Monday, November 15, 2004

Taluk, nagari serba (tak) ada

Jumat malam, sehari setelah tiba di kampung, gue ikut abang ipar pergi ke wartel di daerah Batang Kapas yang jauhnya tujuh kilometer dari Taluk untuk menelepon rumah dan Si Jawa. Duh, hapenya nggak bisa dihubungi. Telepon ke rumah, “belom datang,” kata nyokapnya.

Gue telepon Kenny dan minta dia buat sms Si Jawa. “Hmmm... bagus ya, gue jadi serep,” katanya ngeledek gue. Ya, gimana dong, itu gunanya teman, bukan?

Malamnya gue nggak bisa tidur dan, terima kasih untuk mesin gen set-diesel milik orang yang mengontrak tanah di sebelah rumah nyokap buat usaha meubelnya, listrik di rumah gue tetap menyala walaupun satu kampung gelap.


Taluk, kampung halaman nyokap gue, emang rada ketinggalan dalam banyak hal. Ingatan gue tentang kampung ini adalah ingatan delapan tahun lalu, waktu terakhir gue berkunjung. Gue memang sempat pulkam tahun 1999 dan 2003, tapi cuma sampe Padang dan Bukit Tinggi.

Dan kemarin, malam pertama gue di kampung, beberapa tatuo kampung datang dan ngobrol bareng nyokap dan mamak gue. Nyokap bilang, mereka ngobrol sampe jam satu pagi. Sementara gue ngobrol sampe jam setengah sebelas Bang Eri, abang ipar gue dan kakaknya si Jon (lihat Kalau orang Minang kasih nama), si Iwin. Salah satu topik adalah ke(tidak)majuan Taluk, nagari tacinto ini. Dan secara gue adalah banceh ring-ring yang nggak bisa hidup tanpa alat komunikasi, gue pun bertanya soal telepon yang masih belum juga masuk kampung.

Iwin bercerita bahwa ketika Telkom membangun sambungan telepon di daerah Kabupaten Pesisir Selatan, maka sambungan itu seolah lewat begitu saja dan ngelongkapin nagari Taluk ke nagari selanjutnya.

“Kok bisa?” gue keheranan campur jengkel sama Telkom yang udah bikin hidup gue susah jalan hujan-hujan ke wartel-tujuh-kilo jauhnya cuma buat nelepon. Boro-boro maen internet dan buka blog!

“Nggak ada yang ngurus,” jawab si Iwin.

Duh, miris gue ngedengernya. Segala kemudahan kota yang biasa gue dapet merupakan kemewahan di sini. Listrik yang jarang pet dan nggak harus ngandalin gen-set diesel, punya orang pula. Telepon biasa sampe mobile yang hampir semua orang punyayang mati cuma kalo belom bayar ato kehabisan pulsa—sehingga orang nggak harus jalan tujuh kilometer hanya untuk pergi ke wartel. Mau air tinggal buka keran dan nggak perlu menimba sumur gara-gara listrik mati, pompa nggak bekerja, dan PAM nggak ada.

Dan gue cuma bisa menulis sambil berharap mudah-mudahan dieselnya nggak kehabisan solar.



Jalan utama Nagari Taluk dan sungai yang membelah nagari jadi dua.

Old posting and comments

1 comment: