Saturday, June 11, 2005

Mohon doa restu

Telah pindah dari blogdrive ke blogspot, guario, pada hari Sabtu Wage, 11 Juni 2005. Besar harapan kami agar ucapan selamat dapat diwujudkan dalam bentuk ibook atau ipod. Terima kasih.

Thursday, June 09, 2005

Dari Faiz untuk Khaerunisa

Faiz, bocah kecil yang jago nulis puisi itu, menulis puisi ini setelah mendengar cerita dari sang bunda tentang kemalangan Khaerunisa.

Dan gue menggigil membacanya.


KISAH DARI NEGERI YANG MENGGIGIL
(untuk adinda: Khaerunisa)

Kesedihan adalah kumpulan layang-layang hitam
yang membayangi dan terus mengikuti
hinggap pada kata-kata
yang tak pernah sanggup kususun
juga untukmu, adik kecil

Belum lama kudengar berita pilu
yang membuat tangis seakan tak berarti
saat para bayi yang tinggal belulang
mati dikerumuni lalat karena busung lapar

: aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kulihat di televisi
ada anak-anak kecil
memilih bunuh diri
hanya karena tak bisa bayar uang sekolah
karena tak mampu membeli mie instan
juga tak ada biaya rekreasi

Beliung pun menyerbu
dari berbagai penjuru
menancapi hati
mengiris sendi-sendi diri
sampai aku hampir tak sanggup berdiri

: sekali lagi aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kudengar episodemu adik kecil
Pada suatu hari yang terik
nadimu semakin lemah
tapi tak ada uang untuk ke dokter
atau membeli obat
sebab ayahmu hanya pemulung
kaupun tak tertolong

Ayah dan abangmu berjalan berkilo-kilo
tak makan, tak minum
sebab uang tinggal enam ribu saja
mereka tuju stasiun
sambil mendorong gerobak kumuh
kau tergolek di dalamnya
berselimut sarung rombengan
pias terpejam kaku

Airmata bercucuran
peluh terus bersimbahan
Ayah dan abangmu
akan mencari kuburan
tapi tak akan ada kafan untukmu
tak akan ada kendaraan pengangkut jenazah
hanya matahari mengikuti
memanggang luka yang semakin perih
tanpa seorang pun peduli

: aku pun bertanya sambil berteriak pada diri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Tolong bangunkan aku, adinda
biar kulihat senyummu
katakan ini hanya mimpi buruk
ini tak pernah terjadi di sini
sebab ini negeri kaya, negeri karya.
Ini negeri melimpah, gemerlap.
Ini negeri cinta

Ah, tapi seperti duka
aku pun sedang terjaga
sambil menyesali
mengapa kita tak berjumpa, Adinda
dan kau taruh sakit dan dukamu
pada pundak ini

Di angkasa layang-layang hitam
semakin membayangi
kulihat para koruptor
menarik ulur benangnya
sambil bercerita
tentang rencana naik haji mereka
untuk ketujuh kalinya

Aku putuskan untuk tak lagi bertanya
pada diri, pada ayah bunda, atau siapa pun
sementara airmata menggenangi hati dan mimpi.

: aku memang sedang berada di negeriku
yang semakin pucat dan menggigil

(Abdurahman Faiz, 7 Juni 2005)

Banyak yang trenyuh dan speechless baca tulisan Faiz untuk Khaerunisa, lihat komen mereka saat gue masih di Blogdrive! Komen baru silakan klik yg di bawah ini.

Khaerunisa

Gue cuma bisa duduk dan menangis di kantor ketika membaca berita ini. Rasanya lemah dan nggak punya daya apa-apa. Air mata emang nggak cukup, nggak akan pernah cukup. Tapi saat ini, gue ingin bersedih dulu.

PEMULUNG NAIK KRL UNTUK MENGUBUR ANAKNYA
Salemba, Warta Kota

PEJABAT Jakarta seperti ditampar. Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah. Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor pun geger Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn). Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL.

Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari," ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu. Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet. Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun.

Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.

Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan. Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku.

Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya.

Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi Karen atidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor. Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. "Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia," ujarnya.

Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz, mengatakan peristiwa itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan kesehatan bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin kata Wardah.

Rekan-rekan blogger yang ingin berbagi silakan curahkan simpati kalian di sini. Atau klik yang di bawah ini.

Tuesday, June 07, 2005

Pengajian (2/2)

"Terus kapan nih?" Pak Ustadz berkata sambil tersenyum dan mengambil sepotong semangka dari piring.

Gubraks! Kapan apaan? Walau gue tahu apa yang dimaksud, gue tetap menjawab dengan jawaban standar gue, "kapan apaan, Pak Ustadz?"

"Eh, kapan apaan lagi. Kapan nikah? Mumpung saya masih hidup nih; umur saya sekarang udah 64, udah dapet bonus satu tahun, jadi cepetan dong, Yo."

"Hehe...," seperti biasa, pertanyaan itu gue jawab dengan template yang sama, "Doain aja, Pak."

Gue pun buru-buru kabur dari ruangan itu dan pindah ke teras sambil ngobrol sama kakek, kakak dan abang ipar gue. Setengah jam kemudian, Pak Ustadz siap-siap pulang ke rumah diantar adek gue. Secara rumahnya dekat rumah gue, ya gue ikutan nebeng karena gue mau ambil majalah Premiere baru gue yang udah dikirim. Lagian, buat apa keluar duit buat bayar taksi lagi.

Tapi apa yang terjadi dua puluh menit ke depan akan menyiksa gue sehingga gue mending bayar Golden Bird kalo perlu dari pada harus nebeng mobil adek gue.

Karena, begitu pintu ditutup, dan mobil mulai jalan, seolah nggak sabar dan nggak puas, Pak Ustadz langsung buka mulut, "jadi saya tanya lagi nih, Yo, kapan?"

Gue hanya bisa nganga mendengarkan pertanyaan ini dan menyadari bahwa gue udah masuk ke dalam perangkap kepelitan gue sendiri! Hiks...

Dengan ketabahan Faradilla Sandy di film Ratapan Ibu Tiri, tapi nggak pake air mata yang mengalir seperti air zam-zam itu ya, gue menangkis pertanyaan Pak Ustadz dengan jawaban standar lagi, "saya sibuk, Pak."

"Wah, justru itu enaknya punya istri, Yok," katanya. "Orang laki (dia emang Betawi bo) capek pulang kerja, ada istri menunggu di rumah buat mijitin kita. Masya Allah, nikmat bener dah!"

"Hehe... kalo istrinya nggak mau, gimana, Pak Ustadz," gue coba ngeles.

"Nggak mungkin. Makanya kalo kita cari istri mesti cari yang solehah." Lah, bukannya gue diajarin kalo setiap orang dikasih pasangan yang sepadan. Gue begajulan begini masa ngarep dapet yang super solehah, sama aja kayak Mandra pengen ngawinin Tamara Bleszinky nggak sih?

Dan gue pun ngebayangin Mel, demi cita-cita menjadi istri yang solehah, setiap malam mijitin abang yang baru pulang kerja (hayoo, ngaku, pernah nggak lo:P?), sementara Adam maen drum dan Fira nonton DVD School of Rock untuk ke-1.512 kalinya;). Walau rasanya ada yang janggal dalam gambaran ini, tapi stralah, hihihi... (Amin, Mel, gue doain kok)

"Karena perempuan shalehah itu adalah sebaik-baiknya perhiasan," Pak Ustadz keukeuh ngelanjutin ceramahnya yang disambung beliau dengan melafalkan ayat-ayat Al Quran. "Wablablabla... blablabla...." (maaf ya, gue nggak hafal ayatnya)

Duh, berasa dapet surat peringatan nih gue. Gue layangin pandangan keluar, dan ngitungin mobil yang lewat sambil berusaha menulikan kuping. Baru sampe Buaran, sepuluh menit lagi. Lama yaaaa...

"Dan jangan jadikan pekerjaan sebagai alasan, Yo," Pak Ustadz Murtadho melanjutkan. "Endeswa... endeswe... endebra... endebre..."

Gue udah nggak sanggup, kalo diterusin bisa-bisa gue lompat keluar mobil yang lagi jalan ini! Gue ambil hape dan gue sms seluruh dunia untuk meminta dukungan moral. Tapi apa daya, gue melupakan satu fakta bahwa teman-teman gue, yang nggak perlu gue sebutkan namanya satu per satu itu, adalah termasuk orang-orang yang berbahagia di atas PENDERITAAN orang lain. Dan gue ingetin ya, doa orang yang teraniaya itu makbul, huh! Untung gue orang yang sabar dan nggak tega ngedoain yang jelek-jelek, huh!

