Monday, August 02, 2004

Mbak Lena tonggos!

Waktu itu umur gue sekitar delapan tahun. Lagi lucu-lucunya (ehem), lagi bandel-bandelnya juga. Menurut nyokap, waktu kecil gue super jahil dan nggak bisa diam. Di sekolah, kerja gue adalah nggangguin orang yang lagi belajar. Kalau gue sudah selesai ngerjain tugas dan mulai bosan, maka gue bakal ngejahilin siapapun. Nyokap gue sampe dipanggil beberapa kali ke sekolah dan ditegur wali kelas gue. Kejahilan gue itu mulai dari menarik rambut teman, mencoret baju dan buku teman, lari-lari di kelas, pukul-pukul meja, berdiri di atas bangku, keluar-masuk kelas, dan masih banyak lagi.

Kalo nyokap lagi cerita masa kecil gue, dia paling demen mengulang cerita kejahilan gue. Gue rasanya rada nggak percaya. “Masa sih gue pernah sejahil itu?” Gue sih nggak merasa ya. Kayaknya gue selalu jadi anak manis deh di sekolah. Apa iya gue pernah segitu nakalnya sampe nyokap ditegur wali kelas? Pasti lo semua yang kenal gue juga nggak bakalan percaya, kan? Kecuali yang suka sirik sama gue,hehe....

Tapi ada satu kenakalan gue yang nggak mungkin gue lupa karena pelajaran yang dikasih nyokap gue benar-benar membekas dalam dan membentuk gue jadi gue yang sekarang. Ceritanya begini.

Satu sore, gue lagi duduk-duduk di teras rumah, yang pasti sore itu gue lagi males main keluar rumah. Panas, takut hitam (hehe… nggak lah, sekecil itu gue belum punya sense of ngadi saliro, sekarang juga enggak deh). Di dapur, nyokap lagi masak buat makan malam. Adik dan kakak gue masih tidur, sementara gue udah kelar jadwal-jadwal kursus, bikin PR, dan nggak tahu mau ngapain lagi. Dan dari dulu gue memang paling nggak bisa disuruh tidur siang. Jadi gue bengong. Waktu itu gue belum menemukan Lima Sekawan dan jadi kutu buku karena itu kejadiannya setahun kemudian. Jadi gue duduk di teras rumah, bengong. (Zaman gue SD kelas satu dan dua belum ada playstation ya. Bahkan game watch aja belom ada kok.)

Nah, lagi bengong begitu, ada tetangga gue lewat, perempuan, waktu itu rasanya dia udah SMA atau kuliah, namanya Mbak Lena. Sore naas itu Mbak Lena pulang entah dari mana dan lewat depan rumah gue seperti biasa tanpa tahu apa yang akan dia hadapi. Untuk sampe ke rumahnya yang ada di ujung kompleks tempat tinggal gue, emang nggak ada jalan lain kecuali ngelewatin depan rumah gue.

Begitu dia lewat, gue langsung lari ke pintu pagar dan seperti anjing yang berlari kalo ada tukang pos lewat dan berhenti depan rumah, gue menggonggong, “Mbak Lena tonggos! Haha… Mbak Lena tonggos!” Gue lompat-lompat sambil menunjuk-nunjuk Mbak Lena dan terus berteriak sambil tertawa, “Mbak Lena tonggos!”

Mbak Lena menundukkan kepala dan mempercepat jalannya. Tapi kediaman dia semakin membuat gue menjadi-jadi, dan bikin gue semakin semangat mengata-ngatai Mbak Lena. Gonggongan gue seperti memberikan mars buat langkahnya yang semakin cepat “Mbak Lena tonggos!”

Gue tertawa-tawa melihat korban gue, yang umurnya mungkin dua belas tahun lebih tua itu kabur tanpa bisa membalas. Gue merasa puas, hebat dan lucu sudah bisa bikin orang dewasa takut sama gue. Sementara gue asyik tertawa-tawa, seperti tawa hyena (dubuk) yang kekenyangan setelah memakan seekor zebra, tiba-tiba dari dalam rumah gue mendengar guntur menggelegar, “RINALDO!”

O my God, seperti sang dubuk yang ketakutan mendengar auman harimau, predator yang lebih berkuasa sehingga cuma bisa menundukkan kepala dan melepit ekornya, hati gue langsung ciut dan tubuh gue pun mengkerut. Mendadak perasaan berkuasa yang gue rasain tadi lenyap, hilang nggak berbekas. Yang ada rasa bersalah dan ketakutan luar biasa. Kalau nyokap gue udah manggil dengan nama akte kelahiran gue itu, pasti ada sesuatu yang salah dan dia sedang murka. Dan sumpeh lo, gue takut sama murka nyokap gue.

Dari dalam rumah, terdengar langkah-langkah kaki nyokap. Gue merasa seperti sendirian di tengah samudera menatap ombak yang sedang menggulung dan siap menerjang. Yang bisa dilakuin cuma diam terpaku.Tatapan gue nanar menatap pintu rumah yang sesaat lagi akan melamunkan ombak yang bakan menenggelamkan gue. Nggak ada jalan keluar, nggak bisa kemana-mana, kecuali diam dan pasrah. Apa yang terjadi, terjadilah.

Ombak itu pun melabrak gue. Tanpa ba-bi-bu nyokap langsung menghentak tangan gue dan menarik gue keluar pagar. Gue bisa merasakan kemarahannya yang luar biasa. Gue pasrah, tenggelam, terdiam tak mampu melawan dan cuma bisa menangis.

Gelegar suara nyokap gue dan tangisan gue membuat para tetangga gue keluar rumah mencari penyebabnya. Dengan diiringi pandangan mata penuh rasa ingin tahu para ibu-ibu kompleks, yang tahu lah rumpinya kayak apa, nyokap menyeret langkah gue ke ujung kompleks yang buntu. Bisik-bisik tetangga itu mengiringi lamat-lamat karnaval ibu-anak sepanjang jalan. Nyokap menggiring gue menuju sarang korban gue, sang zebra yang terluka oleh gigitan seekor dubuk kecil yang buas dan haus darah. Langkah gue yang kecil dan isakan tangis gue bikin gue harus berlari-lari kecil mengikuti langkah panjang nyokap yang waktu itu terasa seperti Gulliver buat gue. Semakin dekat dan gue semakin kehilangan nyali. Hilang semua keberanian tadi, dan rasanya lutut gue gemetar dan tak mampu menopang tubuh gue.

“Assalamu’alaikum,” sapa nyokap gue sambil menarik gue memasuki halaman rumah Pak Usman, ayah ‘korban’ gue. “Mbak Lena!”

Mbak Lena tergopoh-gopoh keluar diikuti ibunya, Ibu Usman. Melihat nyokap dan gue berdiri di halaman, mimiknya terkejut dan keheranan, “ada apa, Tante?”

“Ada yang mau bicara,” jawab nyokap sambil menengok ke arah gue.

Gue berdiri di samping nyokap, ketakutan. Gue melihat ke arah nyokap gue dan memohon nyokap gue buat mewakili gue bicara. Apa sih bedanya, toh gue ada di situ. Nyokap yang ngomong atau gue kan yang penting niatnya disampein. Tapi gue lihat di mata nyokap, angkara itu telah sirna. Murka itu telah menguap. Mata nyokap gue seperti laut tak berombak yang menenangkan gue. Tapi gue tahu nyokap gue orang yang tegas. Walaupun mata gue memohon dia nggak bergeming.


Dia tersenyum dan dengan lembut dia menyentuh bahu gue, mengelusnya, dan mendorong gue maju ke depan. Senyumnya menyemangati gue. Hati yang tadi ciut dan mengkerut mulai mekar dan mengembang. Seperti dinding kokoh yang akan menyangga gue, nyokap berdiri di belakang gue, memegang bahu gue. Gue berhadapan dengan korban gue yang berdiri hanya satu meter di depan gue. Kepala gue menunduk karena gue malu, takut, dan bingung. Dengan berat gue tundukkan keangkuhan dan mengangkat kepala besar gue. Gue tatap wajah orang yang baru gue sakiti hatinya. Wajah Mbak Lena tersenyum ramah dan matanya tak menyiratkan dendam.

Saat itu gue malu sama diri sendiri. Untuk pertama kali dalam hidup gue, gue belajar yang namanya penyesalan. Dan untuk pertama kalinya, gue akan mengambil pelajaran yang nggak akan gue lupa seumur hidup, meminta maaf. Bagaimana meminta maaf dengan penyesalan diri, kesungguhan tekad, dan kerendahan hati.

Gue tatap mata Mbak Lena dan gue ulurkan tangan dan dengan suarah berbisi penuh penyesalan gue bilang, “Mbak Lena, maafin Yoyok tadi ngatain Mbak Lena. Yoyok menyesal.”

Mbak Lena menjabat tangan gue dan memeluk gue, “nggak apa-apa kok. Mbak nggak marah.”

Dan sungguh, perasaan setelah sesal itu berjawab maaf begitu menyejukkan hati. Kesejukan itu menyiram padam ketidakberdayaan yang tadi membakar hati dan meluluhlantakkan jantung gue. Ketika gue menoleh ke belakang, gue lihat nyokap tersenyum. Dan gue mengerti artinya senyumnya.

Ia bangga anaknya menang melawan kesombongan.

Old posting and comments

1 comment:

  1. Anonymous4:49 PM

    salut buat nyokap lu....dan juga buat lu tentunya. Kita manusia sll punya kekurangan dg sedkiiit kelebihan, bukan?

    ReplyDelete