Setelah tertunda di Betung, perjalanan gue ke kampung halaman nggak mengalami hambatan berarti. Memasuki wilayah Solok hujan mulai turun dan lepas dari Danau Singkarak, giliran kabut pecicilan turun menghalangi pandangan hingga ke Bukit Tinggi. Kabut terus keluyuran sampe Bonjol sehingga Abang ipar gue nyetir dengan pelan. Akhirnya kami sampe di Bonjol jam setengah sebelas malam. Bokap dan nyokap udah nungguin dengan cemas karena anak-cucunya lama nggak muncul-muncul. Malam itu malam takbiran, namun masjid yang terletak agak jauh membuat suara takbir tak terdengar. Setelah sejenak melepas rindu dan berbenah seperlunya, kami semua berusaha untuk segera tidur karena besok harus bangun pagi untuk shalat Idul Fitri.
Pagi harinya, gue terbangun sekitar jam 6 kurang. Sungguh suatu prestasi luar biasa buat gue yang biasanya baru bangun jam errr ... errr ... setengah sembilan. Gue ngupi dan mulai antri mandi secara kamar mandi di rumah yang hanya ada satu itu harus gantian dipake oleh sebentar ... ortu gue, nenek, tante dan dua anaknya, kakak gue sekeluarga, dan gue, jadi ... 13 orang! Untung shalat di Bonjol mulai jam 7.30 pagi, bukan jam 7 seperti di Jakarta.
Ini adalah Idul Fitri pertama gue di Bonjol, seperti halnya tahun lalu yang pertama di Taluk. Pagi itu hujan udah berhenti tapi langit masih mendung. Shalat yang biasanya diadakan di lapangan karena khawatir turun hujan dipindahkan ke masjid yang terletak di halaman Museum Tuanku Imam Bonjol, hanya beberapa meter dari garis khatulistiwa. Pulang shalat, gue bersalaman dan cipika-cipiki dengan orang-orang rumah. (Apa? Sungkeman? Ih, pasti yang nanya Jawir deh nih. Maaf ya, kami orang Minang nggak punya kebiasaan sungkeman hehe...) Abis itu gue langsung sikat ketupat dengan rendang yang dimasak pake kayu dengan sayur gulai nangka dan pakis. Uenaaakkk ... tenan!
Nggak lama, rumah nenek gue mulai disatroni orang. Nggak heran karena nenek gue termasuk orang paling tua di kampung dan di lingkungan keluarga. Sesuai kebiasaan, nenek, ortu, kakak, abang ipar, tante, dan gue sebagai orang-orang dewasa di rumah mesti siap untuk disalami terlebih dulu oleh para sodara dan orang kampung yang datang untuk berhalal bih halal. (Dan tanpa gue sadari, biar Ramadhan udah lewat, di hari yang fitri ini, gue kembali diuji.)
Dengan memasang tampang ala ibu-ibu sasak tinggi Dharma Wanita yang lagi kunjungan ke Panti Asuhan dan bersalaman sambil nyubitin pipi sok gemas semua anak panti, gue menyambut mereka yang datang lengkap dengan membawa pasukan anak-anak mereka.
“Hayoooo..., salam sama Oom Yoyok,” kata salah seorang ibu sambil menyorongkan seorang bocah perempuan yang tersenyum malu-malu menyambut uluran tangan gue.
Dengan tersenyum lebar dan suara yang dibuat serenyah dan seramah almarhum Pak dan Bu Kasur, mantan guru gue di TK Mini di Jalan Kebun Binatang (sekarang Jalan Cikini II), gue pun bertanya, “siapa namanya?”
Anak itu hanya menggeleng dan bersembunyi di balik paha ibunya.
“Eh, jawab dong, Nak. Namanya Laura, Oom,” jawab sang Ibu bangga.
Gue menatap tampang bocah perempuan itu sambil berpikir keras dari mana ide nama Laura itu bisa muncul begitu anak itu diletakkan bidan(atau dukun beranak?) di pangkuan ibunya setelah melahirkan ya? Nama Laura yang terlintas di kepala gue saat itu adalah Laura Ingalls yang diperanin Melissa Gilbert. Dan persamaan satu-satunya antara Lauranya Melissa dan Laura-nya Bonjol adalah giginya yang, maaf, berlari penuh suka cita mendahului mulutnya seperti kegembiraan Laura berlari jatuh bangun di padang rumput.
Tapi bukankah Melissa Gilbert tinggal di Hollywood. Di sana orthodontist bertebaran di setiap sudut gang yang bisa membantu menghambat keceriaan para gigi itu berpacu dengan sang mulut. Hasilnya kita tahu bahwa tawa ceria gigi rata Melissa dewasa sukses memincut hati Rob Lowe, yang dianggap salah satu cowok paling ganteng di era jahiliyah 80-an. Masalahnya, adakah orthodontist di satuuuuuu aja sudut di Bonjol yang dapat mengurung gigimu kelak, Nak, sehingga engkau bisa memikat hati Derby Romero ketika kalian dewasa kelak?
Begitu Laura berlalu, gue bersiap-siap menyambut seorang bayi yang dipersembahkan ke depan gue, anak kerabat gue yang tinggal di kampung seberang sungai. Nama kerabat gue adalah Lusi yang kemudian dipanggil secara Minang sebagai Aluih. Ketika dia memperkenalkan anaknya, dengan bodoh gue mengajukan pertanyaan yang sangat rawan terhadap kesuksesan gue berjaiman di tengah kesucian hari raya ini.
