Wednesday, September 29, 2004

Jadi orang Jawa sehari III - Hidup adalah panggung sandiwara

Gue tiba di masjid jam 7 pagi berbarengan dengan Nona Ratu Singa, anggota lain Rio’s Angels. Sementara, Nirmala, my favorite and most beloved angel, nggak bisa datang karena mendadak ada tugas dari kantornya keliling beberapa kota di Sumatra. Dalam acara sandiwara pernikahan itu, kita berdua berperan jadi “adik” Paman Gembul Pasaribu, walaupun ya, secara dia kan umurnya lebih muda dari gue getoh. Peran sebagai adek itu ditentuin sendiri sama “abang” baru gue itu ya. Mungkin dia juga sadar nggak mungkin ngaku lebih muda dari gue, hehe.... Secara tampang kan gue, hmmm... berapa ya, kalo Mas Wisa berani ngaku 28-29, berarti gue masih pantes 26 dong (yang protes gue delete ntar).

Sementara yang berperan jadi mama kita bersama adalah ibu teman baik Bibi Titi Teliti Gajahwati, yaitu Rondo Batak Dadakan. Dan yang jadi kakak laki-laki tertua—sebut Yuyu Kangkang—sekaligus menemani mama Rondo Batak Dadakan berdiri di depan pelaminan adalah suami dari salah satu anak Rondo Batak Dadakan, Kleting Marun. Dan kakak-kakak dadakan gue terdiri dari Kleting Kuning dan suaminya Ande-Ande Lumut, Kleting Marun, dan Kleting Pinky.

Keluarga besar Rondo Batak Dadakan yang berbahagia.

Tugas gue sebagai adek dalam upacara akad nikah, secara cuma ada tiga orang cowok di keluarga besar kami termasuk pengantin, adalah jadi pendamping pengantin pria yang memegang tangannya menuju tempat pelaksanaan upacara akad nikah di dalam masjid. Entah buat apa, mungkin para pengantin zaman dulu suka kabur sehingga perlu dipegangin. Secara ya, kalo Paman Gembul Pasaribu nekad kabur, mana kuat gue nahan dia, badannya lebih gede dari gue getoh (termasuk perutnya ya, teman-teman yang suka sirik). Sementara Kakang Ande-Ande Lumut jadi saksi sekaligus yang menyerahkan pengantin pria ke keluarga perempuan. Nona Ratu Singa dan kakak-kakak Kleting masing-masing membawa salah satu barang hantaran.

Mama Rondo dan Kakang Yuyu bakal ngumpet selama ijab kabul sesuai kebiasaan adat Jawa, orang tua mempelai laki-laki nggak boleh lihat upacara tersebut. Jangan tanya gue kenapa, tanya Gusye tuh, ato Isna, ato hayoo... para Jawir, keluar dari persembunyian! Masa, tiap gue nyebut Jawir, Mas Wisa terus yang ketempuhan jadi narasumber ato bahan eerrr... bahan percakapan? Nggak enak kan.

Dalam masjid, semua tahu, mesti duduk di lantai. Dan SIKSAAN itu pun dimulai. Gue nggak bisa duduk dengan cara apapun kecuali BERSIMPUH. Mo marah! Selama hampir satu jam, gue harus duduk bersimpuh sambil mengutuk-ngutuk dalam hati orang yang bikin pakaian feodal ini. Segala variasi bersimpuh gue coba, dari gaya duduk kayak orang shalat, gaya pembantaian (baca: pembantu, secara mereka memang sering dibantai majikan bukan?) dengan kaki miring, duh, teuteup! Nggak nyaman! Belom lagi lilitan setagen yang bikin gue susah nafas itu. Awas ya kalo sampe asma gue kumat, gue tuntut ntar perias pengantinnya karena udah berniat mencelakai gue! Heran, kok para Jawanis itu mau-maunya ya menyusahkan diri make kostum kayak begini? Kalo nggak duduk di lantai sih mending, tapi ini? Aduh, kenapa sih gue nggak disuruh pake batik aja ato jas. Ntar aja pake kain rese ini pas resepsi. Bibi Titi Teliti Gajahwati kejam!

Tapi, ada hiburan sedikit waktu acara penyerahan mas kawin. Pengantin pria dan wanita sama-sama berdiri dan tiba-tiba Paman Gembul Pasaribu hampir jatuh karena kesemutan! Bibi Titi Teliti Gajahwati juga ternyata ngalamin kesulitan bangun dan hampir jatuh. Hehe... ternyata bukan gue sendiri yang tersiksa. Gue spontan cekikikan ngetawain mereka, hihi... lupa sama jaim dan secara itu masih dalam masjid. Abis, gue kan nggak rela kalo gue tersiksa sendiri, hihi.... harus ada orang yang ikut menderita seperti gue! Apalagi lo ya Big Lady yang minta gue buat make semua kostum lenong ini! Jadi kita sama-sama susah ya, hehe...

