Monday, November 21, 2005

CARITO MUDIAK KAAMPEK Kalau orang Minang (lagi-lagi) kasih nama

Setelah tertunda di Betung, perjalanan gue ke kampung halaman nggak mengalami hambatan berarti. Memasuki wilayah Solok hujan mulai turun dan lepas dari Danau Singkarak, giliran kabut pecicilan turun menghalangi pandangan hingga ke Bukit Tinggi. Kabut terus keluyuran sampe Bonjol sehingga Abang ipar gue nyetir dengan pelan. Akhirnya kami sampe di Bonjol jam setengah sebelas malam. Bokap dan nyokap udah nungguin dengan cemas karena anak-cucunya lama nggak muncul-muncul. Malam itu malam takbiran, namun masjid yang terletak agak jauh membuat suara takbir tak terdengar. Setelah sejenak melepas rindu dan berbenah seperlunya, kami semua berusaha untuk segera tidur karena besok harus bangun pagi untuk shalat Idul Fitri.

Pagi harinya, gue terbangun sekitar jam 6 kurang. Sungguh suatu prestasi luar biasa buat gue yang biasanya baru bangun jam errr ... errr ... setengah sembilan. Gue ngupi dan mulai antri mandi secara kamar mandi di rumah yang hanya ada satu itu harus gantian dipake oleh sebentar ... ortu gue, nenek, tante dan dua anaknya, kakak gue sekeluarga, dan gue, jadi ... 13 orang! Untung shalat di Bonjol mulai jam 7.30 pagi, bukan jam 7 seperti di Jakarta.

Ini adalah Idul Fitri pertama gue di Bonjol, seperti halnya tahun lalu yang pertama di Taluk. Pagi itu hujan udah berhenti tapi langit masih mendung. Shalat yang biasanya diadakan di lapangan karena khawatir turun hujan dipindahkan ke masjid yang terletak di halaman Museum Tuanku Imam Bonjol, hanya beberapa meter dari garis khatulistiwa. Pulang shalat, gue bersalaman dan cipika-cipiki dengan orang-orang rumah. (Apa? Sungkeman? Ih, pasti yang nanya Jawir deh nih. Maaf ya, kami orang Minang nggak punya kebiasaan sungkeman hehe...) Abis itu gue langsung sikat ketupat dengan rendang yang dimasak pake kayu dengan sayur gulai nangka dan pakis. Uenaaakkk ... tenan!

Nggak lama, rumah nenek gue mulai disatroni orang. Nggak heran karena nenek gue termasuk orang paling tua di kampung dan di lingkungan keluarga. Sesuai kebiasaan, nenek, ortu, kakak, abang ipar, tante, dan gue sebagai orang-orang dewasa di rumah mesti siap untuk disalami terlebih dulu oleh para sodara dan orang kampung yang datang untuk berhalal bih halal. (Dan tanpa gue sadari, biar Ramadhan udah lewat, di hari yang fitri ini, gue kembali diuji.)

Dengan memasang tampang ala ibu-ibu sasak tinggi Dharma Wanita yang lagi kunjungan ke Panti Asuhan dan bersalaman sambil nyubitin pipi sok gemas semua anak panti, gue menyambut mereka yang datang lengkap dengan membawa pasukan anak-anak mereka.

“Hayoooo..., salam sama Oom Yoyok,” kata salah seorang ibu sambil menyorongkan seorang bocah perempuan yang tersenyum malu-malu menyambut uluran tangan gue.

Dengan tersenyum lebar dan suara yang dibuat serenyah dan seramah almarhum Pak dan Bu Kasur, mantan guru gue di TK Mini di Jalan Kebun Binatang (sekarang Jalan Cikini II), gue pun bertanya, “siapa namanya?”

Anak itu hanya menggeleng dan bersembunyi di balik paha ibunya.

“Eh, jawab dong, Nak. Namanya Laura, Oom,” jawab sang Ibu bangga.

