Friday, August 20, 2004

Petualangan di hutan karet

Kalo ditanya kapan terakhir gue piknik, jawabannya tahun 1994. Setelah itu rasanya ada satu atau dua kali piknik dengan rombongan besar sanak saudara dan kerabat kampung nyokap atau bokap. Tapi itu piknik dengan tujuan arisan keluarga. Bukan piknik karena ingin piknik.

Kejadiannya di awal semester genap—ato akhir semester ganjil, gue udah lupa. Waktu itu gue dan empat orang temen asyik ngobrol ngalor-ngidul di balsem sewaktu balsem masih layak menyandang nama balsem, balik semak. Sekarang sih jelas udah nggak bisa dibilang balsem lagi. Semaknya udah nggak tahu kemana.

Obrolan berawal dari: buku bacaan kuliah yang nyebelin—buku yang lagi dibaca—novel yang paling disuka—kapan mulai suka baca (kebetulan kami berlima emang kutu buku semua, jadi klop banget)—buku favorit waktu kecil—Enid Blyton—Lima Sekawan—limun jahe, dan sampelah ke pembahasan kegiatan favorit para Lima Sekawan dan berbagai karakter dalam tulisan-tulisan Enid Blyton: piknik. Dan karena lagi nggak banyak kuliah dan kelebihan waktu (zaman itu belum ada semester pendek ya. Mahasiswa zaman gue nggak segitu ambisiusnya buat nyelesein kuliah, kita kelewat cinta kampus, huehue….), maka kami pun sepakat buat PIKNIK ala Lima Sekawan di wilayah kampus.

Dan bukan piknik namanya kalo nggak bawa perbekalan lengkap. Kami udah sepakat nggak mau repot-repot bawa makanan dari rumah. Toh, di kafetaria kampus semua yang dibawa Lima Sekawan juga ada, kecuali limun jahe. Tapi, ada dua barang yang mesti dibawa dari rumah. Pertama, keranjang rotan dan kedua, taplak kotak-kotak! Belom sah rasanya piknik kalo nggak pake taplak kotak-kotak itu. Tikar? Nggak usah yeee…. Kasak-kusuk ternyata dua orang teman punya kedua barang itu, jadi persoalan selesai.

Sekarang lokasi. Ada yang ngusulin seperti Gusye, piknik di Danau UI. Tapi itu kan nggak menantang. Kurang berpetualang getoh lho. Udah gitu, bukannya di sana banyak ulat bulu? Akhirnya, gue lupa siapa yang usul, kami sepakat buat berpetualang ke daerah yang, ternyata, belum pernah kami semua jelajahin selama kuliah di UI, yaitu hutan karet.

Besoknya, setelah makan siang, dan setelah memenuhi isi keranjang rotan dengan berbagai makanan dari kafetaria, roti isi dan kacang, coke sebagai pengganti limun jahe, dan permen, kami berlima, dua cowok dan tiga cewek, memulai petualangan di hutan karet.

Kami memulai petualangan dari jalan setapak di depan Fakultas Sastra menuju Stasiun UI. Ketika jalan setapak tersebut berbelok, kami berjalan terus memasuki hutan karet. Ternyata jalan itu menurun ke sebuah ngarai kecil yang dialiri sungai kecil. Ada beberapa batang pohon karet tumbang, semak di sana-sini, dan beberapa orang gue lihat sedang menggergaji pohon-pohon tumbang itu.

Semakin jauh berjalan, semakin sepi, kami nggak ketemu satu orang pun. Pohon-pohon karet dan entah pohon apalagi berjajaran renggang. Matahari terang tapi panasnya nggak terasa karena sedikit banyak tertahan oleh daun-daun karet. Setelah mengembara ke sana ke mari hingga hampir dua jam, kami pun berhenti di bawah sebuah pohon dengan semak-semak rimbun di sekitarnya. Taplak kotak-kotak merah putih digelar di atas rumput, keranjang rotan dibuka, makanan dan minuman dikeluarkan, badan diselonjorkan, dan kami bermalas-malasan di bawah teduh pepohonan yang melindungi sengatan mentari sore. Menyelurup air kola dan mengunyah roti. Main kartu, makan kacang, makan permen, ngobrol nggak karuan juntrungan, hingga menjelang gelap. Kami pun kembali pulang.

Saat itu, langkah kaki masih terasa begitu ringan.

Old posting and comments

1 comment: