesein tulisan ini di kos Jumat malam ini (Tengkyu ya Pe, tapi menurut gue, lo tetep sableng, hehe…).

Jadi sebenernya orang itu nuansanya banyak ya, nggak sebatas penampakan, nggak sebatas latar belakang budaya, ras, suku, ato agama. Tapi kita udah kebiasaan banget nge-judge orang dari penampakannya belaka. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, ehem, marilah kita bersama-sama membudayakan kebiasaan untuk ndak menilai buku dari sampulnya.

Oke deh, gue juga introspeksi, secara gue sebenernya paling gemar nyela orang dengan label, tapi kan gue nggak nyela dari hati (cieee… bela diri),secara nyela is my middle name getoh lho. Dan korban utama gue, harus gue akuin, adalah orang Jawa (Abis gimana dong, mereka paling banyak sih jumlahnya, jadi variasinya juga paling banyak kan? Nggak heran kelakuannya juga paling banyak yang deliciously celaable, hihihi…).

Kayak waktu makan pecel Madiun yang enak di Cik Ditiro tapi pelayanannya super lelet, sementara naga-naga di perut gue udah pada berkoar minta diempanin, gue langsung njeplak, "dasar Jawir, lelet banget sih cuma bikin pecel doang. Cuma ambil sayur, tuangin kuah aja lamanya udah kayak perisapan mo Perang Bubat!" (Dan gue balas dendam dengan ngabisin pecel pake lontong, terus makan sate ponorogo sepuluh tusuk, tempe dan tahu bacem, plus satu kantong kerupuk lempeng.)

Yo wis, mbesuk-mbesuk gue nggak bakal nyela lagi deh (sial! Hidung gue tambah mancung).

Emang gue Cina banget ya? Menurut lo, bagian muka gue yang mana yang paling bikin gue kelihatan Cina? Kuping? Hidung? Mata? Bibir?