Wednesday, April 13, 2005

Tambal Ban Kang Maman (Bagian Satu)

Hari itu hari Jumat kedua setelah tahun baru beberapa tahun silam, gue nggak masuk kantor dengan alasan sakit flu. Alasan sebenarnya sih, lagi ingin long weekend ke Bandung, main dan temu kangen dengan beberapa teman dekat di sana. Udah lama nggak Tour de FO dan makan-makan di berbagai café Bandung yang rasa makanannya enak, suasananya asyik buat ngobrol, dan harganya, man, 3M, murah meriah mun*&^.

Jam setengah delapanan, gue berangkat sendiri dari Jakarta. Teman-teman gue yang lain baru bisa berangkat hari Sabtunya, naik kereta. Gue sengaja ambil jalur puncak, soalnya gue berencana untuk berhenti dan ngupi sambil makan poffertjes di Puncak Pass hotel yang ueenaaak tenan itu. Dan hmm … paduan udara dingin malam di puncak memang menambah kelezatan poffertjes. Gula halus yang meleleh di atas bulatan-bulatan terigu-telur-butter itu bikin gue ngabisin dua porsi sekaligus, plus dua cangkir kopi.

Jam setengah sepuluh. Jalan menuju Bandung nggak terlalu ramai, bahkan selepas Cipanas boleh dibilang nggak banyak mobil yang lewat. Mobil gue praktis sendirian di tengah jalan. Gue nyetir lumayan ngebut. Satu hal yang gue suka kalau nyetir di luar kota dan malam hari, jalan raya terasa lengang dan kita bisa jadi penguasanya.

Gue ditemenin suaranya John Mayer, "Your body is a wonderland …" Gue ikut nyanyi, keras-keras. "Your body is a wonderland …"

Tiba-tiba hape gue bunyi, "Yo, lo di mana nih?" suara errr... sebut aja, Ana.

"Baru selesai ngopi plus poffertjes-an di Puncak Pass."

"Aduh, enaknya. Tapi, gila ya lo, nggak nyadar perut lo yang dah mulai bunting begitu. Makan poffertjes tengah malam begini."

"Cerewet, ah! Nggak bisa lihat orang senang, ya."

"Hehe … segitu juteknya. By the way, sayang, besok jangan lupa jemput gua sama Lita di stasiun ya?"

"Huuuu … maunya. Jam berapa?"

"Gua naik kereta Parahyangan pertama, jam setengah enaman, jadi sampai sekitar setengah sembilanan."

"Aduh, pagi banget sih! Gua masih mimpi jam segitu!"

"Pemalas banget sih."

Sebelum sempat membalas komentar Ana, gue lihat dua sosok manusia sedang menyeberang jalan dan tepat berada di tengah-tengah jalan raya. Sementara, saat itu mobil gue sedang melaju dengan kecepatan seratus kilometer per jam. Hape gue lempar ke jok depan dan gue banting setir ke kanan untuk menghindari tabrakan dengan kedua orang itu.

Berhasil. Nggak ada bunyi dan benturan. Aduh, lega rasanya, gue berhasil menghindari tabrakan. Gue pinggirin mobil dan keluar. Dari jarak sekitar lima puluh meter dari tempat gue berdiri, kedua sosok itu nampak masih berada di tengah jalan. Jantung gue berdegup cepat, aduh, jangan-jangan gue yang salah. Jangan-jangan mereka tertabrak atau seenggaknya keserempet mobil gue dan sekarang terkapar luka di tengah jalan. Rasanya nggak … tapi dalam waktu yang hanya beberapa detik itu segalanya dapat terjadi dan gue sungguh nggak yakin. Dengan bergegas gue berlari menghampiri mereka.

"Kalian nggak apa-apa kan?"

Ternyata keduanya perempuan. Seorang perempuan tua terduduk di atas aspal sambil memegang kakinya dan di sampingnya seorang remaja perempuan jongkok sambil memegang bahu perempuan tua itu. Mungkin ibunya, mungkin juga neneknya.

"Maaf, Bu, Dek. Saya tadi nggak melihat, tahu-tahu Ibu dan adik ini sudah ada di hadapan saya."

Keduanya hanya diam, sementara si remaja berusaha membantu si ibu tua untuk bangun. Gue yang dari tadi hanya berdiri melongo mencoba membantu dan memegang tangan si ibu. Ia pun nyerocos dalam bahasa Sunda yang nggak gue mengerti sepatah katapun.

"Terima kasih, Kang. Kami nggak apa-apa. Cuman nenek saya kelihatannya terkilir kakinya waktu lompat buat ngindarin mobil Akang."

Untung saja si remaja perempuan itu bisa bahasa Indonesia, walaupun logat Sundanya sangat kental.

"Maaf, Dek, Bu. Saya sungguh-sungguh nggak lihat. Tapi, Ibu dan adik ini benar nggak apa-apa? Kalau nggak, kita ke rumah sakit saja, biar kaki Ibu diperiksa."