“Sia namo anak Aluih ko?” tanya gue. (Terjemahan: Siapa nama anak Aluih ini?)
“Cindy, Bang,” jawab Aluih sambil tersenyum lebar.
Sambil tersenyum dengan hati berat, gue pun mencubit pipi bocah itu dengan kegemasan yang nggak gue buat-buat sambil mencari tahi lalat di atas bibir Cindy-nya Bonjol yang mungkin telah memberi inspirasi Ibunya. Nggak ketemu. Lantas, kenapa dikasih nama Cindy? Gue gemas, emang apa salahnya sih sama nama standar Minang kayak Dahniar, Rosni, atau Rasuna? Atau nama-nama Islami yang biasanya juga jadi ciri urang awak? Kenapa harus ngasih nama Barat keparat sih? Gue merutuk semua acara tivi yang udah memberi sodara-sodara gue—yang notabene hidup di kampung—ilham gila-gilaan untuk memberikan berbagai nama Barat kepada anak-anak mereka. Sementara sodara-sodara gue di Jakarta aja nggak gitu-gitu amat. Malah, oom gue yang kawin sama orang Jawa aja ngasih nama anaknya Malin. Tuh, kurang Minang apa coba!
Nggak lama, datanglah salah seorang etek gue, Sri Ardieti yang akrab dipanggil si Et (salah satu contoh nama yang gue kasih di tulisan Kalau Orang Minang Kasih Nama pertama), yang menghampiri gue sambil menggendong bayinya untuk mengucapkan selamat hari raya. Belajar dari pengalaman, kali ini gue cari aman dan hanya berkomentar, “eh, ini anak yang baru lahir kemaren ini, ya?”
“Iya, Yo. Namanya Wulandari.”
Apaan sih? Siapa yang nanyaaaaaaaa? Gue pengen njerit sambil njedutin kepala gue ke tembok begitu mendengar nama itu. Gue tahu, duhai sidang pembaca yang budiman, anda semua mungkin akan bertanya-tanya, seaneh apakah nama Wulandari, selain bahwa nama tersebut di Sumatra akan mengesankan pemiliknya adalah transmigran bedol desa dari Wonogiri waktu Bendungan Gajah Mungkur akan dibangun. Pemilihan nama itu menjadi harus lebih dimaklumi lagi mengingat sang ibu datang dari keluarga yang almarhum ayahnya gemar memberi nama Jawir buat anak-anaknya sehingga Wulandari punya Mamak (paman) bernama Yono dan Maktuo (tante/bude) bernama Sri Yuningsih. Jadi, apalah artinya nama Wulandari selain upaya melestarikan kebiasaan Jawanisasi keluarga.
Begini ya ... yang membuat gue mendadak ingin memanjakan hasrat masokis gue begitu nama Wulandari disebut adalah karena nama itu langsung mengingatkan gue akan sebuah film dokumenter yang belum lama ini gue tonton di Q! Film Festival. Film itu mengisahkan perjalanan hidup seorang waria dari seorang pelacur di Taman Lawang, Jakarta, menjadi seorang pelacur di Taman Laffayette, Paris, hingga akhirnya sukses merebut hati seorang pria Prancis yang kemudian mengajaknya hidup bersama. Dan ... dari manakah asal-usul Wulandari sang pelacur? Ya, betul. Wulandari, dara lanang bernama Jawa itu berasal dari ranah Minang, ranah nan kayo pusako Bundo Kanduang tacinto. Onde mande, gue habis dinista Iwan dan Pram waktu Wulandari ‘the banci’ mengakui asal-usulnya itu. Enough! Gue hajar kalo ada yang berani komen lagi!
Nggak sanggup menahan semua kegalauan hati gue dengan semua fenomena nama-nama nggilani yang gue temui, gue curhat ke Etek Ren, adik bungsu bokap gue. Tapi memang takdir sudah jadi suratan, bukannya penghiburan yang gue peroleh, yang ada gue harus menanggung beban baru karena etek gue tercinta kemudian bercerita tentang kenistaan nama salah seorang temannya yang menurut gue adalah puncak keajaiban urang awak memberikan nama.
Tek Ren adalah seorang insinyur lulusan IPB yang sekarang bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS) Padang. Biasanya, setiap akan ada sensus atau penghitungan statistik baru, dia harus mengikuti suatu pelatihan tertentu. Dalam salah satu pelatihan tersebut, Tek Ren akhirnya berkesempatan mengenal seorang rekannya yang berasal dari BPS Bukit Tinggi. Seperti biasa, ketika pelatihan dibuka pada hari pertama, nama semua peserta diabsen dengan cara disebut satu per satu hingga semua orang selesai dipanggil. Tak lama, saat pelatihan akan segera dimulai, seorang pria berdiri seraya mengacungkan tangannya.
“Nama saya belum disebut, Bu,” katanya.
“Ah, rasanya sudah saya sebut semua,” kata Ibu Trainer bingung. “Siapa namanya, Pak?”
Laki-laki itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab.
Siap-siap ...
“DON’T WORRY, Bu.”
Semua mata menatap pria bernama Don’t Worry itu dengan tatapan tak percaya sebelum akhirnya tawa mereka meledak. Si Ibu Trainer sambil tersenyum meminta maaf. Katanya, dia pikir kalimat “don’t worry” itu ditulis oleh panitia yang sedang menunggu konfirmasi peserta yang akan mengikuti pelatihan tersebut. Bukan nama orang.
