Friday, September 10, 2004

Sedih

Sore itu, dalam siaran televisi, dengan takjub gue menyaksikan pernyataan paling, maaf, ignorant yang bisa keluar dari mulut seorang petinggi negara, yang, sesungguhnya, tertinggi di negara ini. Presiden Megawati memberikan pernyataan di depan para wartawan soal pemboman di Kedubes Australia. Katanya, “kepolisian sangat perlu bantuan masyarakat untuk mencermati lingkungannya dengan mewaspadai dan melaporkan orang-orang yang dicurigai.”

Dug!

Apa maksudnya Ibu bilang begitu? Sadarkah Ibu bahwa masyakat adalah sumber daya terakhir yang mampu menenggarai sebuah aktivitas terorisme? Kewaspadaan macam apa yang Ibu harapkan dari kami? Orang seperti apa yang mesti kami laporkan ke polisi, Ibu? Apa mulai sekarang kami harus saling mencurigai tetangga dan teman? Sanak dan saudara? Apa mulai sekarang kami harus melaporkan kalau ada orang berjenggot dan bercelana kutung ke polisi karena mencurigai mereka terlibat Al Qaeda? Atau karena mereka berjilbab dan bersorban? Bagaimana mungkin di tengah perbedaan ini, justru iklim kecurigaan yang Ibu tekankan?

Sungguh saya kaget komentar senaif itu diucapkan seorang presiden. Seharusnya Ibu bilang, Ibu akan memerintahkan polisi bekerja 24 jam sehari untuk menuntaskan kasus ini. Seharusnya Ibu bilang, Ibu akan memerintah jaksa menyeret pelaku-pelaku yang belum berhasil dibawa ke pengadilan dan mendesak pengadilan untuk mempercepat kerjanya agar memberi contoh bahwa Indonesia tidak takut pada terorisme dan akan terus memeranginya. Seharusnya Ibu bilang bahwa Ibu akan memecat Hendro Priyono yang sudah kecolongan setiap tahun. Tapi Ibu, kata sahibul hikayat, Ibu sudah diberi tahu intelijen bahwa kemungkinan bom itu akan terjadi, tapi ndilalah, Ibu tetap jalan-jalan ke Brunei dan percaya kepada laporan Kapolri yang, ironisnya, baru melaporkan kepada DPR bahwa situasi keamanan pra Pemilu aman dan terkendali. Jargon orba yang memuakkan karena jauh panggang dari api, Ibu.

Dan esoknya saya lebih kaget, Ibu, ketika di televisi diberitakan bahwa bom itu telah dilacak keberadaannya dan perpindahannya dari kota ke kota di Indonesia. Sungguh, tidak masuk akal saya kalau intelijen dan kepolisian bisa melacaknya, lantas kenapa mereka tidak bisa menghentikannya?

Ibu Presiden, di tengah perpecahan dan perbedaan yang ada, di saat pemimpin diharapkan menampilkan critical leadership-nya, Ibu malah memberi komentar yang tidak menunjukkan Ibu menguasai keadaan dan bagaimana mengendalikannya. Bu, komentar itu sungguh, maaf, basi. Mengajak masyarakat memerangi terorisme adalah komentar paling naif yang yang saya dengar karena komentar itu tidak dibarengi dengan ketegasan seorang pemimpin yang tahu apa yang harus dilakukan.

Pernah terpikirkah oleh Ibu bahwa masyarakat tidak bisa berbuat banyak? Pernahkah terpikir oleh Ibu bahwa pemeriksaan mobil dan tas setiap akan memasuki berbagai gedung di Jakarta adalah upaya masyarakat yang membabi buta mencoba melindungi diri sendiri karena aparatnya tidak bisa diandalkan? Sejak kapan para teroris itu begitu bodohnya membawa bom dalam tasnya dan melenggang masuk sebuah mal? Sejak kapan para satpam itu bisa mendeteksi keberadaan bom di dalam mobil?

Dan Ibu, kalau kejadian bom kemarin mengajarkan sesuatu, orang Indonesia sudah rela mati demi tujuan yang diyakininya, apapun itu. Itu bom bunuh diri, Bu. Bukan hanya orang Palestina atau Lebanon saja yang sanggup melakukan itu sekarang ini, orang Indoenesia juga sudah berani. Kalau sudah begini, bagaimana cara satpam yang sibuk memeriksa mobil dan membuat jalan di depan Plaza Senayan macet karenanya akan mampu menghalangi bila sebuah mobil berisi bom melaju terus dan membiarkan dirinya meledak di depan pertokoan yang sibuk itu?

Duh, saya sudah lama tidak peduli politik, Ibu. Sejak saya menangis di pemakaman Elang di Tanah Kusir Mei 1998, saya berhenti dan tidak ingin menangisi kekacauan politik lagi. Tapi kemarin, Ibu, ketika saya menyaksikan Manuela dibopong orang yang tak dikenal, dan kain kafan menutupi tubuh Pak Anton, Satpam yang naas itu, saya kembali ke meja saya dan tak sanggup menyaksikan televisi dan hanya bisa duduk dan air mata saya menetes lagi. Delapan tahun lewat terakhir kali saya menangis penuh kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan terhadap keadaan sosial dan politik di negara saya tercinta.

Dan saya tidak percaya Ibu mampu mengatasinya.

Old posting and comments

3 comments: