Saturday, September 11, 2004

Curhat

Catatan: Cerita di bawah ini adalah benar belaka, hanya untuk men-jaim reputasi beberapa tokoh yang terlibat, maka diputuskan untuk menggunakan nama-nama samaran.

Wiken panjang bermula ketika gue memutuskan untuk pulang ke rumah dan nggak balik ke kos dari kantor. Tapi perut laper, dan pengen makan malam dulu, cuma ngajak sapa ya. Iwan pacaran, Pram pacaran, Miko—kayaknya sih pacaran juga, o em ji, kesadaran itu muncul! Temen-temen dekat gue udah pada pacaran sekarang, dan gue, eh, gue kan juga lagi hangat-hangatnya pacaran sama... kerjaan, hehe.... Dug! Kenyataan menyebalkan ini menohok gue di taksi dalam perjalanan pulang.

Okeh, buat apa susah susah itu tak ada gunanya. Coba telepon teman-teman sesama jomblomania. Adit: lagi di warnet, males kemana-mana dan udah pengen pulang; Rommy: ya oloh tolong, udah tidur dia, perasaan baru jam delapanan deh! Plis deh ah, nggak malu sama bantal udah diilerin jam segetoh:P? Duh, siapa yang yang lagi bengong nih? Masa makan sendiri? Makan di rumah? Duh, males ah.

Tiba-tiba gue kepikiran, lho, gue kan mau pulang ke rumah, kenapa gue nggak ajak makan temen yang rumahnya sejalan dan udah beberapa minggu ini nggak ketemu. Ya udah, gue telepon Mas Ganteng-gantengKokMedok (para Jawanis yang terhormat, maaf bukan bermaksud ngeledek, cuman nyela aja, hihi...), dan ternyata dia nggak kemana-mana. Kebetulan gue juga udah lama nggak makan tahu campur yang enak dekat kosnya itu. Tengs Gad, dia setuju.

Kita pun ketemuan di tempat warung tahu campur itu biasa mangkal dan ternyata, gue bete berat, tutup aja udah. Mas, mas, piye toh kowe, ini Jumat getoh lho, kok nggak jualan sih?! Sebel! Gue kan nggak pengen makan yang kelewat berat, lagian menu yang laen udah bosan banget. Bubur, nasgor, nasduk, aduh, sutra lah, udah kelewat sering! Akhirnya, Mas Ganteng-gantengKokMedok ngusulin buat makan di soto sum-sum dekat situ. Ya sut, kepalang laper, mari kita lupakan sejenak lingkar pinggang yang tidak tahu diri dan suka membengkak seenaknya tanpa diminta. Wiken adalah saat pelepasan segala nafsu yang selama ini dikekang, termasuk nafsu makan, hihihi....

Sambil makan, kita pun ngobrol. Malam itu gue mendengarkan Mas Ganteng-gantengKokMedok curhat lagi setelah beberapa minnggu lalu dia sempat curhat waktu nginep di kos gue karena kemaleman. Ternyata belom kelar curhatannya dulu itu, padahal udah sampe jam empat pagi. Penyebabnya ternyata gue juga yang cerita waktu dia nginep itu bahwa gue mendukung keputusan yang diambil Dinda ImutTapiCadel. Malam itu, Mas Ganteng-gantengKokMedok dengan halus menyampaikan kemarahan (ato mungkin lebih tepat penyesalan, namanya juga Jawir, mana suka konfrontasi terbuka) dia ke gue yang dia anggap nggak mendukung usaha-usaha dia dulu untuk tetap pacaran sama salah satu dedek-ketemu-gede gue, Dinda ImutTapiCadel (Dedek kesayangan gue yang kelakuannya emang sering kali minta dijewer dan pedenya aduh, nggak kuat).

Mas Ganteng-gantengKokMedok, jejaka lugu freshly imported from Java yang baru beberapa tahun di Jakarta, dengan penuh pengharapan mencintai sang dara kosmopolitan, Dinda ImutTapiCadel. Masalah utama: Mas Ganteng-gantengKokMedok masih gamang dengan pergaulan kota semegapolitan Jakarta. Sementara Dinda ImutTapiCadel adalah tipe anak gaul yang ingin selalu eksis di tengah sosialisasi kaum hedonis ibukota. Hasilnya: sebuah kasus perbenturan budaya, clash of civilization—bahasa Begaya FM-nya (untuk studi lebih lanjut silakan baca Samuel Huntington, hihi...).

Dinda ImutTapiCadel pun mengucap kata pisah.

Dan gue ada di tengah-tengah dua kutub yang begitu berlawanan. Gue memang nganjurin Dinda ImutTapiCadel buat mutusin Mas Ganteng-gantengKokMedok kalo dia udah nggak ingin bertahan lagi. Logika gue sederhana, memaksakan diri buat bertahan dalam hubungan itu nggak guna. Waktu Dinda ImutTapiCadel curhat dia lagi capek berhubungan dengan Mas Ganteng-gantengKokMedok—seperti di bulan kedua hubungan mereka, gue anjurin Dinda ImutTapiCadel buat bertahan. Tapi masuk bulan ketiga, curhatannya udah beda. Dia udah NGGAK MAU bertahan.

Di lain pihak, Mas Ganteng-gantengKokMedok minta tolong gue buat ngebujuk Dinda ImutTapiCadel terus bertahan karena dia menganggap perbedaan gaya hidup itu bukan alasan berarti. Masih bisa diusahain dan dia mau mengusahakannya. Tapi tetap, gap-nya terlalujauh. Dan butuh dua orang untuk menari serampang dua belas (terjemahan dengan muatan lokal dari idiom “it takes two to tango”, hehe...). Mas Ganteng-gantengKokMedok nggak bisa berbuat apa-apa kalo Dinda ImutTapiCadel nggak mau lagi bertahan.

Mas Ganteng-gantengKokMedok, dengan segala pengendalian diri tempaan budaya Jawanya itu, cuman bisa ngomong ke gue, “aku ngerasa sedih aja Abang nggak ngedukung.”

Gue diem sebentar dan akhirnya cuma bisa bilang, “maafin aku Mas Ganteng-gantengKokMedok. Bukan aku nggak ngedukung hubungan kamu dan Dinda ImutTapiCadel. Tapi aku kenal Dinda ImutTapiCadel, dan dia keras kepala luar biasa. Kalo aku ngotot-ngototan sama dia, hasilnya adalah ribut. Aku sering ribut juga sama dia buat hal-hal remeh, kalo aku lagi lupa bahwa dedekku ini nggak bisa dikerasin. Cara terbaik ngasih tahu dia adalah ketika dia minta pendapat ke kita dan bukan menggurui dia. Dan kalo dia udah nggak mau bertahan, aku nggak bisa bilang apa-apa. Lagipula, terkadang orang harus kehilangan dulu buat ngerasain besarnya arti orang yang dia tinggalkan. Siapa tahu, nanti Dinda ImutTapiCadel sadar bahwa kehadiran kamu selama ini sangat berarti buat dia. Kalo itu terjadi, jodoh nggak bakal kemana. Tapi, aku nggak nyaranin kamu buat diam dan menunggu. Selalu buka kesempatan buat orang lain yang ingin masuk ke dalam hati kamu.”

Malam itu gue berasa jadi Mas Imam dari Majalah Kartini.

Old posting and comments

1 comment: