Monday, November 14, 2005

CARITO MUDIAK KADUO Orang Jawa di Sumatra


Mobil gue arahkan ke bahu jalan yang nggak beraspal dan gue berusaha terus mempertahankan posisi hingga kecepatan semakin melambat. Untungnya jalanan agak mendatar dan ketika kecepatannya udah nggak terlalu tinggi gue menarik rem tangan sehingga mobil lebih cepat berhenti. Lega. Nggak ada apa-apa dan di jok belakang keponakan gue teteup jejeritan nggak karuan bareng Ariel.

Gue dan abang ipar gue keluar mobil untuk memeriksa mesin. Errr ... dalam hal ini tentu abang ipar gue yang lebih berkompeten ya. Dan ternyata oh ternyata, puli kruk as depannya patah (satu benda yang gue baru tahu nama dan keberadaannya) sehingga tali kipas lepas. Kami coba menghentikan kendaraan untuk meminta bantuan, baru setelah beberapa lewat nyuekin, sebuah truk berhenti. Gue minta tolong diantarkan ke pos polisi pengaman jalur mudik terdekat sementara abang ipar gue jaga mobil beserta isinya.

Untung pos tersebut nggak jauh, hanya beberapa ratus meter. Gue ceritain masalah ke petugas yang ada dan kami pun balik ke TKP diantar salah seorang warga yang kebetulan memiliki mobil. Sayang, dia nggak bisa membantu lebih lanjut, terutama untuk menarik mobil abang ipar gue ke pos tersebut karena ada urusan lain. Begitu gue dan dua orang petugas sampai di tempat mobil yang rusak, abang ipar gue pun ambil keputusan untuk menyuruh gue membeli onderdil yang dibutuhkan di kota terdekat, Betung, yang terletak kira-kira 20 km dari tempat mobil gue rusak. Sementara itu, polisi dan abang ipar gue cari jalan buat menarik mobil ke pos polisi.

Gue menghentikan sebuah bus mini antarkota yang melintas. Begitu masuk, gue disambut oleh bebauan tujuh rupa mulai dari minyak angin sinyongnyong, keringat, dan bebauan yang gue nggak mampu tebak asalnya dari berbagai jenis karung dan barang yang bergeletakan di lantai bus. Selain smell effect, sound effect di dalam bus itu juga cukup dahsyat. Mulai dari ibu-ibu yang setiap lima menit muntah, suara bayi menangis, dan mesin mobil yang memekakkan telinga. Lima belas menit perjalanan terasa lima belas jam penuh siksaan buat gue. Gue ngerasa lega ketika akhirnya bus berhenti di sebuah restoran. Sialnya, gue beom sampai kota Betung. Gue terpaksa cari cara lain pergi ke kota.

Untung, hanya lima puluh meter dari restoran gue melihat kantor polisi dan gue datengin dengan harapan ada yang bisa nganter gue ke Betung. Seorang banpol menghampiri gue dan mengatakan bahwa cara termudah ke kota adalah dengan naik taksi. Errr ... taksi? Nggak salah, Mas? Ditemani banpol yang ternyata bernama Wawan yang berkampung halaman di Klaten, gue berdiri di pinggir jalan menunggu taksi lewat. Percuma ngimpi taksi Burung Biru dan teman-temannya lewat karena yang namanya taksi di daerah ini adalah angkot dengan pintu di belakang.

Lama, nggak ada satu taksi pun lewat. Akhirnya gue bertanya sama dia kalo-kalo ada orang yang memiliki motor untuk bisa mengantarkan gue. Ternyata, dia sendiri punya. Duh, Mas Wawan, kenapa nggak bilang dari tadi toh? Dia pun mengambil motornya dan gue membonceng di belakang. Di tengah perjalanan gerimis mengundang mulai menetes. Gue cuma ngebatin, nggak bisa lebih sial lagi ya? Tiba-tiba dia nawarin untuk menyewa taksi milik temannya yang langsung gue iyain sambil nggerundel dalam hati, mbok kalo nawarin jangan tanggung-tanggung gitu lho. Temannya Wawan bernama Siswono, kalo nggak salah, berasal dari Wonosobo.

Errr ... gue jadi mikir, kok orang-orang di sini berasal dari Jawir semua ya? Ini jalan lintas Sumatra dan bukan pantura kan? Gimana mungkin gue ketemu Jawir-jawir berlogat medok dan tetap bicara dengan bahasa ndewek kepada sesamanya. Heran deh. Tapi gue sadari bahwa gue untuk pertama kalinya baru berkenalan dengan para keturunan transmigran dari Jawa. Mereka adalah generasi kedua transmigran yang dimukimkan kembali di Sumatra. Wawan dan Wono bercerita bahwa mereka lahir dan besar di Sumatra dan belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Jawa.