Gue menatap tampang bocah perempuan itu sambil berpikir keras dari mana ide nama Laura itu bisa muncul begitu anak itu diletakkan bidan(atau dukun beranak?) di pangkuan ibunya setelah melahirkan ya? Nama Laura yang terlintas di kepala gue saat itu adalah Laura Ingalls yang diperanin Melissa Gilbert. Dan persamaan satu-satunya antara Lauranya Melissa dan Laura-nya Bonjol adalah giginya yang, maaf, berlari penuh suka cita mendahului mulutnya seperti kegembiraan Laura berlari jatuh bangun di padang rumput.

Tapi bukankah Melissa Gilbert tinggal di Hollywood. Di sana orthodontist bertebaran di setiap sudut gang yang bisa membantu menghambat keceriaan para gigi itu berpacu dengan sang mulut. Hasilnya kita tahu bahwa tawa ceria gigi rata Melissa dewasa sukses memincut hati Rob Lowe, yang dianggap salah satu cowok paling ganteng di era jahiliyah 80-an. Masalahnya, adakah orthodontist di satuuuuuu aja sudut di Bonjol yang dapat mengurung gigimu kelak, Nak, sehingga engkau bisa memikat hati Derby Romero ketika kalian dewasa kelak?

Begitu Laura berlalu, gue bersiap-siap menyambut seorang bayi yang dipersembahkan ke depan gue, anak kerabat gue yang tinggal di kampung seberang sungai. Nama kerabat gue adalah Lusi yang kemudian dipanggil secara Minang sebagai Aluih. Ketika dia memperkenalkan anaknya, dengan bodoh gue mengajukan pertanyaan yang sangat rawan terhadap kesuksesan gue berjaiman di tengah kesucian hari raya ini.

Sia namo anak Aluih ko?” tanya gue. (Terjemahan: Siapa nama anak Aluih ini?)

“Cindy, Bang,” jawab Aluih sambil tersenyum lebar.

Sambil tersenyum dengan hati berat, gue pun mencubit pipi bocah itu dengan kegemasan yang nggak gue buat-buat sambil mencari tahi lalat di atas bibir Cindy-nya Bonjol yang mungkin telah memberi inspirasi Ibunya. Nggak ketemu. Lantas, kenapa dikasih nama Cindy? Gue gemas, emang apa salahnya sih sama nama standar Minang kayak Dahniar, Rosni, atau Rasuna? Atau nama-nama Islami yang biasanya juga jadi ciri urang awak? Kenapa harus ngasih nama Barat keparat sih? Gue merutuk semua acara tivi yang udah memberi sodara-sodara gue—yang notabene hidup di kampung—ilham gila-gilaan untuk memberikan berbagai nama Barat kepada anak-anak mereka. Sementara sodara-sodara gue di Jakarta aja nggak gitu-gitu amat. Malah, oom gue yang kawin sama orang Jawa aja ngasih nama anaknya Malin. Tuh, kurang Minang apa coba!

Nggak lama, datanglah salah seorang etek gue, Sri Ardieti yang akrab dipanggil si Et (salah satu contoh nama yang gue kasih di tulisan Kalau Orang Minang Kasih Nama pertama), yang menghampiri gue sambil menggendong bayinya untuk mengucapkan selamat hari raya. Belajar dari pengalaman, kali ini gue cari aman dan hanya berkomentar, “eh, ini anak yang baru lahir kemaren ini, ya?”

“Iya, Yo. Namanya Wulandari.”

Apaan sih? Siapa yang nanyaaaaaaaa? Gue pengen njerit sambil njedutin kepala gue ke tembok begitu mendengar nama itu. Gue tahu, duhai sidang pembaca yang budiman, anda semua mungkin akan bertanya-tanya, seaneh apakah nama Wulandari, selain bahwa nama tersebut di Sumatra akan mengesankan pemiliknya adalah transmigran bedol desa dari Wonogiri waktu Bendungan Gajah Mungkur akan dibangun. Pemilihan nama itu menjadi harus lebih dimaklumi lagi mengingat sang ibu datang dari keluarga yang almarhum ayahnya gemar memberi nama Jawir buat anak-anaknya sehingga Wulandari punya Mamak (paman) bernama Yono dan Maktuo (tante/bude) bernama Sri Yuningsih. Jadi, apalah artinya nama Wulandari selain upaya melestarikan kebiasaan Jawanisasi keluarga.

Begini ya ... yang membuat gue mendadak ingin memanjakan hasrat masokis gue begitu nama Wulandari disebut adalah karena nama itu langsung mengingatkan gue akan sebuah film dokumenter yang belum lama ini gue tonton di Q! Film Festival. Film itu mengisahkan perjalanan hidup seorang waria dari seorang pelacur di Taman Lawang, Jakarta, menjadi seorang pelacur di Taman Laffayette, Paris, hingga akhirnya sukses merebut hati seorang pria Prancis yang kemudian mengajaknya hidup bersama. Dan ... dari manakah asal-usul Wulandari sang pelacur? Ya, betul. Wulandari, dara lanang bernama Jawa itu berasal dari ranah Minang, ranah nan kayo pusako Bundo Kanduang tacinto. Onde mande, gue habis dinista Iwan dan Pram waktu Wulandari ‘the banci’ mengakui asal-usulnya itu. Enough! Gue hajar kalo ada yang berani komen lagi!

Nggak sanggup menahan semua kegalauan hati gue dengan semua fenomena nama-nama nggilani yang gue temui, gue curhat ke Etek Ren, adik bungsu bokap gue. Tapi memang takdir sudah jadi suratan, bukannya penghiburan yang gue peroleh, yang ada gue harus menanggung beban baru karena etek gue tercinta kemudian bercerita tentang kenistaan nama salah seorang temannya yang menurut gue adalah puncak keajaiban urang awak memberikan nama.

Tek Ren adalah seorang insinyur lulusan IPB yang sekarang bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS) Padang. Biasanya, setiap akan ada sensus atau penghitungan statistik baru, dia harus mengikuti suatu pelatihan tertentu. Dalam salah satu pelatihan tersebut, Tek Ren akhirnya berkesempatan mengenal seorang rekannya yang berasal dari BPS Bukit Tinggi. Seperti biasa, ketika pelatihan dibuka pada hari pertama, nama semua peserta diabsen dengan cara disebut satu per satu hingga semua orang selesai dipanggil. Tak lama, saat pelatihan akan segera dimulai, seorang pria berdiri seraya mengacungkan tangannya.

“Nama saya belum disebut, Bu,” katanya.

“Ah, rasanya sudah saya sebut semua,” kata Ibu Trainer bingung. “Siapa namanya, Pak?”

Laki-laki itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab.

Siap-siap ...


“DON’T WORRY, Bu.”

Semua mata menatap pria bernama Don’t Worry itu dengan tatapan tak percaya sebelum akhirnya tawa mereka meledak. Si Ibu Trainer sambil tersenyum meminta maaf. Katanya, dia pikir kalimat “don’t worry” itu ditulis oleh panitia yang sedang menunggu konfirmasi peserta yang akan mengikuti pelatihan tersebut. Bukan nama orang.

Gue ngakak sampe sakit perut mendengar cerita Etek gue itu. Setelah bisa menarik nafas, gue bertanya, “Sebentar ... cara nulisnya gimana? Di-Indonesia-in jadi Don Wori atau emang pake English grammar yang bener segala?”

Rio, tabahlah sampai akhir ...


“Emang pake grammar yang benar, Yo, jadi D-O-N-tanda petik tunggal-T W-O-R-R-Y. DON’T WORRY!”