Tapi, seperti sms Ben yang bijak (carmuk sama calon tetangga, hihi...) "badai pasti berlalu," dua puluh menit kemudian, begitu adek gue meminggirkan mobilnya di pinggir jalan masuk ke kompleks perumahan gue, gue turun mobil, badai itu pun berlalu. Mobil adek gue melaju bersama ‘badai’ di dalamnya. Lega.

***

Senen pagi ini gue dapet sms dari Apang, sahabat SMA gue yang baru dapet anak kedua, "Yo, lo ada acara hari Sabtu siang?"

Gue jawab, "Buat lo, gue kosongin. Kekahan ya?"

Tapi gue kemudian menyadari sesuatu hal dan langsung nelepon Apang,"Eh, pake pengajian nggak ya?"

"Kenapa? Emang lo mau dateng?" Apang nggodain gue.

"Ya nggak laaaaaaaahhh... gue cuma mau dateng pas makan-makannya," jawab gue tegas.

"Kalo gitu dateng siang aja," jawab Apang pengertian.

Gue trauma.

Jangan menambah dosa dengan nulis komen yang bikin gue tambah trauma, seperti komen yang di blogdrive! Nulis yang manis-manis yuk. Klik yang di bawah! ;)

Monday, June 06, 2005

Pengajian (1/2)

Secara kebiasaan keluarga gue, yang diajarin sama nyokap yang cinta sekali bikin acara selamatan lengkap dengan pengajian dan makan-makannya setiap kali ada peristiwa penting, adek gue pun melestarikan kebiasaan itu dengan bikin selamatan buat ngeresmiin tokonya.

Duh, gue udah lama banget rasanya nggak pernah ikutan acara-acara begini sejak nyokap pindah ke Bonjol. Kalo dulu sih, jangan tanya. Gue udah enggak tahu deh berapa jumlah pengajian yang gue datengin seumur hidup gue. Sampe-sampe, Ai—sahabat gue di kampus yang lagi bertugas di Moskow—pernah berkomentar, "hidup lo kayaknya cuman buat pengajian sama kawinan ya, Yo."

Lah, gimana nggak? Kalo hampir setiap wiken gue mesti nganterin nyokap gue ke 1001 acara pengajian dan kawinan. Dengan tabah gue sopirin nyokap gue kemana-mana; mulai dari pengajian di Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK)—yang udah kayak Arisan nggak resmi orang Padang se-Jakarta itu, sampe pengajian kelompok ini dan itu di sana dan sini.

Di antara semua acara ceramah dan pengajian itu, gue paling suka nganterin nyokap ke pengajian di MASK. Dan setiap hari Minggu pagi, sering kali tanpa mandi karena gue bangun selalu telat ketika semua orang udah siap berangkat, dengan modal cuci muka dan sikat gigi (kadang inipun nggak sempat), tetap memakai kostum yang sama buat tidur—apalagi kalo gue lagi males ganti celana panjang, tak lupa diiringi omelan nyokap mulai dari soal susahnya ngebangunin gue sampe betapa joroknya gue, gue masuk mobil yang udah dipanasin dulu sama bokap.

Di masjid, kita punya kebiasaan masing-masing. Bokap gue dengan buku catatan kecilnya selalu masuk ke dalam masjid, sementara nyokap gue memilih duduk di luar, di depan aula bareng almarhumah nenek gue dan salah seorang sodara perempuan yang ikut buat jadi dayang-dayangnya nemenin belanja kalo ceramah udah kelar.

Tebak apa yang gue kerjain? Gue selalu jalan-jalan sendirian di halaman masjid buat cari, tentunya: SARAPAN! Lapar, tahu! Jadi acara pertama gue di masjid adalah nentuin menu sarapan pagi itu. Hmm... minggu lalu gue udah makan sate, jadi minggu ini giliran soto, dan minggu depan pecel. Sering, kalo lagi laper banget, sate dan soto sekaligus juga bisa gue sikat.

Dan setelah sekian lama nggak pernah pergi pengajian, hari Minggu itu, gue datang ke acara selamatan toko adek gue. Sampe di sana, pengajian udah kelar, dan tinggal acara makan-makan. Begitu gue dudukkan pantat gue di tikar, gue ditegor oleh seseorang yang nggak gue lihat sebelomnya.

"Yo, kemana aja, jarang kelihatan," seorang pria setengah baya menyapa gue.