Gue jadi teringat dengan transmigrasi, program penyebaran penduduk yang beken di zaman orde baru yang punya cita-cita mulia untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Udah lama gue nggak mendengar tentang program ini dan nggak yakin apakah program ini masih ada atau udah mati seperti orde yang menggiatkannya. Yang gue juga nggak tahu, adakah tinjauan tentang keberhasilan pelaksanaan program ini. Program yang sering dituduh sebagai upaya Jawanisasi—seperti penamaan kelurahan untuk semua wilayah administrasi desa di seluruh Indonesia—ini emang punya pendukung dan, tentunya, penentangnya. Tapi seperti semua penentang kemapanan orba, suara mereka tenggelam. Yang pasti program ini udah berjalan belasan tahun dan sering dipropagandakan lewat lagu mars yang dulu sering diputar di TVRI (ada yang ingat?).

Mereka, Wawan dan Wono, masing-masing bercerita tentang suka duka hidup di negeri orang yang umumnya adalah masalah-masalah klasik adaptasi sosial dan budaya. Dengan suara medok, mereka bercerita tentang perselisihan dengan penduduk setempat. Tentang senjata api ringan dan senapan yang banyak beredar dan dimiliki oleh penduduk asli dan pendatang. Tentang perselisihan kecil seperti orang mabuk di pesta yang bisa menyebabkan perkelahian dan baku tembak. Tentang ketidakberdayaan polisi dalam jumlah kecil untuk mengatasi itu semua. Tentang harapan untuk kembali melihat tanah Jawi, tanah asal mereka yang terasa jauh.

Di tengah keheningan dan kedamaian hutan karet dan kelapa sawit Sumatra Selatan, gue bergidik. Gue nggak sanggup membayangkan bahwa di daerah terpencil seperti ini anarki seperti itu bisa terjadi. Dari mana mereka bisa dapat senjata? Apa upaya untuk menjembatani perbedaan? Kalau orang satu suku aja bisa bunuh-bunuhan di Ambon dan Poso, apalagi orang yang berbeda suku dan budaya? Gue teringat beberapa tahun lalu ketika orang Madura dan Dayak berselisih senjata hingga memakan korban jiwa di Sambas, Kalimantan.

Seribu pertanyaan berkecamuk di benak gue. Akankah perseteruan antarsuku, antara penduduk asli dan pendatang, seperti di Sambas menyeruak di tanah Sumatra? Mengapa pembauran itu begitu sulit terjadi? Mengapa perbedaan itu begitu sulit untuk dihormati keberadaannya? Mengapa hidup berdampingan dengan orang yang berbeda dengan kita menjadi begitu sulitnya?

Gue nggak akan bisa merasa aman pulang kampung tahun-tahun mendatang kalo terjadi apa-apa di wilayah ini.

26 comments:

  1. Horee yg pertaaamaa... *swgl :p

    endingnya trus gmn bang?"colek2 biar nerusin ceritanya

    ReplyDelete
  2. gue masih nunggu part 3-nya :D

    btw, kalau pemerintah kita itu pinter, seharusnya orang2 Sosiologi dan Antropologi dikerahkan untuk jadi mediator di daerah2 yang rentan kasus atau sudah berkasus. Sayang mereka sibuk sendiri sehingga hal2 spt ini tidak terperhatikan.

    itu kenapa (so called) antropolog yang satu ini malah memutuskan untuk jadi ibu rumahtangga saja daripada kerja malah cuma jadi sekretaris padahal passionnya bukan di situ hehehehe

    ReplyDelete
  3. Anonymous1:32 PM

    eh, gagal deh jadi yang pertama lagi! Rio sih telat ngasi tauin!

    Oh, ternyata puli kruk as depannya toh yang ada gangguan. Emang serba salah tuh, bisa merambat ke tali kipas dsb :p (sok tau, seolah2 ngerti masalah teknis)

    Mau komen yang orang lain ga komen ah! Tentang logat.
    Suka mikir tentang ajaibnya logat.
    Dulu guru bahasa Inggrisku ga kalah medok ama Cici Tegal kalo ngobrol dalam bahasa Indonesia... tapi kalo udah bahasa Inggris, fluent banget ga bersisa sedikitpun 'ngapak'nya!

    Tentang 'api dalam sekam' dalam hubungan antar etnis di negeri kita, emang memiriskan. Moga ga kejadian macem-macem deh ya, Yo, biar kita ga tambah malu jadi orang Indonesia.

    ReplyDelete
  4. YAYA ampun deh komennya:P. Agak2 kurang nyambung ya:p.