Mati gue! Gue nggak sanggup ngebayangin ada orang tua yang ngasih nama anaknya Don’t Worry dengan penulisan yang benar. Itu kan bukan nama, huaaaaa .... *menangis berguling-guling* Belajar bahasa Inggris di mana sih bapaknya? Apa sang bapak dapat ilham waktu dengar ada turis bule yang lagi jalan-jalan di Ngarai Sianok Bukit Tinggi, empat puluhan tahun yang lalu, dan ngomong “don’t worry.” Terus, dia suka dengan kalimat itu karena dia pikir itu nama Spanyol seperti Don Quixote, walau gue juga bingung dari mana dia mungkin pernah mendengar cerita tentang Don Quixote. Lantas, gue rasa dia meminta bule itu menuliskannya di atas kertas dan begitu anaknya lahir, dengan hati berbungkah kebahagiaan, dia berikan secarik kertas yang sudah lusuh itu kepada petugas Kenagarian sewaktu meminta akte kelahiran anaknya. Dengan susah payah, bapak petugas itu mengetik di mesin tik Brother seri pertama nama yang akan tercatat dalam sejarah sebagai puncak dari segala puncak keajaiban nama urang awak, mengalahkan John Travolta, menendang Lovely Son-nya Miund: ‘Don’t Worry’.

Gue menghela nafas dalam sambil membayang kekuatan mental Pak Don’t Worry yang hidup dengan nama itu empat puluh tahunan lamanya. Kagum gue. Kalo gue sih rasanya udah bakal melakukan hal yang dilakukan salah seorang Oom gue di kampung, Pak Etek Ucok: ganti nama. Gimana nggak, dia dikasih nama SAFRIANUS oleh orang tuanya, dan terbayang bukan begitu dia sekolah dan mengerti arti kata anus itu?

Sekarang, gue penasaran, kalo Pak Don’t Worry punya anak, dia kasih nama anaknya apa ya?

Mestinya ‘Be Happy’.

Thursday, November 17, 2005

CARITO MUDIAK KATIGO Lain padang, lain teong

Di Betung onderdil itu nggak ada, sementara itu gue sama abang ipar gue telepon-teleponan (Iklan: Terima kasih untuk Telkomsel yang telah memasang antena pemancar tambahan di pos polisi pengaman mudik) sehingga ketika gue memastikan bahwa barang yang dicari nggak ada di Betung, Bang Eri pun menelepon temannya di Palembang untuk membelikan onderdil itu di sana. Untung barang itu ada, namun biar bagaimana harus diambil di Palembang yang waktu tempuhnya dua jam dari Betung. Sementara hari udah semakin mendekati Maghrib dan kami semua, termasuk kedua keponakan gue yang paling besar, berpuasa.

Akhirnya, kami putusin buat istirahat sejenak dan menginap di Betung. Wono mengantarkan kami ke hotel bernama Penginapan Tetesan Embun. Lepas Maghrib dan berbuka Bang Eri pergi ke Palembang, sementara gue dan kakak gue beserta keponakan-keponakan gue istirahat di hotel. Jam setengah dua, Bang Eri balik dengan mobil udah selesai diperbaiki oleh montir.

Setelah Subuh, perjalanan dilanjutkan kembali. Gue yang nyetir—dan bikin warna kulit lengan gue jadi legam tembaga keren gitu—dan terus nyetir selama 12 jam. Dalam perjalanan, kedua keponakan gue yang paling kecil, Faiqal dan Aydin, masing-masing menanamkan sahamnya dalam upaya pelestarian hutan-hutan di hutan Sumatra Selatan dan Jambi. Ya, bila menggunakan bahasa para bocah ini, mereka teong di tengah huntan. Dan buat mereka, teong itu adalah kebutuhan saat ini yang nggak bisa ditunda. Jadi, kalo mereka minta teong ya, mo di hutan kek, jalan tol kek, ya teong aja. Kakak gue nggak terlalu suka masangin popok pakai buang sehari semalam buat anaknya, paling hanya malam hari aja. Lagian, Aydin juga nggak kelewat suka dipasangin popok kayak itu, dia suka jadi rewel.