Gue ngakak sampe sakit perut mendengar cerita Etek gue itu. Setelah bisa menarik nafas, gue bertanya, “Sebentar ... cara nulisnya gimana? Di-Indonesia-in jadi Don Wori atau emang pake English grammar yang bener segala?”
Rio, tabahlah sampai akhir ...
“Emang pake grammar yang benar, Yo, jadi D-O-N-tanda petik tunggal-T W-O-R-R-Y. DON’T WORRY!”
Mati gue! Gue nggak sanggup ngebayangin ada orang tua yang ngasih nama anaknya Don’t Worry dengan penulisan yang benar. Itu kan bukan nama, huaaaaa .... *menangis berguling-guling* Belajar bahasa Inggris di mana sih bapaknya? Apa sang bapak dapat ilham waktu dengar ada turis bule yang lagi jalan-jalan di Ngarai Sianok Bukit Tinggi, empat puluhan tahun yang lalu, dan ngomong “don’t worry.” Terus, dia suka dengan kalimat itu karena dia pikir itu nama Spanyol seperti Don Quixote, walau gue juga bingung dari mana dia mungkin pernah mendengar cerita tentang Don Quixote. Lantas, gue rasa dia meminta bule itu menuliskannya di atas kertas dan begitu anaknya lahir, dengan hati berbungkah kebahagiaan, dia berikan secarik kertas yang sudah lusuh itu kepada petugas Kenagarian sewaktu meminta akte kelahiran anaknya. Dengan susah payah, bapak petugas itu mengetik di mesin tik Brother seri pertama nama yang akan tercatat dalam sejarah sebagai puncak dari segala puncak keajaiban nama urang awak, mengalahkan John Travolta, menendang Lovely Son-nya Miund: ‘Don’t Worry’.
Gue menghela nafas dalam sambil membayang kekuatan mental Pak Don’t Worry yang hidup dengan nama itu empat puluh tahunan lamanya. Kagum gue. Kalo gue sih rasanya udah bakal melakukan hal yang dilakukan salah seorang Oom gue di kampung, Pak Etek Ucok: ganti nama. Gimana nggak, dia dikasih nama SAFRIANUS oleh orang tuanya, dan terbayang bukan begitu dia sekolah dan mengerti arti kata anus itu?
Sekarang, gue penasaran, kalo Pak Don’t Worry punya anak, dia kasih nama anaknya apa ya?
Mestinya ‘Be Happy’.
Monday, November 21, 2005
Thursday, November 17, 2005
CARITO MUDIAK KATIGO Lain padang, lain teong
Di Betung onderdil itu nggak ada, sementara itu gue sama abang ipar gue telepon-teleponan (Iklan: Terima kasih untuk Telkomsel yang telah memasang antena pemancar tambahan di pos polisi pengaman mudik) sehingga ketika gue memastikan bahwa barang yang dicari nggak ada di Betung, Bang Eri pun menelepon temannya di Palembang untuk membelikan onderdil itu di sana. Untung barang itu ada, namun biar bagaimana harus diambil di Palembang yang waktu tempuhnya dua jam dari Betung. Sementara hari udah semakin mendekati Maghrib dan kami semua, termasuk kedua keponakan gue yang paling besar, berpuasa.
Akhirnya, kami putusin buat istirahat sejenak dan menginap di Betung. Wono mengantarkan kami ke hotel bernama Penginapan Tetesan Embun. Lepas Maghrib dan berbuka Bang Eri pergi ke Palembang, sementara gue dan kakak gue beserta keponakan-keponakan gue istirahat di hotel. Jam setengah dua, Bang Eri balik dengan mobil udah selesai diperbaiki oleh montir.
Setelah Subuh, perjalanan dilanjutkan kembali. Gue yang nyetir—dan bikin warna kulit lengan gue jadi legam tembaga keren gitu—dan terus nyetir selama 12 jam. Dalam perjalanan, kedua keponakan gue yang paling kecil, Faiqal dan Aydin, masing-masing menanamkan sahamnya dalam upaya pelestarian hutan-hutan di hutan Sumatra Selatan dan Jambi. Ya, bila menggunakan bahasa para bocah ini, mereka teong di tengah huntan. Dan buat mereka, teong itu adalah kebutuhan saat ini yang nggak bisa ditunda. Jadi, kalo mereka minta teong ya, mo di hutan kek, jalan tol kek, ya teong aja. Kakak gue nggak terlalu suka masangin popok pakai buang sehari semalam buat anaknya, paling hanya malam hari aja. Lagian, Aydin juga nggak kelewat suka dipasangin popok kayak itu, dia suka jadi rewel.
Teong adalah kegiatan sehari-hari yang kita kerjain, tapi ada sementara orang yang—sungguh malang—nggak bisa teong secara teratur. Ada yang bermasalah dengan ‘tempat’, seperti beberapa orang teman gue yang nggak bisa teong kalo nggak di rumahnya. Atau, tempat dalam arti, kalo bukan closet duduk, nggak bisa keluar, dan sebaliknya seperti beberapa saudara gue dari kampung yang teteup ngejongkokin closet duduk ketika menginap di rumah gue. Banyak yang lebih rela menahan keinginannya untuk teong berhari-hari daripada harus teong di sembarang tempat.