    MEL Embeeeeeeeerrrr... Sebagai sesama FISIPers, gue tahu banget bahwa ilmu kita, sosial, sering kali dianggap sebelah mata dan nggak dipandang karena dianggap kurang punya dampak langsung terhadap pembangunan. Dan pembangunan selalu diartikan secara sempit sebagai sesuatu yang bersifat FISIK. Kalo dua puluh tahun kemudian kita menuai konflik sosial, baru kepikir yaaaa...

    Btw, gue nggak ngebayang lo bisa jadi sekretaris boo...:D

    ReplyDelete
  5. BANG RIZAL PDA!!! Ambisius banget:P. Dan sok montir banget:P. Coba cari di mana letak upli kruk as depan mobil abang:P? Nemu nggak???

    Hebat tuh guru bahasa Inggris, belom nemu yang sukses ngelepas logat aslinya kalo ngomong bahasa Inggris tuh.

    Kalo ngomongin api dalam sekam emang udah kadung ya, tapi ngelihat pemerintah sekarang kok kayaknya sama aja ya konsentrasinya. Masalah2 sosial teteup terpinggirkan.

    ReplyDelete
  6. bo, demen banget sih pindah2 genre, dari suspense koq jadi political thriller gini, walopun Sarwono dari Wonosobo ... ok deh ... jawara rhymes yah elo! :p

    speaking of logat, pas pulang dari singapore dan sempet jadi asisten dosen di suatu universitas negeri di suatu kota indonesia dulu, gue ngajar mata kuliah Cross-Culture ya bo, dan tentunya hari pertama gue disambut dengan tatapan mata bengong dari murid-murid yang masih muda dan mudi, secara logat inggris gue tentunya sangat dipengaruhi oleh banyaknya nasi lemak, laksa, chicken rice etc. yang masuk ke tubuh ndut gue (waktu itu!), heheheheh ...

    ReplyDelete
  7. VAL ih bebas dong kalo gue mau ambil angle seenak udel gue:P. Pengen aja:D.Dan secara emang asalnya dari Wonosobo, dan namanya berakhiran -no, bisa bilang apa gue:D.

    kayak apa sih logat lo waktu itu? kok sekarang dah ilang:P?

    ReplyDelete
  8. men-transmigrasi-kan orang itu nggak mudah...meskipun bedol desa,satu desa pindah, selain adaptasi dg penduduk lokal, juga lahan transmigrasi itu jarang yg bersahabat, kadang2 lahannya itu masih berupa hutan yg baru ditebang. atau baru dibakar. butuh berbulan-bulan bahkan mungkin tahun utk bisa ditanami.

    makanya, banyak yang balik lagi kekampungnya. apalagi kalo mereka transmigrasi krn kepaksa, misalnya krn kampungnya terlanda lahar krn letusan gunung. ketika aktifitas gunungnya udah reda, wajar mereka balik lagi.

    hanya yang emang bermental baja aja yang bisa sukses di "tanah harapan" itu.
    jaman orba dulu, ada ya acara tv kalo nggak salah "dari desa ke desa", yang kadang mengulas sukses para kaum transmigran. nggak tau ini bener atau nggak, jaman orba gitu loh :P

    ReplyDelete
  9. Anonymous2:56 PM

    kirain ini sekuel suka jawa II :D

    btw, lo sendiri harusnya liat sebenernya nggak transmigrasi aja yang bisa bikin konflik buruk antar penduduk, tapi sebenernya urbanisasi juga dampaknya nggak kalah buruk seperti layaknya gue ama elo sering cekcok secara gue kaum urban
    hihihihi


    truereligion

    ReplyDelete
  10. MBAK RIA, bener banget. Gara2 kemaren jadi inget pelajaran geografi tentang program transmigrasi bedol desa buat pembangunan waduk Kedung Ombo ke Sitiung, kalo nggak salah. Setiap pulang ke kampung, aku selalu lewatin daerah Sitiung, Jambi, at least plangnya.

    Dari desa ke desa itu kalo nggak salah bukan cuma untuk transmigran, tapi klompnecapir (kelompok pendengar dan bicara) dari berbagai desa di seluruh Indonesia. Wah, pakabar ya klompencapir2 itu? Masih ada nggak sih.

    ReplyDelete
  11. TRUE jangan suka geer yaaaa... Bangga amat sih baru jadi kaum urban berapa tahun, heran:P. Udah ngomong masih medhok juga deh, wekekek...

    ReplyDelete
  12. Anonymous3:25 PM

    klompencapir = kelompok pendengar, pembaca dan pirsawan

    btw, gue udah nggak medok lagi secara sering dikira orang bandung dan jakarta tentunya (gue juga gak bangga :D)
    heran ya, lo orang kota tapi untuk urusan style lo masih harus butuh bantuan dan dibenahi hihihi...

    truereligion

    ReplyDelete
  13. Anonymous3:43 PM

    ....

    Kayaknya posting terkait mudik tahun ini udah ga diselingi puisi-puisi rindu yang agak2 najess kayak taun lalu yah..? :D :P

    ReplyDelete
  14. TRUE yayaya... secara udah 47 dan mantan member, gak heran kalo lebih hafal singkatan klompencapir. Maca cih? Yang nyangka pasti orang Tegal ato Brebes deh:P. Bantuan apa ya:P?

    BASKIN hare geneh:? Tampar ya:P.

    ReplyDelete
  15. Anonymous4:45 PM

    protes!!!
    beginning dan ending cerita gak nyambung!!

    kembalikan uang kami.. hahahaha

    ReplyDelete
  16. Anonymous1:18 AM

    Baca postingan yang ini serasa sedang menikmati film PETUALANGAN SHERINA. :P Hanya saja minus nyanyian dan tari-tarian.

    Tapi gak tau juga ya, mungkin nyanyian kalbu barangkali? :D

    btw, IMHO, orang wilayah Sumatera memang bersifat lebih tertutup.

    ReplyDelete
  17. Anonymous6:44 AM

    rio,..onde mandeee...caritonya basambuang lagi? hwehehehe..au deh tuh bahasanya..bener apa ngga :D sotoyy deh dakuuww..hihihi..oche..oche..ditungguu...*ngubah posisi duduk* :P

    ReplyDelete
  18. Uhhhh...syukur deh Yo gak smpe terjadi yg lebih parah lagi sama rombongan mudikmu. Duh gmana khawatirnya gw secara ada most wanted blogger yg nyetir disitu..*awas mas kepala mas*...hehe..
    Btw,agree ma nauval postingan lo kali ini agak2 bermuatan politis budaya deh. Jadi ingat kul psiko lintas budaya (anak HI dapet juga gak ?). Teorinya sih udah lupa, nurut gw sih gimana kita membawa diri beradaptasi dan selalu open mind dgn lingkungan baru, penting bgt utk bisa hidup dlm budaya sosial yg berbeda sama asal kita. Cuman rasanya heterogenitas dan primordialisme di negri kita ini msh sangat kuat kali ya..so biar udh sejak SD dlm pelajaran PMP udh dibilang utk tetep bersatu meskipun berbeda2, ampe skrg kondisi disintegrasi msh jadi momok tiap kita pergi ke daerah bukan ?? (duhh...comment buat postingan lo jadi serius nih Yo) :)

    ReplyDelete
  19. ROM bebas dong, ini blog2 gue:p. Lagian kan gue cuma jadi observer aja:P.

    PENG haha... masa sih orang Sumatra lebih tertutup? Jawir kaleee.

    ReplyDelete
  20. MOENK haha... gitu deh:D. Sabar ya;).

    APEY haha... tengkyu yaaaa... untungnya gue sembalap yaaaaa...:D kuliah2 sosio dan antrop mah jelas pilihan buat anak HI. Gue nggak ambil. Heterogenitas is inevitable, tapi namanya program yang didorong dari atas, mestinya pendekatannya bisa lebih holistik, jangan untuk ngatasi masalah kependudukan yang ada bikin masalah kependudukan baru;). *gaya gue udah kayak dosen sosio gue, Mas Paulus*

    ReplyDelete
  21. Anonymous2:28 PM

    bo...gw rada curigesyen kalo ada sesuatu yang lu sembunyiin dari cerita ini... ndak niat mempublikasikan hah? *wink wink*

    ReplyDelete
  22. Anonymous4:09 PM

    Rio, lam kenal yaaa... ternyata orang Minang yaa... :) sama dong tp gw dari Bukittinggi dan seumur² belum pernah ke Bonjol :P padahal gw dari lahir sampe tamat SMA di Padang..

    Mudah²an di Sumatera ngga sampe ya kejadian perang saudara spt di Sambas dulu.. amit² deh jangan sampe *knock the wood*

    Trus gimana nih cerita mudiknya.. ditunggu sambungannya :D

    ReplyDelete
  23. *duduk anteng nunggu bagian ketiga sambil menahan diri gak ngerumpiin kecurigesyenan yg sama ma Noldesh*

    ReplyDelete
  24. NOLDIE NANA

    PDA!!! Gue nggak nyimpen apa2an, sok curigesyen aja:P. Huh!

    ReplyDelete
  25. ERFI haha... kan deket dan ada museum dan monumen ekuator:D.

    Amin, emang amit banget deh kalo Sumatra ikut2an rusuh. Tapi yang gue nggak ngerti, pemerintah tuh nyadar nggak sih ada bibit ricuh di sana?

    ReplyDelete
  26. Anonymous6:43 AM

    Wonderful and informative web site.I used information from that site its great.
    » » »

    ReplyDelete