Tuesday, March 15, 2005

Tiara, mahkota yang hilang

Hari Jumat pagi, 14 Maret 2003, gue sedang bekerja waktu hape gue berbunyi. Ternyata nyokap gue nelepon dan bilang bahwa adek ipar gue, Ratna, udah melahirkan anak pertamanya lewat operasi caesar. Perempuan. Gue langsung minta izin ke bos gue di Utan Kayu – waktu itu gue masih kerja di salah satu penerbit di lingkungan Tempo Media – untuk pergi menjenguk adek ipar dan keponakan baru gue di RS Hermina, Jatinegara.

Menjelang sampai di rumah sakit, gue telepon hape nyokap untuk ngecek dia ada di mana dan ternyata nyokap – dan adek gue, Rizky – sedang berada di kafetaria. Gue langsung ke sana nemuin adek dan nyokap gue. Tapi begitu gue hendak duduk sambil menyalami adek gue dan memberinya selamat, gue lihat mata adek dan nyokap gue merah dan bengkak. Something is wrong.

Nyokap gue pun menceritakan sebab mereka menangis. Keponakan gue ternyata lahir bermasalah. Setelah dokter gagal mengupayakan kelahirannya dengan cara normal, hingga akhirnya mengambil keputusan operasi, bayi yang dilahirkan ternyata telah menelan banyak air ketuban sehingga paru-parunya dipenuhi air dan mengalami kesulitan bernafas. Bayi yang baru lahir itu harus dirawat di ruang perawatan intensif. Dan dokter bilang, peluang hidupnya kecil.

"Kamu harus tabah, Nak," kata nyokap seraya membelai punggung adek gue yang menelungkupkan kepalanya di atas meja. "Kamu harus kuat demi Ratna."

"Tapi Iky nggak kuat, Ma," jawab adek gue sambil sesenggukan. "Gimana cara Iky bilang ke Ratna?"

Gue cuma bisa memalingkan kepala ke arah jendela. Mengejapkan mata yang memanas. Duh, Tuhan, kenapa jadi begini? Harusnya air mata yang keluar hari ini adalah air mata kebahagiaan, bukan kesedihan.

Nggak lama, gue pun pergi meninggalkan nyokap dan adek gue untuk melihat keponakan baru gue. Ruang ICU terletak di lantai empat rumah sakit. Untuk memasukinya gue harus melepas sepatu dan mengenakan pakaian seragam berwarna hijau. Di dalam ruangan itu pun gue hanya bisa memandang keponakan gue yang baru lahir dari balik kaca. Bayi mungil itu terpenjara dalam sebuah kotak inkubator. Di ujungmya, terdapat papan bertuliskan: Bayi Ny. Ratna.

Dan keponakan gue itu tampak seperti tertidur. Such a sleeping beauty. Tapi hidung dan lengan kecilnya yang dicucuk jarum dan selang yang membelit tubuhnya yang rapuh dengan berbagai alat bantu dan mesin yang membantunya untuk tetap hidup. Infus dan dan entah botol-botol apa lagi bergelantungan di sisi inkubator seperti kelelawar mengintai di gelap malam.

Air mata gue menetes melihat keponakan gue yang baru lahir harus menerima azab yang begitu berat. Apa salahmu, Nak, hingga kau yang menjalani ini semua. Saat itu, ingin gue bertukar tempat menggantikannya, ditusuki dan dan dicucuki di sana-sini. Pemandangan itu terlalu memilukan sehingga gue hanya sanggup sebentar berada dalam ruangan itu dan keluar.

Gue turun ke kamar tempat adek ipar gue dirawat. Sebelum masuk, gue tarik nafas panjang dan gue pake topeng keceriaan yang semu. Di dalam kamar, Ratna dikelilingi oleh dua orang kakaknya yang menunggui adik bungsunya. Wajahnya kelihatan begitu bahagia.

"Yok, udah lihat anaknya?" tanya Ratna dengan bersemangat.

Gue mengangguk sambil menelan ludah dan mencoba tersenyum.

"Katanya cantik ya?" wajah Ratna semakin berbinar membicarakan anak yang belum lagi sempat dilihatnya. "Kulitnya putih kayak mama. Cuma katanya beratnya agak kurang sehingga harus dirawat di inkubator dulu. Ratna udah nggak sabar pengen gendong."

Gue mengangguk sambil bilang, "Iya, putih dan cantik."

"Namanya Tiara, Tiara Hanum. Bagus nggak, Yok?"

Gue hanya tersenyum sambil mengangguk, "Kamu istirahat aja dulu, Na."

Gue sungguh nggak sanggup membayangkan bagaimana caranya menyampaikan berita itu kepada Ratna. Rasanya seperti memberi tahu kepada seorang penerjun payung yang sedang terbang melayang bahwa ransel yang disandangnya kosong. Tak ada payung yang akan membawanya selamat mendarat di bumi. Ia akan terus terbang melayang dan gravitasi bumi akan menariknya keras dan menghempaskannya ke tanah. Luluh lantak.

Namun sore itu, ketika keadaan Tiara terus memburuk dan dokter sudah menyerahkan kesembuhannya kepada mukjizat Tuhan, sandiwara itu tak bisa lagi diteruskan, dan adek gue masuk ke dalam kamar sementara semua orang keluar untuk memberi kesempatan kepada sepasang kekasih dan suami-isteri, yang baru beberapa jam menjadi ayah dan ibu, berbagi duka yang tak terperi. Duka yang merampas kebahagiaan sesaat.

Dari luar kamar, raungan tangis Ratna yang pecah menusuk jantung kami semua yang mendengarnya. Tak ada suara yang lebih memilukan hati gue daripada jeritan adek ipar gue saat itu.

Di ruang ICU, nafas Tiara pun perlahan menghilang. Adek gue yang nggak beranjak dari sisi anaknya hanya mampu memandang nafas puterinya yang semakin lama semakin tersengal. "Ayah ikhlas, Nak," bisiknya. Dan dua puluh empat jam setelah dilahirkan, nafas Tiara tak lagi tersengal, jantungnya tak lagi berdenyut.

Selamat jalan, Tiara sayang. Pergilah ke Sang Pemberi Hidup. Tapi, jangan lupakan orang tuamu, terutama ibumu. Ibu yang begitu merindukan saat untuk menggendongmu, tapi Yang Maha Kuasa tak memperkenankannya. Ibu yang susu dan cintanya tak pernah kau kecap. Ibu yang tak pernah bisa melupakanmu dan terus dirundung duka berkepanjangan.

Datanglah kepadanya, Nak. Kepakkan sayapmu, malaikat kecil, dan hadirlah dalam mimpinya setiap malam. Bisikkan pada ibumu, "Jangan bersedih, Ibu. Aku mencintai Ibu, tapi Sang Pencipa lebih mencintaiku dan lebih berhak atas diriku. Ikhlaskan aku, Ibu. Aku akan jemput ibu kelak di Surga."

Sehingga ibumu bisa tersenyum lagi menyambut hari bahagia itu datang.

Click here to read the deepest condolence from friends and relatives during my stay in Blogdrive!

No comments:

Post a Comment