Di Bandung, we had a great time. Makan, shopping, makan, clubbing, tidur, makan, shopping, makan, pokoknya hedon sepuasnya. Minggu sore, setelah waktu Maghrib, gue dan teman-teman gue pun harus pulang. Senin esok kami harus "back to reality", kerja, kerja, kerja.
Menjelang Cipanas, mendadak gue merasakan mobilku nggak stabil, rasanya ban mobil gue ada yang kurang angin. Gue menepikan mobil untuk mencek dan sialan, ban kanan belakang gue kempes. Untung ban gue tubless sehingga masih ada sedikit angin untuk dibawa jalan ke tambal ban terdekat.
Gue melihat ke sekeliling berharap kalau-kalau ada tukang tambal ban. Malas betul rasanya malam-malam begini harus mengganti ban. Thanks God, nggak jauh di depan, di sebelah kanan, gue ngelihat sebuah ban bekas terpancang di pinggir jalan. Gue seberangkan mobil dan berhenti tepat di samping ban bekas itu. Gue baca tulisan yang ada di ban muka sampingnya, "Tambal Ban Kang Maman".
"Ya ampun, ini kan tempat gua nurunin si ibu tua dan cucunya!" seru gue terkejut.
"Ada apa sih?" Ana dan Lita dengan kompak bertanya.
"Nanti gua ceritain deh," jawab gue sambil turun dari mobil.
Seorang laki-laki berusia tiga puluhan keluar dari dalam gubuk itu.
"Bisa tambal tubless nggak, Pak?" tanyaku.
Ia menganggukkan kepalanya dan gue pun menunjukkan ban yang kempes. Dengan sigap ia pun mengeluarkan peralatannya dan mulai bekerja membuka ban. Sementara, kedua teman perempuan gue pun keluar dari mobil.
"Yo, gua haus nih," rengek Ana. "Cari minum, yuk."
Gue bertanya pada Kang Maman—laki-laki itu ternyata memang bernama Maman—di mana ada warung. Dia menunjuk ke arah jalan yang tadi kami lewati. Warung itu nggak jauh lenggaknya dari tempat Kang Maman. Seorang ibu-ibu keluar untuk melayani kami. Gue memesan kopi, sementara Lita dan Ana memesan teh manis.
Sambil minum dan makan ubi rebus dan pisang goreng, guepun bercerita tentang kejadian Jumat malam itu kepada Ana dan Lita. Begitu selesai, dengan kompak mereka menyalahkan gue yang nggak mengantarkan kedua "korban" gue sampai di rumah. Kalau ada apa-apa bagaimana, kata mereka. Itu kan tanggung jawab gue juga. Protes gue bahwa mereka yang menolak tawaran gue, dan bukan gue yang nggak mau mengantarkan, disanggah keduanya dengan galak.
Kan lo bisa jalan menemani mereka, kata Lita, masa mereka menolak. Iya, ya, baru sekarang terpikir kenapa gue nggak mengantarkan mereka dengan berjalan kaki. Terus, kenapa lo nggak ngasih uang buat mereka berobat, Lita menyambung omelannya. Busyet, ini juga nggak kepikiran ... duh rese, gue diserang habis oleh dua perempuan ini.
Untungnya Ana mendadak ingin ke belakang sehingga persidangan sementara ditunda. Nggak terasa sudah setengah jam kami berada di warung, dan seharusnya Kang Maman udah selesai menambal ban mobil gue. Sebelum balik, gue juga diserang keinginan untuk buang air sehingga begitu Ana keluar, gue pun ganti masuk ke dalam rumah si ibu pemilik warung.
Isi rumah itu sederhana saja, ruang tamunya hanya terdiri dari beberapa kursi rotan yang sudah lusuh dan peyot karena entah berapa ratus kali harus menahan beban yang nggak sesuai dengan kemampuan mereka.
Setelah menuai hajat, gue pun keluar dan berjalan melewati ruang tamu lagi. Kali ini gue terkesiap dan mata gue terbelalak menatap ke arah dinding yang tadi gue punggungi ketika masuk.
