Saturday, February 12, 2005

Peraturan nomor dua: bila bos salah, ingat peraturan pertama


AWAS LO YE: Tulisan berikut ini penuh berisi kata-kata mutiara sehingga yang belom cukup umur, plis ya, jangan baca! Buna, Adam, Fira, Oom jewer kamu kalo baca ya! Ntar Oom dibikin telor pindang sama ibu-ibu kamu kalo kamu ngebeoin kata-kata mutiara di sini. Tapi, errr... kalian belom pada bisa baca ya:D?

Hampir satu tahun berlalu. Gue udah nyelesein dua buku dan buku ketiga gue hampir kelar. Belum lagi buku-buku adaptasi dan terjemahan yang jadi tanggung jawab gue juga udah mulai tahap negosiasi sama para penerbit asing buat pembelian hak ciptanya. Gue nikmatin banget kerjaan baru gue. Selain itu, gue sebenernya dapetin kebebasan kerja yang sangat luas yang nggak dirasain temen-temen editor junior lain yang nanganin buku-buku yang berbeda. Gimana nggak, Beti nggak punya kemampuan buat ngacak-ngacak naskah yang gue bikin karena buku bahasa Inggris getoh. Supervisor gue, sebut Ibra, lebih hancur lagi bahasa Inggrisnya. Jadi praktis, gue lebih banyak diskusi sama Mr Konsultan, yang banyak corat-coret naskah gue. Beti juga nggak pede berhubungan sama penerbit-penerbit luar sehingga semua urusan diserahin ke gue. Gue sih cuman lapor aja kalo ada perkembangan-perkembangan.

Selebihnya, yang bisa Beti kerjain cuman ngasih masukan nggak penting kayak, "tak suka aku warna hijau itu Rio, ganti!" Atau, "fotonya besar kali, kecilkan lah!" Gue nurut dan diem aja. Tapi yang paling bikin jengkel ketika satu kali dia ngomong, "tak suka aku lay out kau ini! Ganti! Suruh setter kau bikin lay out baru!" Anjrit! Kenapa lo baru bilang nggak suka sekarang sih, Bet? Ini udah bab 5, monyong! Lah sebelumnya lo setuju sama lay out begini! Gr&^*&^%$!!! Asli, gue jutek setengah mati. Ini orang sinting ya?! Nggak ngargain usaha orang dan udah jelas ngegambarin betapa bodohnya dia yang nggak mampu ambil keputusan! Di mana-mana lay out udah jadi dulu baru dikerjain tuh buku! Gue juga nggak bakal nerusin bikin dummy buku dengan lay out ini kalo belom dapet approval dari lo! Kali ini gue nggak nurut, gue cuman ganti-ganti sedikit. Tapi dasar gak punya konsep, dia juga nggak ngomong apa-apa setelah itu.

Jadi, gue tahu dia frustrasi sama gue. Dia nggak bisa ngacak-ngacak kerjaan gue di luar hal-hal nggak penting kayak foto atau warna itu. Sementara pada dasarnya dia gemar menunjukkan bahwa dia berkuasa dengan cara-cara yang menyebalkan. Mari kita lihat cara dia menunjukkan kekuasaan dan ketidaksukaannya kepada naskah yang dia bisa pahami. Dengan kening berkerut dia membaca dan membalikkan halaman keras-keras sampai tiba-tiba, di tengah keheningan, dia akan langsung berteriak sambil membanting naskah yang sedang dia baca keras-keras ke lantai, "EDITAN APA INI!"

Dan tumpukan naskah itu bertebaran di lantai. Dengan angkuh dan wajah geram Beti bangkit dari singgasananya dan keluar ruangan. Kami semua cuma bisa terperangah dan terdiam. Teman gue, cewek, yang naskahnya dibanting cuma ngumpulin kertas-kertas itu sambil nangis.

Mo maraaaaaaaaaaaaahhh... Rasanya gue pengen tonjok bos gue itu! Kalo kita bikin salah, tunjukin yang bener kek! Lo pikir begini cara ngajarin anak buah yang bikin salah? Lagian, wajar bukan anak buah bikin salah karena itu sebabnya kita masih jadi anak buah! Karena kita masih perlu diajarin! Dan itu sebabnya lo jadi bos! Karena lo dianggap lebih tahu dan pengalaman, tolol! Kalo kita udah pinter dan nggak perlu diajarin lo lagi, ya udah kita aja yang jadi bos, ngapain lo? Makanya lo dibayar lebih mahal karena lo dikasih tanggung jawab ngajarin anak buah lo. Dasar manajer bego!

