Wednesday, November 03, 2004

Blind date atau kencan buta: pertemuan antara dua orang yang belum pernah berjumpa dan mengetahui wajah masing-masing.

Gue udah lamaaaaa banget nggak blind date sama cewek. Tapi mendadak gue jadi teringat pertama kali gue ketemuan dengan seorang perempuan yang gue nggak pernah ketemu sebelomnya. My first blind date. Waktu itu gue masih kelas tiga OSIS abu-abu sewaktu namanya masih SMA dan belom jadi SMU seperti sekarang.

Awalnya dari sebuah telepon ke rumah gue di satu sore. Kakak gue berteriak memanggil gue dari bawah secara kamar gue ada di atas. Ada telepon, teriaknya. Gue lari-lari ngelompatin beberapa anak tangga sekaligus dan langsung angkat telepon. Halo, kata gue sambil terengah-engah.

“Halo, ini Rio?” suara cewek yang nggak gue kenal.
“Iya. Sapa nih?” tanya gue bingung.
“Rio, ini DaraManis (tentunya bukan nama asli, red),” suara kenes seorang cewek terdengar di telepon.
“Dara mana ya? Gue nggak kenal ada yang namanya Dara.”
“Gue temannya… aduh, gimana ya, gue nggak bisa bilang soalnya dia ngelarang gue buat ngasih tahu namanya,” jawabnya bimbang.
“Lah, gimana sih?” nada suara gue menaik, jengkel getoh lho.
“Ya, nggak papa kan?” suaranya kok tambah kenes. “Gue pengen kenalan sama lo, boleh kan?”
“Boleh aja sih,” jawab gue melunak. “Kok lo bisa tahu gue?”
“Iya, gue lihat foto lo di album temen gue, terus gue tanya, sapa nih cowok, lucu juga. Terus gue dikasih tahu nama lo dan gue minta nomer telepon lo. Gitu ceritanya.”

Busyet! Gue dirayu cewek. Pertama kali dalam hidup gue ada cewek yang dengan beraninya ngajak gue kenalan dan bilang gue, ehem, lucu (seperti biasa gue harus memberi peringatan kepada para makhluk-makhluk pendengki yang suka baca blog gue untuk tutup mulut secara ini bulan puasa dan tidak baik mencela. Nggak bosan gue ingetin secara ini blog gue dan lo nggak bisa berbuat apa-apa.)

Lanjut.

Sejak perkenalan itu mulailah kita ngobrol. Dan teleponnya jadi makin kerap dan sering. Sampe suatu ketika dia ngomong, “tahu nggak, waktu itu aku main (ya, kita udah mulai pake aku-kamu dengan imutnya) ke sekolah kamu,” katanya.
“Jam berapa?” tanya gue penasaran.
“Jam pulang sekolah, aku mau jemput temanku,” jawabnya. “Sayang nggak ketemu kamu, padahal aku udah sengaja dandan yang manis.”

Weks! Jadi dia manis ya, hmmm... boleh juga nih. Otak brondong gue yang baru beberapa tahun mimpi basah itu mulai mengkhayal kemana-mana. Gue ngebayangin, kayak siapa ya dia. Cynthia Yusuf? Wiwied? Dan bayangan tampang cewek-cewek pemenang Cover Girl Mode dan Gadis Sampul tahun 80-an yang suka gua lihat dari majalah-majalah punya kakak gue berkelebat dalam bayangan. Aduh, plis, kayak Cynthia dong, Cyhthia yang di sampul Mode bulan Juli 1989 (Rudy, tolong benerin kalo salah ya) dengan rambut rada-rada wet look yang keche beeng ching *80’s mode on*.

Ya udah, secara dia ngaku manis, secara dia udah beberapa kali ngajak ketemuan tapi gagal, secara dia kemudian ngajak lagi, secara gue penasaran, gue pun menganggukkan kepala—tentunya sambil bilang iya, wahai para manusia yang tidak imajinatif—dan menerima ajakannya yang kesekian kali di telepon untuk bertemu.

Hari itu, Sabtu sore, gue ke rumahnya dan kita pengen pergi nonton film. Deg-degan, gue pun pergi ke rumahnya di daerah Pulo Mas sana pake bajaj. Setelah menenangkan diri dari tremor, gue masuk ke dalam rumahnya yang gede. Pembantunya mempersilakan gue duduk di ruang tamu, Nengnya masih dandan, katanya.

Sambil duduk gue ngelihat-lihat foto yang digantung di dinding. Ada tiga foto cewek yang kalo ngeliat urutannya dari atas ke bawah dan persamaan garis wajah antara ketiga foto nunjukin mereka kakak-adik. Yang paling atas agak bulat, yang paling bawah masih punya tulang pipi, tapi yang tengah, errrr... apa ya... errr.... aduh, ini bulan puasa ya, errr... yang tengah mukanya, err... bodo deh, puasa, puasa, pokoknya yang tengah mukanya bumi bulat bundar!

Saat itu gue langsung memohon ke Tuhan—dan waktu SMA gue masih anak Majelis Taklim yang alim dan tiap minggu mentoring agama, ikutan tadabur alam, muhasabah dan lain-lain, pokoknya, masih sangat-sangat hobi berdoa. Pinta gue, “Pliiiiisss... plisssss... Ya Allah, DaraManis yang paling bawah aja dong, seenggaknya masih punya tulang pipi getoh lho. Kabulin dong”

Plis ya, gue nggak bermaksud ngerendahin mereka yang kegemukan ya, tapi secara gue, waktu SMA itu, kan berbadan model en junkies banget. Tinggi gue 173 cm dan berat gue 52 kg! Jadi wajar dong, kalo gue ngarep si DaraManis, cewek yang suka sama gue itu—catet, SUKA sama gue itu—juga seenggaknya, berbadan model, ehem, kalo pun nggak bertampang model.

Lagi khusyuk berdoa sambil duduk di sofa ruang tamu, dengan mata terpejam, tiba-tiba gue mendengar suara kenes yang bilang, “hai, sori, dah lama nunggu ya?”

Mata gue masih terpejam dan pelan-pelan gue buka sambil bangun dari sofa dan membalikkan badan ke arah suara itu datang. Sinar matahari yang masuk dan menerangi ruang tamu membiaskan sesosok tubuh yang berdiri dua meter di depan gue. Gue kerjapkan mata gue karena silau dan...

Tuhan Maha Jahil!

Kau berikan aku si bumi bulat bundar!

Sosok depan mata gue bener-bener bikin gue syok. Tapi DaraManis itu membuatku syok bukan hanya bulatnya, tapi karena satu: dia pake make-up lengkap! Dua: dia pake rok mini! Mungkin buat adek-adek yang udah sekolah waktu SMA udah jadi SMU dengan cewek-cewek yang udah pada berani dandan pake make-up ke sekolah, pamer udel, rok mini, dan semua bercita-cita jadi model, nggak bakal ngerasa aneh ya. Tapi, tolong diingat kalo kejadian ini adalah pada suatu masa yang telah lama silam. Zaman cewek masih amat sangat polos dan belom seberani sekarang. Zaman pacaran sambil pegangan tangan aja nggak berani dikerjain di sekolah. Zaman orang masih pergi ke disko sepatu roda siang-siang. It’s the 80’s! The age of innocence.The time of fashion mismatched.

Mana ada anak SMA pake make-up?

DaraManis yang jauh dari manis itu menyuruh gue buat nyetir mobilnya. Dan dia ngajak gue untuk menonton film romantis, Cousin, yang dibintangi Ted Danson dan Isabella Roselini. Bioskopnya Prince yang sekarang udah nggak ada dan udah jadi gedung Kyoei Prince di Sudirman sana. Abis itu kita makan di satu restoran yang gue udah lupa.

Pulangnya, dia minta gue nganterin dia mampir ke rumah temannya. Mau ambil buku catatan katanya. Begitu gue dikenalin ke temannya, mereka berdua masuk rumah sambil cekikikan dan ninggalin gue di teras. Pulangnya, dia nggak bawa satu buku catatan pun! Maksudnya apa? Mamerin gue? Huh!

Emang gue cowok apaan?

Old posting and comments

1 comment:

  1. Anonymous9:28 PM

    Very cool design! Useful information. Go on! » »

    ReplyDelete