Selesai akad nikah dan para pengantin ganti baju, acara resepsi dimulai. Dan gue bersama adek-kakak dan mama mulai berbaris barengan keluarga Bibi Titi Teliti Gajahwati. Di depan ada penari yang majunya lambaaaaaaaaaaaaaattt banget. Ai mate! Sumpah! Kenapa sih jalannya harus selambat ini.

Dan selama gue jalan, gue bete ngeliat tatapan para tamu dan bisik-bisik mereka. Khususnya sepasang ibu-ibu yang kasak-kusuk sambil ngeliatin gue.

“Oh Jeng, itu adek laki-lakinya manten kakung ya? Kok ndak mirip ya?”
“Iya, masnya item, ini adeknya putih.”
“Heeh, cakep lagi, kayak Delon ya.”
“Nggak ah, kayak Daniel.”
“Delon!”
“Daniel!”

Lho kok berantem sih, Tante? Ya sudah, secara saya emang mirip dua-duanya kok. Hayo, dilanjutin ngegosipin sayanya.

“Udah kawin belom ya?”
“Nanti saya tanya sama Jeng Parwoto (ibu Jeng Gajahwati, red).”

Dan ibu-ibu itu pada senyum sama gue, sumpeh! Amit-amit deh disenyumin emak-emak! Kayak Mas Wisa aja sih! Gue bales tersenyum kecut sambil ngedumel, “Rese nih! Kok gue digenitin tante-tante gini sih!”

Terus, waktu gue antri ambil makanan, gue diajak ngobrol lagi sama ibu-ibu laen lagi. “Adeknya Mas Gembul, ya?”

“Eh... iya, Bu.”

“Kapan nyusul nih?” katanya sambil tersenyum manis dan nyelak antrian buat ikutan ambil siomay di sebelah gue.

PDA, gerutu gue dalam hati. Nggak ada komentar laen apa. Dan hellooo... kenapa sih para emak-emak ini? Kok pada kecentilan semua gini sih? Yang dua senyum-senyum sambil bisik-bisik, eh yang ini ngajak ngobrol. Dengan manis, secara gue menghayati peran gue sebagai orang Jawa yang harus selalu penuh kehalusan dan basa-basi, gue jawab aja, “masih lama kali ya, soalnya saya masih kuliah, Tante.”

Dan gue buru-buru kabur sebelom ibu itu sukses ngajak gue ngobrol lebih jauh dan bikin gue harus akting lebih banyak. Secara, gue sebenernya udah gatel pengen nyiram tante ini sama kuah kacang. Maaf ya, Tante, saya nggak marah sama Tante secara pribadi, saya cuman lagi males berbasa-basi.

Keajaiban siang itu berlanjut waktu acara foto-foto. Gue nggak denger waktu dipanggil secara gue lagi asyik duduk sambil ngebenerin setagen gue yang udah nggak kencang dan mau copot secara perut gue udah makin bengkak diisi siomay, sate, martabak, pempek, ayam singgang, maccaroni schotel, kakap goreng, termasuk puding yang sedang gue lumatkan dimulut gue.

Tiba-tiba ada tante-tante sebelah gue nowel gue, “Dek, tuh dipanggil, saudara kandung manten pria mau difoto.”

Hah? Apa? Sodara kandung? O iya, lupa, gue adeknya manten ya! Gue pun maju ke panggung nyusul Nona Ratu Singa beserta para Kleting buat berfoto. Lengkaplah sudah sandiwara siang itu. Kita udah punya foto keluarga.

Setelah resepsi gue pulang ke kos, kecapekan. Secara gue emang belom fit banget. Sepanjang jalan gue cuman merenung. Apa yang terjadi nanti kalau bom itu meledak? Ketika Paman Gembul harus bilang ke keluarganya tentang pernikahannya? Gue nggak berani ngebayangin, apalagi secara gue udah jadi pemain dalam sandiwara ini. Besar atau kecil peran gue dalam kebohongan ini, tapi gue udah ikut andil dengan sadar. Gue memilih untuk mendukung pernikahan diam-diam penuh kejaiman mereka dan berbohong ke semua yang hadir. Gue turut jadi pemeran pembantu dalam pergelaran sandiwara pernikahan itu.

Secara, gue udah capek bersandiwara.

Old posting and comments

1 comment:

  1. Anonymous10:16 AM

    Very cool design! Useful information. Go on! » » »

    ReplyDelete