Dinding itu hanyalah dinding batu bata biasa yang nggak disemen, namun bukan itu yang membuat gue nganga dan membatu. Dua buah foto dalam pigura terpaku di dinding adalah wajah si ibu tua dan cucunya, si Neneng!
Ya ampun, ternyata mereka tinggal di sini, pikir gue. Tapi, gue yakin sekali kalau gue nggak nurunin mereka di sini karena warung ini di pinggir jalan dan seharusnya ada cahaya lampu rumah yang menerangi kalau benar mereka turun di sini. Dan, malam itu nggak ada cahaya apa pun.
Gue berseru memanggil si ibu pemilik warung.
"Ada apa?" tanyanya.
Lita dan Ana yang mendengar suara gue ikut masuk.
"Yang digantung itu foto siapa, Bu?" tanya gue.
"Oh, itu teh foto ibu dan anak saya."
"Di mana mereka sekarang?"
Wajahnya nampak muram dan ia menghembuskan nafas dalam sekali sebelum akhirnya bercerita. Ibu dan anaknya telah meninggal dunia bulan puasa yang lalu. Tertabrak mobil di jalan; setengah kilometer setelah tikungan dekat tambal ban Kang Maman.
Cerita ibu pemilik warung seperti suara guntur menggelegar tepat di telinga gue. Badan gue lemas dan lutut gue bergetar dan rasanya nggak kuat menopang beban tubuh gue. Tanpa berkata apa-apa gue keluar dari rumah itu dan setengah berlari gue melangkahkan kaki ke arah tambal ban Kang Maman.
Ana dan Lita menyusul gue dan berusaha mengikuti irama langkah gue yang terlalu cepat dan panjang bagi mereka. Gue lewati mobil gue yang terparkir rapi dengan ban yang sudah ditambal dan terpasang rapi dan wajah Kang Maman yang keheranan karena gue terus saja berjalan melewatinya.
Setelah ngelewatin tikungan, nggak jauh berjalan, gue pun berhenti. Di depan gue sebuah pohon kamboja berdiri tegak dengan bunganya yang rimbun menandai sebuah jalan setapak. Perlahan gue masuk ke dalam. Di kiri-kanan tampak gundukan tanah dengan nisan di ujung-ujungnya. Beberapa sudah terbuat dari semen yang telah berlumut, namun sebagian masih tetap terbuat dari kayu.
Assalamu'alaikum, ya ahli kubur, bisik gue lirih. Seolah ada tangan gaib yang membimbing langkah gue, gue terus berjalan ke arah pojok kanan pemakaman. Dua puluh meter dari pohon kamboja di pinggir jalan tadi, gue berhenti. Di hadapan gue tampak dua buah gundukan tanah merah. Di kedua nisannya tertulis, Icih binti Ganda, Lahir 19 Maret 1948-Meninggal 30 Nopember 2001 dan Neneng binti Komar, Lahir 4 Agustus 1987-Meninggal 30 Nopember 2001.
40 hari yang lalu
"Terima kasih, Kang. Rumah kami nggak jauh dan mobil nggak bisa masuk. Biar kami jalan saja," gue terngiang suara si Neneng, Jumat malam itu. Bulu kuduk gue berdiri ….
Gue bukan orang yang percaya dengan hal-hal yang berbau gaib dan supranatural. Menurut gue, segala sesuatu itu ada penjelasan rasionalnya; dan kalau kita nggak bisa menemukan penjelasan yang logis terhadap suatu kejadian, bukan berarti penjelasan gaib atau supranatural adalah jawabannya.
Kejadian hari Jumat malam itu, menurut gue, penjelasan yang masuk akalnya adalah gue salah mengenali wajah kedua orang yang hampir gue tabrak itu. Mereka berdua adalah orang yang berbeda dan, wajar, kalau gue nggak hafal dengan wajah mereka—malam itu gelap. Atau, mungkin ada tambal ban lain dengan nama yang sama—Tambal Ban Kang Maman—di sepanjang jalan yang gue lalui malam itu dan gue jadikan patokan rumah mereka.
Tapi, sungguh ... gue udah nggak yakin lagi ...
komen blogdrive!
No comments:
Post a Comment