Zaman sekarang semakin banyak orang yang memberi nama anaknya dengan unsur keagamaan yang kuat, terutama di kalangan umat Islam. Tujuannya jelas agar penyandang nama itu tumbuh seperti namanya. Nama semua keponakan gue mengandung arti dan makna yang indah, serta itu tadi, Islami. Faiqal Ikram atau Dhanya Salsabila, misalnya. Harapannya tentu jadi hmm.. apa ya arti nama keponakan-keponakan gue ini. Lupa gue. Padahal, gue selalu nyumbang nama buat semua nama keponakan, hehe... secara kakak dan adek gue itu emang sangat percaya sama kecanggihan selera gue, hihi...
Orang Jawa setahu gue juga punya kebiasaan menciptakan nama yang bermakna. Coba kita teliti nama Agus Haryo Purnomo. Agus itu kan bagus, Haryo itu nama laki-laki, dan Purnomo, tentunya bulan purnama. Jadi Gusye diharapkan untuk jadi anak laki-laki yang tampan seperti bulan purnama. Walaupun hasilnya adalah muka bulat dan hitam seperti gerhana bulan purnama tapi kan tetap ngganteng ya? Atau satu lagi, Prabowo Sastrodipuro yang artinya orang yang berwibawa dan bertutur kata halus. Nggak heran kan kalo bapak yang satu ini sukses jadi seorang playboyo? Merayu hati banyak wanita, yah, begitulah kesaksian teman-temannya, kalo baca blognya.
Sementara nama gue dan adik-kakak nggak ada yang bermakna indah, apalagi Islami. Nama gue termasuk golongan nama kebarat-baratan yang juga gemar dipake sama urang awak. Hasilnya, antara lain Rinaldi, Hugo, Welly, Ferdinand, Laura, dan Lidya. Nama gue itu diberikan oleh tante gue, Ibu Meinar, dari nama pemain bola Spanyol: Rinaldo. Kalau dia berharap gue gede jadi pemain sepak bola, maaf Ibu, saya gagal. Gue nggak pernah becus olahraga, termasuk sepak bola.
Selain gemar pake nama-nama Islami atau kebarat-baratan, orang Minang juga paling gemar pake akhiran tertentu, seperti –zal untuk cowok atau -niar untuk cewek. Dan hasilnya adalah nama para oom gue (Afrizal, Syafrizal, Herizal, dan Inrizal) dan tante (Desmaniar, Yulniar, dan Imaniar). Kadang yang bikin gue putus asa adalah sense mereka waktu ngasih akhiran itu. Seenaknya aja!
Ada lagi orang Minang yang terlalu tergila-gila sama nama Jawa. Anggut atau kakek gue di Bonjol termasuk salah satunya. Alhasil nama anak-anaknya adalah Maryono, Sri Yuningsih, dan Sri Ardieti. Sumpah, gue nggak ngerti gimana kakek gue bisa punya ilham ngasih nama anak-anaknya kayak gitu secara dia seumur hidupnya tinggal di kampung gitu. Kalo nggak kenal mereka, gue pasti sangka mereka transmigran dari Tulung Agung yang terdampar di Bonjol. Yang bikin miris adalah ketika nama-nama itu bersimbiosis dengan sebutan kekerabatan Minang, maka gue pun memanggil mereka dengan Pak Etek Oyon (Maryono), Etek Neng (Sri Yuningsih), dan Etek Et (Sri Ardieti). Nggak bangget deh!
Orang Minang juga punya kebiasaan menyebut nama orang dengan singkatan suku kata pertama nama orang itu—paling banyak dua suku kata—dan ditambahkan dengan si. Tapi ini berlaku buat orang yang lebih tua memanggil yang lebih muda. Maka, jadilah panggilan si Et, si Dul, si Yen, si Mis, atau si Des. Tapi, nggak ada satu namapun yang akan membekas di ingatan gue seperti nama salah seorang kerabat gue, si Jon.
Si Jon ini baru lulus STM dan datang ke Jakarta buat cari kerjaan. Dari pertama kali gue dikenalin, yang gue tahu namanya adalah si Jon. Si Jon ini anaknya—maaf ya Jon—pendek, item dekil, rambut cepak dan kusam, pokoknya—aduh sekali lagi maaf ya Jon—jelek. Si Jon ini hebat, gue kagum sama dia. Biar dari STM di kampung sana, dia bisa diterima bekerja di bengkel Auto2000, not bad lah buat anak kampung yang bapaknya jualan sate di pasar. Dan hebatnya lagi, ada satu hal yang juga bikin dia jadi seperti Mas Wisa yang ahli surga, dia jago ngaji. Karena keindahan suara dan lafalnya, dia udah biasa ditanggap buat jadi qari di berbagai acara. Dan, satu hari, gue akan berkesempatan untuk mendengarkan dia mengaji di salah satu acara pernikahan kerabat di daerah Tambun sana.
Seperti biasa, suatu acara ijab kabul selalu diawali dengan lantunan ayat suci Al Quran dengan surat favorit, Ar Rum ayat 21-22 (bener nggak Bunda, Isna?). Demikian juga di hari yang bersejarah itu, hari ketika gue untuk pertama kalinya mengetahui nama asli dari anak kampung kerabat gue dari nyokap lulusan STM yang jelek tapi hidup dan jago ngaji itu.
Setelah acara dibuka dengan basa-basi dari pembawa acara, tibalah saatnya Si Jon untuk show. Pembawa acara berkata dengan takzim, “Sebelum kita ikuti acara inti dalam upacara pernikahan ini, yaitu ijab kabul, marilah kita tundukkan kepala kita, kita sucikan hati kita, dan kita dengarkan lantunan ayat suci Al Quran, Surat Ar Rum ayat 21-22 yang akan disampaikan oleh adik kita, ...”
Drum rolls, please.
“JOHN TRAVOLTA!”
Jantung gue berhenti berdetak. Mata gue melotot. Kepala gue berkunang-kunang. Sebentar lagi gue tahu gue nggak akan sanggup menahan tawa yang udah ada di ujung kerongkongan gue itu. Sambil ngakak keras-keras—buat yang pernah dengar gue ketawa ngakak mungkin bisa memberi kesaksian betapa dahsyatnya tawa gue itu—gue pun permisi keluar ruangan karena gue nggak pengen mengganggu kekhidmatan acara. Semua mata memandang gue dengan penuh kejengkelan dan nyokap gue pun mencubit tangan gue waktu gue hendak bangun dari duduk.
Gue nggak habis pikir dari mana bapak si Jon dapet ide ngasih nama anaknya? Apa waktu dia lagi beli gerobak sate di Padang dan ngelewatin bioskop Raya terus dia ngelihat poster John Travolta dengan jas putih dan jari menunjuk ke atas dan berpikir, “ndek anak awak beko lahir laki-laki, ka awak agiah namo sarupo jo bintang pelem tuh. Ndek beko inyo tumbuah ka jadi urang nan rancak sarupo laki tu.”
Di luar ruangan, air mata gue menetes dan tawa gue nggak bisa berhenti.
Old posting and comments
Thursday, October 21, 2004
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
saya minta ijin untuk mencomot artikel yg lucu ini :-)
ReplyDeletesaya muat di sini.
terima kasih
hahahahahahahaah.....
ReplyDeleteAsli ketika namanya disebutin, gw ngakakakkk habis, sumpah!!!
ReplyDeletemohon izin comot artikelnya. menggelitik dan menarik untuk didiskusikan.. :)
ReplyDeleteMakasih. Didiskusikan di mana? :D
ReplyDelete