Kok bisa sih? Kalo gue, seperti kedua keponakan gue tercinta, termasuk orang yang nggak pandang tempat untuk melakukan hajat yang satu ini. Apalagi mengingat pencernaan gue yang super lancar ini, teong bisa gue lakukan lebih dari dua kali sehari. Maklum gue kan rajin makan sayur dan buah di samping empal, soto betawi, gulai kambing dan kawan-kawannya (gue terpaksa memberikan penjelasan tambahan nggak perlu ini karena gue tahu bakal diserang oleh oknum tertentu yang bakal komentar, “kalo rajin teong kok masih errr ... buncit?” Huh!). Tapi mungkin kemampuan gue untuk teong di mana-mana ini tercipta karena gue udah dari kecil terbiasa untuk melakukan hajat keparat ini dalam keadaan darurat. Gimana enggak, tahun 1970-an hingga awal 1980-an, baik di rumah nenek gue di Bonjol (kampung bokap) maupun Taluk (kampung nyokap), belom ada yang namanya WC!
Di Bonjol, yang terletak di daerah perbukitan Bukit Barisan, kalo mau teong, gue harus ke kali kecil di belakang rumah, ato sekalian teong pas mandi di sungai besar yang letaknya agak jauh dari rumah. Jadi nggak mungkin dilakukan kalo kebelet. Nah, lo tahu nggak caranya teong di kali? Hayooo ... belajar, siapa tahu ntar lo mengalami keadaan darurat, jadi udah bisa, hihihi ....
Pertama kali teong di kali, gue inget kalo gue sangat kagok karena gue nggak tahan merendam errr ... maaf, pantat di dalam air yang dingin dan mengalir deras itu. Jadi gue cari batu yang agak tinggi dan jongkok di atasnya dan baru berendam untuk cebok. Tapi hal itu sangat nggak nyaman karena bentuk batu yang bulat menyebabkan arah tembakan kadang gagal mencemplung ke sasaran, yaitu air yang mengalir, sehingga beberapa serpihannya tercecer di bebatuan yang baru gue lihat belakangan ketika gue turun untuk cuci-cuci, bersih-bersih. Hueeeekkk ... sejak itu gue belajar untuk langsung berendam biar nggak meninggalkan jejak di bebatuan dan akhirnya ... sukses. Contoh bisa dilihat foto keponakan gue, Iqbal, yang kebelet waktu kita lagi dalam perjalanan ke kebon coklat bokap gue sehingga mau nggak mau mesti teong di kali.
Sementara di Taluk lain lagi ceritanya. Kampung halaman nyokap gue ini terletak di pinggir pantai. Tanahnya berpasir dan sungainya nggak mengalir deras dan bersih seperti di Bonjol. Airnya cenderung payau. Jadi sungai bukanlah tempat yang biasa dipake orang membuang hajat. Terus, gimana doooong? Errr ... yakin mau tahu? Masih tahan itu perut? Ok, gini caranya.
Mari kita kembali pada suatu masa di akhir 1970-an ketika gue masih kelas satu SD dan sedang mudik ke Taluk dan tinggal di rumah nenek, adek almarhum ayah. Pada suatu pagi yang cerah, matahari baru mengintip dari cakrawala, gue terbangun dan tiba-tiba perut gue mulas dan gue tahu gue harus teong biar itu mulas hilang. Gue bangunin Bang Eri, yang waktu itu masih oom dan belom jadi abang ipar. Bang Eri pergi ke sumur di belakang rumah diikuti gue yang jalan tertatih-tatih megangin perut menahan mulas. Dia timba air dan menuangkannya ke dalam sebuah ember. Kemudian, dia berjalan ke arah kebun di belakang rumah. Sebelumnya, dia mengambil sebilah pacul yang tersandar pada dinding dekat pintu. Di kebun, dia mencangkul tanah yang berpasir hingga kedalaman sekitar dua puluh senti, meletakkan ember di dekatnya dan menengok ke arah gue.
“Nanti panggil abang kalo udah selesai ya,” katanya.
Gue mengangguk sambil buru-buru melepas celana dan jongkok di pinggir lubang. Aaaaaahhhhh ... akhirnya. Dan setelah selesai dan cuci-cuci bersih-bersih, gue pun memanggil Bang Eri. Dia kemudian menimbun lubang itu dan membawa ember kembali ke sumur. Sebelum masuk rumah gue tengok ke arah gundukan tanah yang baru saja gue tinggalin. Gue merasa seperti seekor kucing.
Meong.
Akhirnya, kami putusin buat istirahat sejenak dan menginap di Betung. Wono mengantarkan kami ke hotel bernama Penginapan Tetesan Embun. Lepas Maghrib dan berbuka Bang Eri pergi ke Palembang, sementara gue dan kakak gue beserta keponakan-keponakan gue istirahat di hotel. Jam setengah dua, Bang Eri balik dengan mobil udah selesai diperbaiki oleh montir.
Setelah Subuh, perjalanan dilanjutkan kembali. Gue yang nyetir—dan bikin warna kulit lengan gue jadi legam tembaga keren gitu—dan terus nyetir selama 12 jam. Dalam perjalanan, kedua keponakan gue yang paling kecil, Faiqal dan Aydin, masing-masing menanamkan sahamnya dalam upaya pelestarian hutan-hutan di hutan Sumatra Selatan dan Jambi. Ya, bila menggunakan bahasa para bocah ini, mereka teong di tengah huntan. Dan buat mereka, teong itu adalah kebutuhan saat ini yang nggak bisa ditunda. Jadi, kalo mereka minta teong ya, mo di hutan kek, jalan tol kek, ya teong aja. Kakak gue nggak terlalu suka masangin popok pakai buang sehari semalam buat anaknya, paling hanya malam hari aja. Lagian, Aydin juga nggak kelewat suka dipasangin popok kayak itu, dia suka jadi rewel.
Teong adalah kegiatan sehari-hari yang kita kerjain, tapi ada sementara orang yang—sungguh malang—nggak bisa teong secara teratur. Ada yang bermasalah dengan ‘tempat’, seperti beberapa orang teman gue yang nggak bisa teong kalo nggak di rumahnya. Atau, tempat dalam arti, kalo bukan closet duduk, nggak bisa keluar, dan sebaliknya seperti beberapa saudara gue dari kampung yang teteup ngejongkokin closet duduk ketika menginap di rumah gue. Banyak yang lebih rela menahan keinginannya untuk teong berhari-hari daripada harus teong di sembarang tempat.
Kok bisa sih? Kalo gue, seperti kedua keponakan gue tercinta, termasuk orang yang nggak pandang tempat untuk melakukan hajat yang satu ini. Apalagi mengingat pencernaan gue yang super lancar ini, teong bisa gue lakukan lebih dari dua kali sehari. Maklum gue kan rajin makan sayur dan buah di samping empal, soto betawi, gulai kambing dan kawan-kawannya (gue terpaksa memberikan penjelasan tambahan nggak perlu ini karena gue tahu bakal diserang oleh oknum tertentu yang bakal komentar, “kalo rajin teong kok masih errr ... buncit?” Huh!). Tapi mungkin kemampuan gue untuk teong di mana-mana ini tercipta karena gue udah dari kecil terbiasa untuk melakukan hajat keparat ini dalam keadaan darurat. Gimana enggak, tahun 1970-an hingga awal 1980-an, baik di rumah nenek gue di Bonjol (kampung bokap) maupun Taluk (kampung nyokap), belom ada yang namanya WC!
Di Bonjol, yang terletak di daerah perbukitan Bukit Barisan, kalo mau teong, gue harus ke kali kecil di belakang rumah, ato sekalian teong pas mandi di sungai besar yang letaknya agak jauh dari rumah. Jadi nggak mungkin dilakukan kalo kebelet. Nah, lo tahu nggak caranya teong di kali? Hayooo ... belajar, siapa tahu ntar lo mengalami keadaan darurat, jadi udah bisa, hihihi ....
Pertama kali teong di kali, gue inget kalo gue sangat kagok karena gue nggak tahan merendam errr ... maaf, pantat di dalam air yang dingin dan mengalir deras itu. Jadi gue cari batu yang agak tinggi dan jongkok di atasnya dan baru berendam untuk cebok. Tapi hal itu sangat nggak nyaman karena bentuk batu yang bulat menyebabkan arah tembakan kadang gagal mencemplung ke sasaran, yaitu air yang mengalir, sehingga beberapa serpihannya tercecer di bebatuan yang baru gue lihat belakangan ketika gue turun untuk cuci-cuci, bersih-bersih. Hueeeekkk ... sejak itu gue belajar untuk langsung berendam biar nggak meninggalkan jejak di bebatuan dan akhirnya ... sukses. Contoh bisa dilihat foto keponakan gue, Iqbal, yang kebelet waktu kita lagi dalam perjalanan ke kebon coklat bokap gue sehingga mau nggak mau mesti teong di kali.
Sementara di Taluk lain lagi ceritanya. Kampung halaman nyokap gue ini terletak di pinggir pantai. Tanahnya berpasir dan sungainya nggak mengalir deras dan bersih seperti di Bonjol. Airnya cenderung payau. Jadi sungai bukanlah tempat yang biasa dipake orang membuang hajat. Terus, gimana doooong? Errr ... yakin mau tahu? Masih tahan itu perut? Ok, gini caranya.
Mari kita kembali pada suatu masa di akhir 1970-an ketika gue masih kelas satu SD dan sedang mudik ke Taluk dan tinggal di rumah nenek, adek almarhum ayah. Pada suatu pagi yang cerah, matahari baru mengintip dari cakrawala, gue terbangun dan tiba-tiba perut gue mulas dan gue tahu gue harus teong biar itu mulas hilang. Gue bangunin Bang Eri, yang waktu itu masih oom dan belom jadi abang ipar. Bang Eri pergi ke sumur di belakang rumah diikuti gue yang jalan tertatih-tatih megangin perut menahan mulas. Dia timba air dan menuangkannya ke dalam sebuah ember. Kemudian, dia berjalan ke arah kebun di belakang rumah. Sebelumnya, dia mengambil sebilah pacul yang tersandar pada dinding dekat pintu. Di kebun, dia mencangkul tanah yang berpasir hingga kedalaman sekitar dua puluh senti, meletakkan ember di dekatnya dan menengok ke arah gue.
“Nanti panggil abang kalo udah selesai ya,” katanya.
Gue mengangguk sambil buru-buru melepas celana dan jongkok di pinggir lubang. Aaaaaahhhhh ... akhirnya. Dan setelah selesai dan cuci-cuci bersih-bersih, gue pun memanggil Bang Eri. Dia kemudian menimbun lubang itu dan membawa ember kembali ke sumur. Sebelum masuk rumah gue tengok ke arah gundukan tanah yang baru saja gue tinggalin. Gue merasa seperti seekor kucing.
Meong.
Monday, November 14, 2005
CARITO MUDIAK KADUO Orang Jawa di Sumatra
Mobil gue arahkan ke bahu jalan yang nggak beraspal dan gue berusaha terus mempertahankan posisi hingga kecepatan semakin melambat. Untungnya jalanan agak mendatar dan ketika kecepatannya udah nggak terlalu tinggi gue menarik rem tangan sehingga mobil lebih cepat berhenti. Lega. Nggak ada apa-apa dan di jok belakang keponakan gue teteup jejeritan nggak karuan bareng Ariel.
Gue dan abang ipar gue keluar mobil untuk memeriksa mesin. Errr ... dalam hal ini tentu abang ipar gue yang lebih berkompeten ya. Dan ternyata oh ternyata, puli kruk as depannya patah (satu benda yang gue baru tahu nama dan keberadaannya) sehingga tali kipas lepas. Kami coba menghentikan kendaraan untuk meminta bantuan, baru setelah beberapa lewat nyuekin, sebuah truk berhenti. Gue minta tolong diantarkan ke pos polisi pengaman jalur mudik terdekat sementara abang ipar gue jaga mobil beserta isinya.
Untung pos tersebut nggak jauh, hanya beberapa ratus meter. Gue ceritain masalah ke petugas yang ada dan kami pun balik ke TKP diantar salah seorang warga yang kebetulan memiliki mobil. Sayang, dia nggak bisa membantu lebih lanjut, terutama untuk menarik mobil abang ipar gue ke pos tersebut karena ada urusan lain. Begitu gue dan dua orang petugas sampai di tempat mobil yang rusak, abang ipar gue pun ambil keputusan untuk menyuruh gue membeli onderdil yang dibutuhkan di kota terdekat, Betung, yang terletak kira-kira 20 km dari tempat mobil gue rusak. Sementara itu, polisi dan abang ipar gue cari jalan buat menarik mobil ke pos polisi.
Gue menghentikan sebuah bus mini antarkota yang melintas. Begitu masuk, gue disambut oleh bebauan tujuh rupa mulai dari minyak angin sinyongnyong, keringat, dan bebauan yang gue nggak mampu tebak asalnya dari berbagai jenis karung dan barang yang bergeletakan di lantai bus. Selain smell effect, sound effect di dalam bus itu juga cukup dahsyat. Mulai dari ibu-ibu yang setiap lima menit muntah, suara bayi menangis, dan mesin mobil yang memekakkan telinga. Lima belas menit perjalanan terasa lima belas jam penuh siksaan buat gue. Gue ngerasa lega ketika akhirnya bus berhenti di sebuah restoran. Sialnya, gue beom sampai kota Betung. Gue terpaksa cari cara lain pergi ke kota.
Untung, hanya lima puluh meter dari restoran gue melihat kantor polisi dan gue datengin dengan harapan ada yang bisa nganter gue ke Betung. Seorang banpol menghampiri gue dan mengatakan bahwa cara termudah ke kota adalah dengan naik taksi. Errr ... taksi? Nggak salah, Mas? Ditemani banpol yang ternyata bernama Wawan yang berkampung halaman di Klaten, gue berdiri di pinggir jalan menunggu taksi lewat. Percuma ngimpi taksi Burung Biru dan teman-temannya lewat karena yang namanya taksi di daerah ini adalah angkot dengan pintu di belakang.
Lama, nggak ada satu taksi pun lewat. Akhirnya gue bertanya sama dia kalo-kalo ada orang yang memiliki motor untuk bisa mengantarkan gue. Ternyata, dia sendiri punya. Duh, Mas Wawan, kenapa nggak bilang dari tadi toh? Dia pun mengambil motornya dan gue membonceng di belakang. Di tengah perjalanan gerimis mengundang mulai menetes. Gue cuma ngebatin, nggak bisa lebih sial lagi ya? Tiba-tiba dia nawarin untuk menyewa taksi milik temannya yang langsung gue iyain sambil nggerundel dalam hati, mbok kalo nawarin jangan tanggung-tanggung gitu lho. Temannya Wawan bernama Siswono, kalo nggak salah, berasal dari Wonosobo.
Errr ... gue jadi mikir, kok orang-orang di sini berasal dari Jawir semua ya? Ini jalan lintas Sumatra dan bukan pantura kan? Gimana mungkin gue ketemu Jawir-jawir berlogat medok dan tetap bicara dengan bahasa ndewek kepada sesamanya. Heran deh. Tapi gue sadari bahwa gue untuk pertama kalinya baru berkenalan dengan para keturunan transmigran dari Jawa. Mereka adalah generasi kedua transmigran yang dimukimkan kembali di Sumatra. Wawan dan Wono bercerita bahwa mereka lahir dan besar di Sumatra dan belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Jawa.
Gue jadi teringat dengan transmigrasi, program penyebaran penduduk yang beken di zaman orde baru yang punya cita-cita mulia untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Udah lama gue nggak mendengar tentang program ini dan nggak yakin apakah program ini masih ada atau udah mati seperti orde yang menggiatkannya. Yang gue juga nggak tahu, adakah tinjauan tentang keberhasilan pelaksanaan program ini. Program yang sering dituduh sebagai upaya Jawanisasi—seperti penamaan kelurahan untuk semua wilayah administrasi desa di seluruh Indonesia—ini emang punya pendukung dan, tentunya, penentangnya. Tapi seperti semua penentang kemapanan orba, suara mereka tenggelam. Yang pasti program ini udah berjalan belasan tahun dan sering dipropagandakan lewat lagu mars yang dulu sering diputar di TVRI (ada yang ingat?).