"Ah, nuhun, Kang. Nggak apa-apa. Diurut sebentar juga baik."

Gue mencoba melihat kaki si ibu dengan hanya bantuan cahaya bulan, dan kelihatannya, selain memar di pergelangan, memang nggak apa-apa. Nggak ada luka sedikitpun. Dan si Neng teh kelihatannya baik-baik juga. Duh, untung, gue lega banget.

"Ibu sama adik ini mau kemana malam-malam begini? Biar saya antarkan."

"Ah, nggak usah, Kang. Ngerepotin saja."

"Nggak ngerepotin kok. Lagian, saya nggak mungkin membiarkan Ibu dan adek jalan berdua malam-malam begini."

Tanpa menunggu bantahan mereka lagi, gue membimbing si ibu tua ke arah mobil gue. Dengan jalan yang tertatih-tatih, dia pasrah dengan sentakan tangan gue yang menuntunnya. Sambil berjalan, ia terus berbicara pada cucunya. Dari caranya memanggil, gue bisa menebak nama cucunya, Neneng (standar banget nggak sih buat orang Sunda?).

"Akang teh mau kemana? Nanti kita beda arah, biar kami jalan saja. Akang juga kelihatannya buru-buru."

Nampaknya si nenek menyuruh si Neneng untuk menolak tawaranku, tetap dengan alasan nggak ingin merepotkan.

"Saya mau ke Bandung, Neng, dan saya nggak terburu-buru kok. Saya punya banyak waktu. Sudahlah, Neng, bilang sama neneknya, saya ikhlas kok," kata gue berusaha akrab.

Sambil membukakan pintu belakang dan menuntun si ibu tua masuk ke dalam mobil, Neneng berbicara menjelaskan sesuatu dalam bahasa Sunda kepadanya. Gue berjalan memutari mobil dan duduk di jok depan. Mesin mobil gue nyalakan dan, kali ini, gue nggak lagi mimpi jadi Schumacher yang sedang berlomba di jalan-jalan berbukit kota Monaco. Mobil gue jalankan seperti delman di sepanjang Jalan Asia Afrika, Senayan.

"Nanti kalau mau belok, bilang ya, Neng."

Gue nggak mendengar jawabannya. Gue nggak bisa melihat ke belakang karena gelap, tapi gue pikir ia pasti menganggukkan kepalanya. Setelah itu, hening. John Mayer nggak gue izinkan nyanyi. Hanya suara gumam mesin mobil dan suara nafas pendek-pendek si ibu tua yang terdengar.

Nggak lama kemudian, si Neneng meminta gue untuk berhenti. Tempat itu nampak gelap sekali. Nggak ada cahaya apa pun di sekitarnya. Cahaya bulan yang dari tadi menerangi malam sekarang tertutup awan. Gulita.

"Neng, yang mana rumahnya? Gelap sekali di sini, seperti nggak ada rumah."

"Oh, rumah kami jalan terus ke sana, Kang, masuk ke dalam lewat jalan setapak," jawabnya sambil menunjuk ke arah kiri jalan.

"Kalau begitu, biar saya belok dan antar sekalian, ya."

"Terima kasih, Kang. Rumah kami nggak jauh dan mobil nggak bisa masuk. Biar kami jalan saja."

"Tapi, ini gelap sekali, Neng. Nanti nenek kamu jatuh lagi."

"Ah, buat mata Akang yang orang kota sih memang gelap, buat kami mah biasa saja."

"Bawa senter ya," kata gue sambil membuka laci dashboard mencari senter.

Tapi Neneng menolak dan gue ingin protes lagi, tapi gue batalin. Terserahlah, mungkin si Neneng memang betul, mata mereka telah terbiasa dengan kegelapan dan penerangan ala kadarnya. Nggak seperti mata gue yang biasa dimanjain berbagai cahaya yang menyilaukan mata.

Gue pun turun dari mobil dan membukakan pintu belakang sambil membantu Neneng dan neneknya turun.

"Hati-hati ya, Neng."

"Terima kasih, Kang."

Kedua sosok itu menghilang dalam kegelapan malam. Awan yang nakal masih tetap memeluk bulan dan menghalangi cahayanya. Karena nggak ada lagi yang bisa gue lakukan, gue jalanin mobil. Sekitar seratus meter dari tempat mereka turun, tepat di belokan yang agak tajam, baru gue melihat cahaya lampu petromaks berpendar redup. Dan dengan bantuan cahaya rembulan yang berhasil melepaskan diri dari pelukan awan, gue bisa melihat satu-satunya tanda terdekat dengan rumah mereka, sebuah ban mobil bekas yang bertuliskan "Tambal Ban Kang Maman".

Gue terus melaju ke Bandung.

komen blogdrive!

No comments:

Post a Comment