Teong adalah kegiatan sehari-hari yang kita kerjain, tapi ada sementara orang yang—sungguh malang—nggak bisa teong secara teratur. Ada yang bermasalah dengan ‘tempat’, seperti beberapa orang teman gue yang nggak bisa teong kalo nggak di rumahnya. Atau, tempat dalam arti, kalo bukan closet duduk, nggak bisa keluar, dan sebaliknya seperti beberapa saudara gue dari kampung yang teteup ngejongkokin closet duduk ketika menginap di rumah gue. Banyak yang lebih rela menahan keinginannya untuk teong berhari-hari daripada harus teong di sembarang tempat.

Kok bisa sih? Kalo gue, seperti kedua keponakan gue tercinta, termasuk orang yang nggak pandang tempat untuk melakukan hajat yang satu ini. Apalagi mengingat pencernaan gue yang super lancar ini, teong bisa gue lakukan lebih dari dua kali sehari. Maklum gue kan rajin makan sayur dan buah di samping empal, soto betawi, gulai kambing dan kawan-kawannya (gue terpaksa memberikan penjelasan tambahan nggak perlu ini karena gue tahu bakal diserang oleh oknum tertentu yang bakal komentar, “kalo rajin teong kok masih errr ... buncit?” Huh!). Tapi mungkin kemampuan gue untuk teong di mana-mana ini tercipta karena gue udah dari kecil terbiasa untuk melakukan hajat keparat ini dalam keadaan darurat. Gimana enggak, tahun 1970-an hingga awal 1980-an, baik di rumah nenek gue di Bonjol (kampung bokap) maupun Taluk (kampung nyokap), belom ada yang namanya WC!

Di Bonjol, yang terletak di daerah perbukitan Bukit Barisan, kalo mau teong, gue harus ke kali kecil di belakang rumah, ato sekalian teong pas mandi di sungai besar yang letaknya agak jauh dari rumah. Jadi nggak mungkin dilakukan kalo kebelet. Nah, lo tahu nggak caranya teong di kali? Hayooo ... belajar, siapa tahu ntar lo mengalami keadaan darurat, jadi udah bisa, hihihi ....

Pertama kali teong di kali, gue inget kalo gue sangat kagok karena gue nggak tahan merendam errr ... maaf, pantat di dalam air yang dingin dan mengalir deras itu. Jadi gue cari batu yang agak tinggi dan jongkok di atasnya dan baru berendam untuk cebok. Tapi hal itu sangat nggak nyaman karena bentuk batu yang bulat menyebabkan arah tembakan kadang gagal mencemplung ke sasaran, yaitu air yang mengalir, sehingga beberapa serpihannya tercecer di bebatuan yang baru gue lihat belakangan ketika gue turun untuk cuci-cuci, bersih-bersih. Hueeeekkk ... sejak itu gue belajar untuk langsung berendam biar nggak meninggalkan jejak di bebatuan dan akhirnya ... sukses. Contoh bisa dilihat foto keponakan gue, Iqbal, yang kebelet waktu kita lagi dalam perjalanan ke kebon coklat bokap gue sehingga mau nggak mau mesti teong di kali.

Sementara di Taluk lain lagi ceritanya. Kampung halaman nyokap gue ini terletak di pinggir pantai. Tanahnya berpasir dan sungainya nggak mengalir deras dan bersih seperti di Bonjol. Airnya cenderung payau. Jadi sungai bukanlah tempat yang biasa dipake orang membuang hajat. Terus, gimana doooong? Errr ... yakin mau tahu? Masih tahan itu perut? Ok, gini caranya.