Mereka, Wawan dan Wono, masing-masing bercerita tentang suka duka hidup di negeri orang yang umumnya adalah masalah-masalah klasik adaptasi sosial dan budaya. Dengan suara medok, mereka bercerita tentang perselisihan dengan penduduk setempat. Tentang senjata api ringan dan senapan yang banyak beredar dan dimiliki oleh penduduk asli dan pendatang. Tentang perselisihan kecil seperti orang mabuk di pesta yang bisa menyebabkan perkelahian dan baku tembak. Tentang ketidakberdayaan polisi dalam jumlah kecil untuk mengatasi itu semua. Tentang harapan untuk kembali melihat tanah Jawi, tanah asal mereka yang terasa jauh.
Di tengah keheningan dan kedamaian hutan karet dan kelapa sawit Sumatra Selatan, gue bergidik. Gue nggak sanggup membayangkan bahwa di daerah terpencil seperti ini anarki seperti itu bisa terjadi. Dari mana mereka bisa dapat senjata? Apa upaya untuk menjembatani perbedaan? Kalau orang satu suku aja bisa bunuh-bunuhan di Ambon dan Poso, apalagi orang yang berbeda suku dan budaya? Gue teringat beberapa tahun lalu ketika orang Madura dan Dayak berselisih senjata hingga memakan korban jiwa di Sambas, Kalimantan.
Seribu pertanyaan berkecamuk di benak gue. Akankah perseteruan antarsuku, antara penduduk asli dan pendatang, seperti di Sambas menyeruak di tanah Sumatra? Mengapa pembauran itu begitu sulit terjadi? Mengapa perbedaan itu begitu sulit untuk dihormati keberadaannya? Mengapa hidup berdampingan dengan orang yang berbeda dengan kita menjadi begitu sulitnya?
Gue nggak akan bisa merasa aman pulang kampung tahun-tahun mendatang kalo terjadi apa-apa di wilayah ini.
Thursday, November 10, 2005
CARITO MUDIAK PATAMO Ada apa dengan orang tua?
Semua orang pasti tahu siapa itu Peter Pan. Gue mungkin termasuk orang yang telat kenal dengan makhluk yang bernama Peter Pan itu. Gue tahu lagu-lagunya justru karena kebanyakan ngedengerin pengamen di Menteng yang silih berganti nyanyiin lagu-lagu mereka. Gue baru tahu namanya Peter Pan ketika mereka udah berhasil ngejual lebih dari sejuta kopi album rekamannya. Bahkan, sampe sekarang gue belom pernah lihat video klip hit terbesar mereka, “Ada Apa Denganmu?”
Telat ya? Gue tahu. Dan gue sadari betapa gue super telat menyadari kehadiran grup ini ketika di satu malam minggu di Kafe Pisa, Menteng, ketika gue lagi asyik makan dan ngobrol di acara ulang tahun teman gue, tiba-tiba penyanyi home band-nya Kafe Pisa ngebacain permintaan lagu “Ada Apa Denganmu?” dan menyapa orang meminta lagu itu. Yang ada, gue terkaget-kaget ketika ngelihat siapa yang minta lagu itu!
Beberapa orang bocah!
Dan ketika akhirnya lagu itu dinyanyiin, seorang bocah perempuan tanpa malu-malu langsung naik panggung—gue rasa pasti pernah ikut kursus presenter-nya Dewi Hughes buat bocah yang lagi ngetren itu—dan nyanyi sambil goyang-goyang pinggul ala Inul! Satu orang penyanyi dengan bodohnya memberikan mikrofonnya kepada seorang bocah cowok yang berdiri dekat panggung dan menatap panggung sambil ngiler sehingga akhirnya dia dibiarkan menyanyikan sisa lagu “What’s wrong with you?” itu sampe selesai! Tanpa salah dengan suara fals nggak karuan.
Bodoh kan? Gue rasanya mau ngerebut mike dari bocah itu dan njitak penyanyinya sambil bilang, “Coba yaaa ... Ini kafe, bukan TK deh!”
Gue nggak pernah berharap masuk kafe dan mendengar suara fals bocah nyanyi lagu dewasa dan mengganggu kenikmatan gue hang out. Apa ini kafe udah berubah jadi night care center buat ngasuh para bocah yang orang tuanya kerja malam? Ketika gue lihat dengan siapa pada bocah itu datang, ternyata mereka datang dengan orang tua mereka sendiri yang asyik ngobrol sesama mereka.
Woiii... nyadar dong! Ngapain lo bawa anak ke kafe tengah malam? Begini ya, kafe itu bukan Dufan ato Taman Safari. Jangan dianggap tempat piknik deh! Jadi, kalo lo nggak bisa nemuin pengasuh yang bisa ngejagain mereka ketika lo mau gaul sampe malam ... ya, jangan pergi! Apalagi di malam minggu yang jelas banget tujuan lo cuman buat senang-senang doang! Dan gue pikir, bukankah menghabiskan waktu bersama anak lo seharusnya membuat lo lebih bahagia daripada nongkrong di kafe bareng temen-temen lo? Heran gue.
Dan jangan nganggap bahwa bawa anak ke kafe itu sebagai ide cerdas buat nunjukin tanggung jawab lo sebagai orang tua yang nggak tega ninggalin anaknya tanpa pengawasan ya. Otak udang! Buat gue, itu cuma nunjukin keegoisan dan kebebalan lo serta rendahnya tanggung jawab lo sebagai orang tua! Maksudnya apa? Sementara lo asyik ngobrol anak lo bakal belajar: oom itu minum apa sih, kok kayaknya abis minum ketawa-tawa melulu, aku abis minum susu kok biasa aja ya; wah tante penyanyinya kayak nggak pake baju, ya; lho, oom sama tante itu kok ciumannya di bibir ya, emang enak? jadi pengen tahu. Sementara itu, lo terus asyik ngobrol sama temen-temen lo.