Susah emang, divisi gue adalah divisi baru yang lebih kecil daripada divisi lama tapi bikin buku yang berwarna dan beda dari divisi yang lama. Divisi ini dibuat karena bos besar pengen bikin buku yang lebih eksklusif tampilannya sementara brand lama udah punya image tersendiri. Dan Beti naik jadi kepala editor dengan nelikung banyak senior editor yang jauh lebih mumpuni cuma dengan satu alasan: dia pinter njilat dan, maaf, faktor sukuisme. Jadi bukan karena kompetensinya dia jadi bos. Dan ini akibatnya.

Tapi, seribu satu kejadian masih membuat gue bertahan bekerja di sana karena gue masih bisa menikmatinya. Hingga hari itu pun datang. Hari yang membuat gue nggak sanggup lagi menikmati bekerja di sana. Gue inget banget hari itu hari Sabtu karena peristiwa itu terjadi ketika kita semua habis senam erobik *Errr... Ipe, jangan ketawa lo , Nyong!* Big Boss gue dan istrinya, yang jadi bos percetakannya, suka banget erobik. Menurut dia, senam erobik itu olahraga murah meriah yang bagus buat para editor yang kerjaannya duduk melulu di meja dan kebanyakan jarang olah raga. Jadi tiap hari Sabtu jam setengah delapan pagi, seorang instruktur datang dan memimpin kita bererobik.

"Yak, satu, dua, tiga, hayo Pak, jangan malas! Angkat tangannya ke atas, Bu! Tariik nafaaas panjaaaaaaang... hembuskan! Sekali lagi! En wan, en tu, en tri! Putar badannya!"

Tiap Sabtu pagi gue harus mengikuti kewajiban yang menyiksa ini. Jangan salah, gue sebenernya suka erobik, tapi kalo dipaksa jam setengah delapan pagi sampe kantor cuma buat keringetan, walaupun di kantor ada kamar mandi yang biasa digunakan setiap habis berolah raga, errr... *oahemm...* Plis deh, gue bukan morning person dan udah gitu instrukturnya basi banget gayanya! Mending si Edo, instruktur erobik di Senayan yang suka gue ikutin sama Isna, Rio's angel *wink*, dulu sebelom dia menikah. Rasanya gue pengen bilang ke bos gue, "Err... kalau mau olah raga, gimana kalo Bapak maen golf aja gimana?"

Eniwei, kembali ke Sabtu naas itu. Pagi itu kita mendapat kabar bahwa ibu dari salah seorang kawan editor junior, Desi, meninggal dunia. Beti menghilang entah kemana seperti biasa dia lakukan setiap Sabtu selesai senam. Merokok ke luar kantor, biasanya. Di seluruh wilayah penerbit dan percetakan yang luas itu emang berlaku larangan merokok. Bos gue trauma karena percetakannya pernah terbakar. Tapi, semua juga tahu, Beti sering ngumpet-ngumpet merokok di ruang kantin. Masalahnya, Sabtu itu dia nggak ada di kantin dan di manapun. Kita nggak bisa minta izin untuk melayat. Hapenya juga nggak bisa dihubungi. Para editor di divisi lama sudah berangkat, sementara kita, yang notabene teman kerja satu bagian, masih ngejogrok di kantor nungguin izin dari bos yang entah menghilang kemana.

Akhirnya, kita ambil keputusan untuk berangkat tanpa izin karena hari sudah jam 11 sementara jenazah rencananya dimakamkan setelah Dzhuhur. Ndilalah, pas kita mau turun dan naik mobil gue, kebetulan gue lagi bawa mobil bokap dan secara kita nggak berani pinjem mobil kantor, mendadak Beti nongol entah dari mana dan langsung menyuruh kita semua untuk kembali ke ruangan kantor. Dalam ruangan dia mengambil posisi berdiri di ujung mejanya, sementara 12 editor junior anak buahnya berdiri mengitar seperti huruf U menghadap ke arah Beti. Gue berdiri pas di ujung berhadapan langsung dengan dia.

Dan, drama itu pun terjadi.

No comments:

Post a Comment