Mari kita kembali pada suatu masa di akhir 1970-an ketika gue masih kelas satu SD dan sedang mudik ke Taluk dan tinggal di rumah nenek, adek almarhum ayah. Pada suatu pagi yang cerah, matahari baru mengintip dari cakrawala, gue terbangun dan tiba-tiba perut gue mulas dan gue tahu gue harus teong biar itu mulas hilang. Gue bangunin Bang Eri, yang waktu itu masih oom dan belom jadi abang ipar. Bang Eri pergi ke sumur di belakang rumah diikuti gue yang jalan tertatih-tatih megangin perut menahan mulas. Dia timba air dan menuangkannya ke dalam sebuah ember. Kemudian, dia berjalan ke arah kebun di belakang rumah. Sebelumnya, dia mengambil sebilah pacul yang tersandar pada dinding dekat pintu. Di kebun, dia mencangkul tanah yang berpasir hingga kedalaman sekitar dua puluh senti, meletakkan ember di dekatnya dan menengok ke arah gue.

“Nanti panggil abang kalo udah selesai ya,” katanya.

Gue mengangguk sambil buru-buru melepas celana dan jongkok di pinggir lubang. Aaaaaahhhhh ... akhirnya. Dan setelah selesai dan cuci-cuci bersih-bersih, gue pun memanggil Bang Eri. Dia kemudian menimbun lubang itu dan membawa ember kembali ke sumur. Sebelum masuk rumah gue tengok ke arah gundukan tanah yang baru saja gue tinggalin. Gue merasa seperti seekor kucing.

Meong.

Monday, November 14, 2005

CARITO MUDIAK KADUO Orang Jawa di Sumatra


Mobil gue arahkan ke bahu jalan yang nggak beraspal dan gue berusaha terus mempertahankan posisi hingga kecepatan semakin melambat. Untungnya jalanan agak mendatar dan ketika kecepatannya udah nggak terlalu tinggi gue menarik rem tangan sehingga mobil lebih cepat berhenti. Lega. Nggak ada apa-apa dan di jok belakang keponakan gue teteup jejeritan nggak karuan bareng Ariel.

Gue dan abang ipar gue keluar mobil untuk memeriksa mesin. Errr ... dalam hal ini tentu abang ipar gue yang lebih berkompeten ya. Dan ternyata oh ternyata, puli kruk as depannya patah (satu benda yang gue baru tahu nama dan keberadaannya) sehingga tali kipas lepas. Kami coba menghentikan kendaraan untuk meminta bantuan, baru setelah beberapa lewat nyuekin, sebuah truk berhenti. Gue minta tolong diantarkan ke pos polisi pengaman jalur mudik terdekat sementara abang ipar gue jaga mobil beserta isinya.

Untung pos tersebut nggak jauh, hanya beberapa ratus meter. Gue ceritain masalah ke petugas yang ada dan kami pun balik ke TKP diantar salah seorang warga yang kebetulan memiliki mobil. Sayang, dia nggak bisa membantu lebih lanjut, terutama untuk menarik mobil abang ipar gue ke pos tersebut karena ada urusan lain. Begitu gue dan dua orang petugas sampai di tempat mobil yang rusak, abang ipar gue pun ambil keputusan untuk menyuruh gue membeli onderdil yang dibutuhkan di kota terdekat, Betung, yang terletak kira-kira 20 km dari tempat mobil gue rusak. Sementara itu, polisi dan abang ipar gue cari jalan buat menarik mobil ke pos polisi.

Gue menghentikan sebuah bus mini antarkota yang melintas. Begitu masuk, gue disambut oleh bebauan tujuh rupa mulai dari minyak angin sinyongnyong, keringat, dan bebauan yang gue nggak mampu tebak asalnya dari berbagai jenis karung dan barang yang bergeletakan di lantai bus. Selain smell effect, sound effect di dalam bus itu juga cukup dahsyat. Mulai dari ibu-ibu yang setiap lima menit muntah, suara bayi menangis, dan mesin mobil yang memekakkan telinga. Lima belas menit perjalanan terasa lima belas jam penuh siksaan buat gue. Gue ngerasa lega ketika akhirnya bus berhenti di sebuah restoran. Sialnya, gue beom sampai kota Betung. Gue terpaksa cari cara lain pergi ke kota.

