Hampir dua tahun lalu, bokap gue memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya setelah pensiun di Bonjol, yang letaknya sekitar satu jam ke arah utara Bukit Tinggi, dengan satu cita-cita: jadi petani coklat. Dia pun membeli tanah sepuluh hektar dan sekitar 10.000 bibit coklat. Sekarang, setelah satu setengah tahun, dia udah menanam di lahan seluas sembilan hektar dengan jumlah bibit sekitar 9000-an batang.
“Lebaran tahun depan, kalo kamu balik, mungkin udah ada yang berbuah,” kata bokap. Sekarang aja udah ada yang berbunga.
Ini namanya bibit coklat (gue juga baru tahu)
Kayak begini toh bunga coklat
Bibit-bibit itu biasanya mulai berbuah dalam waktu tiga tahun. Mangkenye, dalam acara pulang kampung Lebaran ini, kunjungan ke kebun itu udah pasti masuk daftar kegiatan yang wajib gue kerjain, di luar kunjungan kenegaraan ke rumah sodara2.
Kebun itu letaknya di atas bukit. Terbagi dalam tiga wilayah. Hari kedua Lebaran gue datang ke salah satunya, di daerah Laru Satu.
Sebelum naik ke bukit, gue dan keluarga gue mandi di kali. Ada yang pernah mandi di kali/sungai? Buang pikiran kali ato sungai itu kayak di Jakarta. Airnya bersih dan dingiiiiin banget. Abis itu kita piknik di tepi sungai. Tapi baliknya, nggak semua orang ikut naik ke atas bukit buat lihat kebun coklat. Cuma gue dan dua keponakan tertua, bokap, dan Cece—keponakannya Mbak Lena (lihat Mbak Lena Tonggos)—ditemenin sama beberapa orang sodara asli made in Bonjol. Yang lain—kakak gue, adik ipar, dan anak-anaknya yang masih kecil—pada pulang semua.
Airnya dingiiinnn tapi segerrrrr banget!
Udara sejuk, abis mandi, laperrrrrr
Untuk mencapai kebun itu, kami harus ngelintasin jembatan gantung yang goyangannya dahsyat. Lumayan bikin deg-degan lah. Setelah itu, kami mesti mendaki lumayan tinggi sebelom sampe di dangau tempat bokap biasa istirahat. Di depan dangau, bokap membendung aliran mata air yang mengalir menjadi sebuah kolam yang di dalamnya dia sebar ikan.
Goyangan maut, kepeleset, byuurr!!!
Begaya FM dulu dong ah
Gue nggak heran bokap gue turun beratnya banyaaaak banget sejak pindah ke kampung. Perutnya udah nggak sebuncit dulu. Udara segar, olah raga rutin naik turun bukit, makanan segar, dan semua yang segar-segar bikin jantungnya sehat dan nggak bermasalah sejak operasi bypass-nya dulu sukses. Nyokap juga sehat cuma jadi rada iteman. Bokap sih emang udah item, jadi nggak ngefek. Hmmm... kayaknya tinggal di kampung nggak segitu sengsaranya ya, apalagi listrik di Bonjol nggak kelewat sering pet, udah ada air PAM pula. Top lah.
Kolam ikan di samping dangau
Dangau tempat bokap istirahat
Sementara bokap dan yang lainnya istirahat di dangau, gue naik ke atas bukit, sendirian. Gue berhasil sampe puncak. Keringetan. But it’s worth it. Pemandangannya, wow, keren. Gue dikelilingin bukit-bukit hijau dan langit biru. Udaranya segar dan setiap tarikan nafas menghilangkan kepenatan naik puncak dengan cepat.
Gue layangkan pandangan ke bawah dan gue lihat pohon coklat di mana-mana. Kebun coklat yang gue lihat ini adalah yang paling kecil dari tiga kebun yang dimiliki bokap. Tapi ngelihat lokasinya, kebayang sama gue kerasnya usaha bokap membuat semua impiannya ini jadi nyata. Menanam 9000-an batang di lahan berbukit seluas 9 hektar! Dan itu berhasil dilakukan bokap gue yang hampir dua pertiga hidupnya jadi pegawai kantoran biasa!
Di puncak Bukit Laru
Damn, I’m so proud of my dad! Bokap udah menjawab semua keraguan orang, termasuk nyokap dan adek-kakak gue, sodara-sodara, termasuk orang kampungnya sendiri. Di keluarga yang mendukung penuh usaha bokap adalah gue dan adek gue yang tengah. Kakak dan adek bungsu gue ikut nyokap yang terlalu khawatir dengan beratnya kerjaan, di samping resikonya ngerjain sesuatu yang sama sekali baru.
Sebagai orang yang biasa dagang coklat (bokap dulu kerja buat Cargill—perusahaan Amerika di Makassar yang merupakan salah satu pemasok coklat terbesar dunia), bokap emang ngerti teorinya menanam yang baik, tapi prakteknya kan nol. Kerjaannya dulu adalah beli coklat dari petani dan dijual di pasar komoditi. Dulu pedagang, sekarang petani sambil tetap berdagang. (Padang banget nggak seh?)
Papan nama di gudang coklat bokap
Sementara nyokap gue sih cuma pengen ngabisin pensiunnya buat main sama cucu dan tetap mengajar. Kalo aja bokap pindah ke Padang, ia bisa ngajar di Unand ato Akademi Gizi Padang. Di Bonjol? Dia bingung mau ngapain. Tapi gue bilang sama nyokap, bokap nggak akan bisa hidup tanpa kerja, dan di Jakarta dia nggak tahu mau ngapain. Dan dibanding nyokap yang mudah beradaptasi di mana aja dan dalam lingkungan apa aja (secara nyokap gue itu kan sanguinis berat), bokap gue adalah orang yang kaku dan disiplin alias koleris. Bokap nggak gampang menyesuaikan diri dengan kepensiunannya.
Bener aja, sementara bokap gue nanam coklat, nyokap gue udah menyesuaikan diri dengan seribu satu kegiatan. Jadi bendahara majelis taklim, bikin Taman Pengajian Alquran (dan gue ditodong jadi penyumbang tetap dan sekarang gue MENGHIMBAU teman-teman kalo ada yang mau ikutan nyumbang bisa japri lewat gue ya), serta menanam dan menjual kaktus, yang ternyata tumbuh bagus di daerah khatulistiwa seperti Bonjol. Nyokap gue, seperti gue duga, sukses beradaptasi.
Kaktus-kaktus nyokap
Mushalla tempat TPA yang diasuh nyokap belajar
Old posting and comments
minggu kearen gw ke bonjol, tapi gak ketemu orang jualan kaktus..dimana se orang ngejulnya? jadi penasaran
ReplyDelete-arif-
Ada kok. Di rumah2 pinggir jalan itu banyak yang jualan. Cuman mereka enggak pasang plang aja. Jadi, lo tinggal tanya aja sebenernya.
ReplyDeleteLo ke Bonjol dalam rangka apa nih:)?