Monday, February 14, 2005
Peraturan nomor tiga: “KELUAR KAU, RIO!"
Beti menatap nanar ke arah anak buahnya satu per satu. Wajahnya geram dan kumisnya yang masai itu membuat wajahnya semakin garang. Sebenernya dia lebih cucok jadi preman di Pasar Senen sana dengan muka tempurnya itu daripada kepala editor sebuah penerbit. Semua diam nggak ada yang bicara.
Tiba-tiba keheningan sesaat itu pecah oleh gelegar suara dan tatapan matanya yang menusuk ke arah, ndilalah, gue. "Coba jawab Rio," kata Beti. "Sudah sampai mana kerjaan kau hari ini?"
Gue kaget mendengar pertanyaan yang dia ajukan dan dengan gelagapan gue jawab sejujurnya, "Nggak banyak beda dengan kemaren, Pak."
Mendengar jawaban polos gue, Beti tambah meradang. "Dan kau berani pergi padahal kerjaan kau belom selesai, Rio?! Kalau memang suka sekali kau mengurus MAYAT, kenapa kau tidak bekerja saja di krematorium Cilincing sana! Banyak mayat yang bisa kauurus! Bukan itu kerjaan kau di sini!"
What?! Mendadak gue ngerasain darah gue mendidih sampai ke ubun-ubun, dan nafas gue mulai tersengal-sengal pertanda gue berusaha menahan kegeraman gue, mata gue melotot persis banteng ngincer kain merah yang dilambaikan matador. Dan gue mengepalkan jari-jari tangan sambil menahan diri untuk nggak maju dan nonjok mulutnya yang (kayak) nggak makan sekolahan itu.
"Kalian semua," dia mengalihkan pandangannya ke arah semua anak buahnya yang kebanyakan berdiri sambil menundukkan kepala. "Apa kalian tidak sadar dengan tanggung jawab pekerjaan kalian? Kenapa kalian tak berangkat jam setengah satu setelah jam kantor selesai?" cerocos Beti lagi.
"Coba kau, Diana," sergahnya sambil mengganti korbannya dan membalikkan badannya ke arah teman editor junior lain yang ada di sebelah kirinya. "Kau kasih aku satu alasan kenapa kau pergi melayat padahal masih jam kantor!"
Diana menjawab dengan suara lirih, "karena rencananya jenazah akan dimakamkan setelah Dzhuhur, Pak. Jam 12."
Beti mendengus tak puas.
Diana pun melanjutkan, "dan karena menurut agama Islam, makin banyak yang datang melayat, makin ringan langkah mayat ke ku...."
Belum selesai Diana menjawab, Beti langsung menyergah, "Aaahh... tak usah kau berkhotbah segala! Mau jadi mubaligh, kau?!"
Anjrit! Gue asli tambah panas! Muka gue udah kayak udang rebus dan nafas gue udah makin susah diatur. Gue pengen ngelempar kursi ke mukanya!
"Coba kalian dengar ya. Bukan kalian saja yang sedih ibunya si Desi meninggal, aku juga tak kalah sedih. Malah aku ini lebih sedih daripada kalian semua," suara Beti melunak."Tapi aku tahu tanggung jawab kerjaan lebih penting."
Diana menunduk dan air matanya menetes. Teman-teman gue yang cewek rata-rata udah pada nangis. Tapi boro-boro Beti tersentuh, rupanya dia lagi merasakan kenikmatan luar biasa karena mabuk kekuasaan melihat anak buahnya yang ketakutan. Matanya berkeliling mencari sasaran lain.
Dan mengunci sasarannya ke arah gue. Lagi.
Pandangan Beti yang penuh kebencian gue balas dengan tatapan penuh kemarahan yang belum pernah gue rasain seumur hidup gue. Beti pun memuntahkan pelurunya ke arah gue dengan bilang, "Kalau kau, Rio. Apa alasan kau pergi melayat?"
Gue menarik nafas panjang sebelom menjawab tapi tetap nggak bisa menahan getaran suara gue. "Saya setuju dengan pendapat Diana, Pak. Karena Dzuhur nan..."
Beti nggak memberikan gue kesempatan untuk menyelesaikan kalimat karena dia langsung membentak gue sambil memukul meja dengan sekeras-kerasnya, "KEMARI KAU RIO!"
Gue pun berjalan maju sambil menatap matanya dengan penuh murka. Setengah jalan langkah gue terhenti ketika Beti melanjutkan kalimatnya.
"KALAU KAU TAK SUKA CARAKU, KELUAR KAU!" suara Beti menggelegar menusuk gendang telinga gue.
Kali ini kemarahan gue udah nggak bisa gue tahan lagi, gue pun membalas teriakannya dengan suara nggak kalah keras,inget gue lahir dengan built-in THX ya, gue balik membentak bos gue itu, "FINE! SAYA KELUAR DARI SINI!" *errr... maaf ya, kalo lagi emosi jiwa emang darah Londo Kumpeni gue langsung kepancing, jadi gitu deh, bahasanya nyampur, hihihi...*
Sambil menghentakkan kaki gue berbalik badan ke meja kerja gue. Dengan geram gue beresin semua barang-barang gue. Yang lain tetap berdiri dan diam dan gue udah nggak tahu apa yang terjadi kemudian. Di meja, gue pun ngeberesin barang-barang milik pribadi gue. Nggak lama kemudian mendadak datang Ibra, supervisor gue, coba ngebujukin gue—belakangan gue baru tahu kalo dia ternyata disuruh Beti.
"Rio, tenang dulu, jangan buru-buru ambil keputusan," katanya.
"Bukan saya yang ambil keputusan itu, Bang. Beti!" jawab gue nyolot.
"Aku tahu, tapi dia kan lagi marah, kau tahu dia lah. Sabar aja dulu."
"Sabar juga ada batasannya, Bang. Dan jadi bos, biar lagi marah sekalipun, juga mesti ada kontrolnya. Jangan pernah memecat orang kalo dia nggak bermaksud melakukan itu. Saya udah nggak punya hormat sama dia! Percuma juga kerja sama dia!"
"Jangan begitu, tenang dulu. Turunkan emosi kau dulu. Keluar lah kau cari angin, sana. Bantu aku, Yo."
Gue nggak tega. Gue kasihan sama Ibra yang mesti jadi tukang sapu sementara Beti yang buang sampah. Akhirnya gue pun ngalah, gue keluar ruangan dan menenangkan diri sambil ngobrol dengan beberapa teman editor yang lebih senior dari divisi lama yang nggak ikutan melayat. Gue juga ngobrol dengan kepala editornya. Semua menenangkan gue dan bilang bahwa sikap Beti udah di luar batas dan dia nggak berhak memecat gue.
Gue juga menghadap kepala SDM di ruang kantornya, dan seandainya hari itu bos gue ada, gue juga pasti bakal nemuin dia. Sayangnya dia sedang pergi ke Amerika Serikat. Sementara Kepala SDM gue menegaskan semua dukungan yang gue peroleh dari yang lain bahwa Beti udah keterlaluan dan dia nggak bisa mecat gue karena yang mengambil keputusan menerima gue bekerja adalah Bos, direktur dan pemilik penerbit tempat gue kerja. Dia juga minta kalo hari Senin gue tetap harus masuk bekerja seperti biasa. Sore itu Beti dia panggil.
Tapi ketika Senin gue masuk kerja seperti biasa, drama itu belum selesai.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment