
Ada seorang cowok yang berdiri nggak jauh dari tempat gue bertanya,”tiketnya di-cancel ya, Mas?”
Gue yang lagi nggak konsen cuma ngangguk-ngangguk nggak jelas. Di gerai gue denger salah seorang petugas ngomong ke temannya, “...iya, masa sampe salah ngasih informasi dua kali.”
Hah? nggak salah denger nih, jangan-jangan Mas yang tadi nasibnya sama...
Selang beberapa waktu, Mbak MS dateng nyamperin gue. Dia bilang, “Pak, Bapak sudah saya daftarkan untuk penerbangan berikut sebagai cadangan...”
Cadangan? Nggak salah dengar? Begini ya, dari SD sampe SMA, gue nggak pernah masuk cadangan... tim olah raga. Pilihannya adalah gue masuk tim ato nggak sama sekali. Dan tentunya, secara gue sangat bodoh dalam berolah raga, boro-boro jadi cadangan, nggak pernah ada kali yang mau milih gue masuk tim! Hehe... jadi orang buangan kok bangga:D. Sekali-kalinya gue masuk tim olah raga adalah tim gerak jalan SMA. Yah, kalo itu bisa dibilang olah raga. Tapi kalo urusan masuk sekolah, secara sekolah gue negeri melulu, maaf ya *pongah*, gue selalu diterima tanpa lewat cadangan-cadangan segala. Lah sekarang, kok bisa-bisanya untuk terbang yang jadwalnya tinggak 45 menit lagi gue harus jadi cadangan? Kalo nggak berangkat gimana?
Mbak MS mastiin ke gue bahwa cadangan itu cuma istilah dan gue pasti berangkat. Lah kalo gitu kenapa nggak bilang aja gue pasti berangkat, nggak usah pake istilah cadangan, bikin stress aja. “Tapi,... [s78t! kenapa juga pake tapi-tapi segala?] ada biaya yang harus Bapak bayar.”
Yah ini orang benar-benar nekad, udah salah berani-beraninya minta gue yang nanggung akibat kesalahannya. Gue pun meledak.
“NGGAK! Ini kesalahan anda! Anda yang harus bertangggung jawab, bukan saya! Saya nggak akan bayar sepeser pun!”
Kali ini gue benar-benar nggak peduli untuk menahan kemarahan dan, akibatnya, suara gue yang TOA SDDS Dolby sound itu menggelegar dengan volume penuh! Mbak MS pun nggak berani berkata apa-apa lagi dan balik ke gerai menghadap Pak Raden yang gue yakin nggak perlu dijelasin udah tahu apa mau gue. Satu terminal juga dengar kali, hehe....
Nggak lama, dia nyamperin gue, dan ngomong tanpa berani menatap mata gue. “Pak, saya minta maaf, ini salah saya. Karena ini kesalahan saya, maka Bapak nggak perlu bayar apa-apa dan tetap berangkat jam 17.30 nanti. Cuma...”
Lah kok teteup ada tangkapan [baca: there’s a catch yaaa...].
“Saya minta tolong Bapak membantu saya menanggung biayanya. Maklum saya baru sebulan kerja di sini. Karena ini kesalahan saya, jadi saya yang harus membayarnya. Setengah-setengah aja.”
Gila yaaa... Ini orang nekad banget sih! Gue malah tambah jengkel ngedengar ada orang yang baru kerja sebulan tapi sok tahu dan nggak hati-hati! Dan ini perusahaan kok kebijakannya plintat-plintut ya. Sebentar begini, sebentar lagi begitu. Asli nggak bikin pelanggan ngerasa dihargain. Ampun deh.
Tapi ngelihat mukanya yang memelas, gue sedikit tersentuh. Sedikit aja ya bo:P. Gue pun bertanya berapa biayanya.
“450 ribu,” jawabnya.
Come again? 450 fu*&^ng thousands? Well, nehi babu-ji! Gue udah bayar tiket paling mahal buat berangkat ke Padang, satu juta lebih, dan sekarang gue harus nambah 225 ribu lagi? Nggak deh, makasih, gue batalin acara sentuh-sentuhannya. Gue masih terlalu murka untuk bisa merasa iba pada saat seperti ini. Lagian dari awal ini urusan prinsip pelayanan yang kacau, bukan duitnya.
Dengan dingin tapi err... bijak gue bersabda, “pelajaran ini emang mahal harganya.”
Dia pun menganggukkan kepala dan mengisyaratkan gue untuk memeriksa ke dalam langsung di gerai informasi AA. Sambil menunggu tiket gue diproses, dia menengok ke arah gue dan sekali lagi memohon, “jadi, Bapak benar-benar nggak bisa bantu saya?”
Yah, bebal nih orang. Gue malas berbijak-bijak ria lagi, dan menjawab dengan ketus, “Maaf, saya nggak mau dihukum untuk kesalahan yang nggak saya buat.”
Mbak MS pun nggak berani ngomong lagi.
Di pesawat, ternyata gue duduk sebelahan dengan mas-mas yang tadi nanya apa tiket gue dibatalin. Ternyata, dia punya cerita yang hampir sama dengan gue. Jadi, dia datang jam 3 kurang ke gerai 12 buat memeriksa ke dalam, tapi dia disuruh daftar di gerai 3. Udah antri lama di gerai 3, eh dia disuruh petugasnya ke gerai 12. Ternyata, memang dia harusnya memeriksa ke dalam di gerai 12. Cuma dalam proses ping-pong dan antri itu, pesawat udah berangkat. Sama kayak gue, dia juga diminta untuk membayar untuk dapat diikutsertakan dalam penerbangan berikut. Bedanya,... dia memilih untuk membayar 450 ribu supaya bisa berangkat.
Coba, rese kan Adam Air? Dua kali kesalahan dalam satu penerbangan di hari yang sama! Petugasnya itu pada di-training nggak sih? Lebih nggilaninya, masalah yang sama diselesaikan dengan cara yang berbeda. Hanya karena gue bersikeras aja, gue nggak bayar sepeser pun. Tapi kalo gue diam dan pasrah nggak mau ribut kayak Mas tadi, berarti gue harus membayar untuk kesalahan yang dibuat oleh AA. Gue bener-bener nggak ngerti sama perusahaan jasa seperti AA yang punya pola ngebiarin orang marah-marah dulu baru dikasih haknya.
Duh, Adam memang Nabi pertama ya... tapi Adam Air buat gue sih pilihan terakhir kalo mau terbang.