"Eh, Pak Ustadz," gue menyapa sambil mengulurkan tangan menyalami Pak Ustadz Murtadho. Pak Ustadz Murtadho ini adalah salah seorang guru mengaji gue waktu kecil karena gue punya banyak guru, hehe... Dia juga imam di mushala dekat rumah dan kalau ada acara pengajian, sering ditanggap nyokap gue.

Sambil nambahin sambal di mangkok berisi soto bikinan Ratna, gue jawab pertanyaan standar itu dengan santai, "Saya kos sekarang."

"Pantes," jawab Pak Ustadz sambil tersenyum.

Senyum berbisa sebelom dia ngejatohin bom itu.

komen blogdrive!

Thursday, June 02, 2005

Tuti dan Ari Wibowo

Pagi-pagi buta, waktu matahari belom juga terbit, dan jam kamar gue masih nunjukin angka 8.30—tolong diinget ya, buat gue, matahari terbit jam 9, pintu kamar kos gue diketok orang. Aduuuhhh... sapa seh neh rese banget, nyawa gue kan masih pecicilan terbang ke sana ke mari.

Tapi ketokan itu terdengar lagi. Gue nyerah, gue pun teriak, "ya, sebentar."

Dengan kostum rada anonoh, gue coba untuk bangkit dari tempat tidur. Langkah gue perlahan terlatih menuju pintu dan ketika gue buka, ternyata...

Kwang, kwang...

Tuti, pembantaian alias pembantu kos gue berdiri dengan senyum lebar dan wajah sumringah menatap gua. Gue kaget, apa urusannya ya... Sebentar, gue kan udah bayar kos, gue selalu bayar langsung setiap laundry gue selesai, juga kalo gue pesan internet alias indomie telor kornet sama dia. Jadi, ngapain nih orang nggak ada angin nggak ada hujan berdiri depan kamar gue.

"Mas Rio, tolongin aku, dong," katanya dengan senyum lebar dari kuping ke kuping.

"Ada apa, Tut?" gue belom bisa ngatasin kebingungan gue.

"Aku lagi cari formulir pendaftaran buat kerja sama Ari Wibowo," katanya.

"Hah? Kerja sama Ari Wibowo?" Lelucon apa lagi sih ini, pikir gue jengkel. Emang Ari Wibowo mau ngapain?

"Iya, katanya audisinya di Atrium, tapi mesti isi formulirnya dulu. Mas Rio bisa bantuin nggak?"

Gue nggak tahu apa yang dia maksud, tapi gue nggak mau tahu sekarang secara ini kan masih pagi getoh lho! Dan pagi adalah waktu kryptonite gue. Gue lemah dan gampang nyerah kalo ditodong kayak begini pagi-pagi. Nyawa gue belom bersatu, jiwa gue belom lagi padu, dan gue pun cuman bisa mengangguk lemah. "Iya, deh, nanti saya cari informasinya."

"Telepon aku nanti, ya" kata Tuti sambil tersenyum manis dan berlalu dari hadapan gue.

Gue cuman bengong dan sambil ngucek mata gue yang masih belekan gue tutup pintu kamar.

Tuti, Tuti. Pembantaian di kos gue ini emang gaul abis. Gue nggak heran kalo dia suka sama Ari Wibowo–well, cewek mana yang nggak ya;)? Dia nggak suka nonton KDI, dan lebih milih nonton Indonesian Idol. Sukanya sinetron Korea, sampe satu pagi minta bantuan gue buat masangin VCD player pinjeman biar dia bisa nonton VCD-nya Won Bin. Kalo Britney nyanyi Toxic, sumpeh lo, dia bisa ngikutin biar bahasa Inggrisnya acakadul, yah agak-agak saingan gitu deh sama Joy Tobing, hehe… Kosa kata sehari-harinya termasuk "gilingan nek!" yang dia teriakkan dengan intonasi melengking yang cuman bisa disaingin sama Pram secara dia emang udah serieus latihan jejeritan sama Ibu Catherine Leimena.

Di kantor, gue udah lupa sama pesan Tuti sampe saat gue buka blognya Gusye dan... oh no! Jadi Ari Wibowo beneran lagi cari pembantu? Dan SCTV bakal bikin reality show gimana caranya Ari ndapetin orang yang paling pasrah dia 'bantai'? Dengan gajinya 10 juta/bulan?

Kalo gitu sih, Tut, sori-sori aja, gue nggak bisa bantu; gue juga daftar!

komen blogdrive!