Gue suka banget pelajaran sejarah. Buat gue belajar sejarah seperti membaca novel yang bercerita tentang kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Banyak drama di sana. Dan secara gue adalah penggemar cerita, suka baca buku cerita, dengar cerita, dan sejak nulis blog jadi suka bercerita, sebenernya wajar kalo gue suka pelajaran sejarah. Tapi zaman sekolah dulu, ada satu pelajaran tentang sejarah yang bikin gue ngantuk: Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (gue nggak yakin adek-adek tahu kalo pernah ada mata pelajaran yang namanya sepanjang ini).
PSPB. Namanya yang panjang buat jadi nama mata pelajaran ini udah menjelaskan apa yang diajar: sejarah perjuangan bangsa (Indonesia). Kalo kemudian pake embel-embel pendidikan karena pelajaran ini emang maunya nggak hanya mengajarkan SPB itu tadi, tapi juga menanamkan nilai-nilai SPB—rela berkorban, gotong-royong, tepo seliro, dan seterusnya (males nggak seeehhh)—pada para murid.
Caranya? Nah, cuma ini yang gue suka dari PSPB: cara menanamkan the so-called-values. Selama di SMP, guru PSPB gue bakal meminta satu kelompok (biasanya satu kelas terdiri dari 3-4 kelompok) untuk mementaskan satu drama perjuangan sebagai salah satu komponen nilai. Dan gue, secara punya hasrat banceh atur yang gede, selalu dengan suka cita dan penuh semangat ’45 *istilah jayus mode on* memborong tugas sekaligus. Udah gue yang nulis skenario dramanya, gue yang nentuin peran teman-teman satu kelompok, gue yang jadi sutradara, dan tentu, untuk memuaskan hasrat lain yang juga gede, apalagi kalo bukan hasrat banceh tampil—biar nggak segede
Gusye ato
Miund yang amat luar biasa sampe bisa minta nyanyi di Timebreak, gue pun memilih diri sendiri jadi aktor utama.
Hal pertama yang gue kerjain adalah dengan semangat gue ngetik skenario drama pake mesin tik merk Brother punya nyokap. Dan ketika skenario selesai, dengan otoriter gue bertitah nentuin siapa memerankan apa. Latihan pertama di rumah gue, dengan semangat gue mimpin latihan dan, biar nggak pake TOA, gue paling gemar bilang, “action!” sama “cut!” Duh, udah serasa Teguh Karya lagi ngarahin Yenny Rachman di November 1828, gue pun ngarahin teman gue Ratu Mas Laura (kemana ya ibu ini?) yang jadi ibu-ibu secara emang mukanya paling keibuan (kelas satu SMP! Hihihi... sori ya Laura).
“Laura!” teriak gue. “Anak lo mati ketembak Belanda, lo nangis yang bener dong! Masa nggak ada air matanya? Suaranya dibikin bergetar dong pas bilang ‘anakku!’”
Ya, ya, ya, gue tahu gue sangat ngeselin kalo udah mulai kumat bossy-nya. Hasrat Hitlerisme gue itu emang nggak ada matinya kalo udah ketemu penyaluran. Dengan sangat ambisius gue memperlakukan drama karangan gue itu seolah-olah kita bakal tampil di Broadway. Dengan tangan besi gue ngatur semua temen gue yang pasrahan itu biar masterpiece gue itu tampil sempurna. Dengan niat gue bawa tape dan kaset buat efek suara, beli bendera-bendera kecil dan bambu yang diruncingin, dan minjem pensil alis nyokap gue buat bikin kumis.
Di SMA semua berubah. Nggak pernah ada drama-dramaan lagi. Dan karir singkat gue sebagai penulis skenario dan sutradara sekaligus aktor dan casting director pun terhenti. PSPB di SMA nggak lebih dari sekedar pelajaran biasa dengan guru ngelantur depan kelas dan gue maen catur jawa sambil makan permen swissels dan segala camilan di belakang kelas, dan tetap kurus (oh those good old skinny days). Tapi guru PSPB gue di kelas tiga tampil beda, Pak Jumari namanya.
Pak Jumari orang Betawi, dan seperti almarhum Benyamin S, dia kocak dan nyeleneh abis kalo ngajar. Kalo dia juga lagi bosan, dia bisa cerita dan ngelawak tentang hal yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan PSPB, dari gosip seputar sekolah sampe politik, dan kita pun ketawa. Pas ulangan, dengan baik hati dia bilang kalo kita boleh buka buku. Ujian open book gue pertama seumur-umur. Secara gue emang gemar nyontek kalo dibutuhkan, gue bawa semua buku sejarah sampe ‘30 Tahun Indonesia Merdeka’ ke kelas. Tapi begitu kertas foto kopian berisi soal ulangan dibagiin, gue baru sadar bahwa semua itu sia-sia. Cuma ada 10 soal, tapi nggak ada satu pun yang bisa ditemuin jawabannya dalam semua buku yang gue bawa. Percuma.
Begini bunyi soal pertama:
1. Ibu Fatmawati Soekarno menjahit Bendera Sang Saka Merah Putih pada waktu:
a. Siang terik
b. Petang Menantang
c. Malam gulita
d. Pagi buta
Otak gue berpikir keras mencari jawabannya. Gue berusaha untuk membayangkan situasi dan keadaan pada waktu itu. Sebuah drama PSPB pun dipentaskan dalam khayalan gue.
Begini plot ceritanya.
Siang itu, sehari sebelum proklamasi, dalam keadaan lapar dan haus Ibu Fatmawati harus pergi ke toko kain Tjahaja Textile di Passer Baroe buat beli kain merah dan putih. Pulangnya dia mampir ke Pasar Senen buat belanja kebutuhan berbuka. Jadi siang terik itu, Ibu Fatmawati nggak mungkin menjahit bendera.
Sore hari, sesampainya di rumah Jalan Pegangsaan, Ibu Fatmawati sudah harus bersiap-siap memasak untuk berbuka sore itu. Nasi putih, lalap, sambal terasi, dan oseng-oseng ikan teri Medan yang siangnya dibeli Ibu dari inang-inang di Pasar Senen. Setelah berbuka dan membereskan meja makan, mencuci piring dan mengeringkannya, Ibu memberi makan dan kemudian menidurkan Guntur yang waktu itu masih berusia dua tahun. Dia pasti terlalu sibuk untuk menjahit bendera di sore temaram itu.
Baru aja selesai menidurkan Guntur, Bung Karno pun masuk kamar dan mengedipkan matanya ke arah Ibu. Tahu dong reputasi Bung Karno kayak apa, biar katanya beliau lagi sakit flu tapi kan, tapi kan.... Lagian, biar bulan puasa, kalo udah malam kan sah-sah aja maen bobok-bobokan, secara mau ngapain lagi coba. TV nggak ada, DVD boro-boro, ya udah deh. Jadi gue ngebayangin, sebagai istri yang baik, Ibu Fatmawati harus ‘menidurkan’ Bung Karno terlebih dahulu. Setelah menunaikan semua tugas dan kewajibannya, gue yakin Ibu sudah terlalu lelah untuk bangun dari peraduan dan menjahit. Di malam yang gulita gara-gara listriknya terputus (gardunya dibom Belanda), Ibu pun terlelap sementara kain merah dan putih itu masih terbungkus koran di atas kursi di samping jendela.
Dan baru setelah sahur, Ibu Fatmawati mengambil lampu tempel dan meletakkannya di kusen jendela. Bung Karno sudah kembali terlelap di tempat tidur besar berkelambu. Guntur pun nyenyak setelah disusui Ibu. Setelah tak seorang pun menuntut pelayanannya sebagai ibu dan istri, setelah menunaikan shalat Subuh, dengan mata merah karena mengantuk, Ibu yang mulia ini membuka bungkusan koran dan mengambil secarik kain merah dan putih yang tergeletak di atas kursi di samping jendela dan mulai menjahit. Matanya mengerjap-ngerjap antara kelelahan dan kurangnya cahaya.
Dalam drama khayalan yang gagal gue pentaskan mengenai hari terakhir sebelum Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan almarhumah Tuti Indra Malaon gue pilih untuk berperan sebagai Ibu Fatmawati, di pagi hari 17 Agustus 1945, di saat seisi rumah terlelap, Ibu baru mempunyai waktu untuk menjahit bendera merah putih. Bendera yang kemudian akan berkibar di udara beberapa jam kemudian. Bendera yang melambangkan Indonesia telah merdeka. Pagi buta itu.
Dengan mantap gue pun mencoret huruf D.
Old posting and comments