Gue jadi emosi jiwa.
Ngelihat ada orang tua bawa anaknya ke kafe sama bikin jengkelnya kayak lihat orang tua yang bawa anaknya buat nonton film ‘Flight Plan’ dan semua film dewasa lain. Dan ketika anaknya ketakutan baru mereka—atau baby sitter-nya—keluar di tengah film. Tolol! Untung lo nggak dekat-dekat gue ya, kalo nggak, gue bakal siram coca cola begitu anak lo buka mulut bertanya soal jalan cerita film. Bukan anak lo, tapi lo, bego! Kalo nggak bisa ninggalin anak di rumah sendiri, ajak anak lo pergi ke ITC Kuningan, beli DVD sambil belanja di Carrefour, trus nonton tuh film tengah malam waktu anak lo udah tidur! Jangan ke bioskop! Ganggu orang, tahu!
Dan balik ke Kafe Pisa di malam itu, ketika lagu sejuta umat itu kelar dinyanyiin anak-anak mereka, para orang tua itu memberikan tepuk tangan dengan wajah bangga. Bangga atas keberanian anak-anak mereka beraksi di depan umum. Dan ketika kebanyakan orang satu kafe ikut bertepuk tangan, gue jadi merasa terasing. Ini gue yang aneh, ato mereka yang gila sih. Gue nggak ngerasa hal seperti itu layak diberi dukungan. Berani nyanyiin lagu orang dewasa di sebuah kafe bukan jenis keberhasilan yang bakal bikin gue bangga kalo keponakan gue bisa lakukan.
Tapi gue tergigit lidah ketika hari Senin di malam kedua puluh sembilan Ramadhan, ketika abang ipar gue mulai menjalankan mobilnya memulai perjalanan panjang ke Bonjol, Faiqal, keponakan gue yang baru berumur 3,5 tahun itu minta gue yang duduk di depan buat muterin kaset Peter Pan. Hah? Nggak salah? Dan ketika dia bisa ngikutin lirik lagu-lagu Peter Pan, dengan ditingkahi oleh Aydin, adiknya yang baru berusia dua tahun, yang meneriakkan ujung kalimat, “... SURGAAAA!”, gue cuma bisa ngelus-ngelus dada. Gue nggak bisa ngelarang, apalagi marah.
Ternyata, anak sekarang ternyata emang kekurangan hiburan yang sesuai umur mereka dan banyak orang tua yang ambil jalan pintas—mungkin karena sedikitnya pilihan—untuk membiarkan anaknya menikmati hiburan yang dewasa. Di lain pihak, Chicha sama Adi udah punya anak seumuran keponakan gue. Joshua udah berjakun biar teteup medok, sementara Sherina sekarang udah masuk pengawasan Neng Sarah sama Mpok Jane! Maklum, ABG, udah mulai salah kostum. Bocah sekarang emang nggak punya penyanyi idola baru. Tina Toon? Oh plisss ... Walau gue sangat mengagumi kelenturan bocah gembil ini, tapi yaaaa ...lagunya yang ngetop apaan sih? Biar nggak senyebelin Maissy ... tapi gayanya? Ampuuunnn ...
Dalam perjalanan ke Bonjol, gue terus disiksa oleh suara sengau Ariel selama Faiqal dan Aydin masih melek. Gue cuma bisa terbebas dari kemonotonan lagu-lagu Peter Pan kalo bocah-bocah itu udah tidur. Kalo nggak, kaset itu terus diputar dan nggak ada yang bisa matiin karena risikonya adalah amukan Faiqal dan Aydin. Dan nggak ada orang waras yang mau ambil risiko keponakan gue itu ngamuk menjerit dan memukul di dalam mobil yang penuh barang dalam perjalanan melelahkan selama hampir 40 jam ke kampung halaman.
Dan sekitar pukul 15.30 esok harinya, Selasa, ketika keponakan-keponakan gue asyik nyanyiin lagu-lagunya Peter Pan untuk yang entah untuk ke berapa kali, gue sibuk mengemudikan mobil melintasi daerah persawangan Sungai Lilin, Sumatra Selatan, melewati lubang-lubang besar dan kecil jalan yang seperti ranjau bikin gue harus zig zag melewati jalan lintas timur Sumatra yang turun naik seperti roller coaster dan bikin nyetir jadi penuh tantangan.
Di tengah keriwehan itu semua, mendadak, ketika gue menginjak rem untuk mengurangi kecepatan di jalan turunan, rem itu nggak berfungsi, nggak ada tekanan apa-apa. Sementara mobil gue terus melaju kencang tak terhentikan. Gue coba seimbangkan kecepatan mobil dengan menginjak kopling setengah dan membanting setir ke kiri dan kanan menghindari lubang-lubang jalanan yang menghadang. Dengan kecepatan tinggi mobil gue kemudian naik mendaki jalan dan dari arah depan sebuah truk melaju kencang menuruni jalan. Gue banting setir ke pinggir jalan yang tak beraspal, sambil berteriak ke abang ipar gue yang tidur di bangku belakang:
“Bang! Remnya blong!”
Subscribe to:
Posts (Atom)