Untung, hanya lima puluh meter dari restoran gue melihat kantor polisi dan gue datengin dengan harapan ada yang bisa nganter gue ke Betung. Seorang banpol menghampiri gue dan mengatakan bahwa cara termudah ke kota adalah dengan naik taksi. Errr ... taksi? Nggak salah, Mas? Ditemani banpol yang ternyata bernama Wawan yang berkampung halaman di Klaten, gue berdiri di pinggir jalan menunggu taksi lewat. Percuma ngimpi taksi Burung Biru dan teman-temannya lewat karena yang namanya taksi di daerah ini adalah angkot dengan pintu di belakang.

Lama, nggak ada satu taksi pun lewat. Akhirnya gue bertanya sama dia kalo-kalo ada orang yang memiliki motor untuk bisa mengantarkan gue. Ternyata, dia sendiri punya. Duh, Mas Wawan, kenapa nggak bilang dari tadi toh? Dia pun mengambil motornya dan gue membonceng di belakang. Di tengah perjalanan gerimis mengundang mulai menetes. Gue cuma ngebatin, nggak bisa lebih sial lagi ya? Tiba-tiba dia nawarin untuk menyewa taksi milik temannya yang langsung gue iyain sambil nggerundel dalam hati, mbok kalo nawarin jangan tanggung-tanggung gitu lho. Temannya Wawan bernama Siswono, kalo nggak salah, berasal dari Wonosobo.

Errr ... gue jadi mikir, kok orang-orang di sini berasal dari Jawir semua ya? Ini jalan lintas Sumatra dan bukan pantura kan? Gimana mungkin gue ketemu Jawir-jawir berlogat medok dan tetap bicara dengan bahasa ndewek kepada sesamanya. Heran deh. Tapi gue sadari bahwa gue untuk pertama kalinya baru berkenalan dengan para keturunan transmigran dari Jawa. Mereka adalah generasi kedua transmigran yang dimukimkan kembali di Sumatra. Wawan dan Wono bercerita bahwa mereka lahir dan besar di Sumatra dan belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Jawa.

Gue jadi teringat dengan transmigrasi, program penyebaran penduduk yang beken di zaman orde baru yang punya cita-cita mulia untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Udah lama gue nggak mendengar tentang program ini dan nggak yakin apakah program ini masih ada atau udah mati seperti orde yang menggiatkannya. Yang gue juga nggak tahu, adakah tinjauan tentang keberhasilan pelaksanaan program ini. Program yang sering dituduh sebagai upaya Jawanisasi—seperti penamaan kelurahan untuk semua wilayah administrasi desa di seluruh Indonesia—ini emang punya pendukung dan, tentunya, penentangnya. Tapi seperti semua penentang kemapanan orba, suara mereka tenggelam. Yang pasti program ini udah berjalan belasan tahun dan sering dipropagandakan lewat lagu mars yang dulu sering diputar di TVRI (ada yang ingat?).

Mereka, Wawan dan Wono, masing-masing bercerita tentang suka duka hidup di negeri orang yang umumnya adalah masalah-masalah klasik adaptasi sosial dan budaya. Dengan suara medok, mereka bercerita tentang perselisihan dengan penduduk setempat. Tentang senjata api ringan dan senapan yang banyak beredar dan dimiliki oleh penduduk asli dan pendatang. Tentang perselisihan kecil seperti orang mabuk di pesta yang bisa menyebabkan perkelahian dan baku tembak. Tentang ketidakberdayaan polisi dalam jumlah kecil untuk mengatasi itu semua. Tentang harapan untuk kembali melihat tanah Jawi, tanah asal mereka yang terasa jauh.

Di tengah keheningan dan kedamaian hutan karet dan kelapa sawit Sumatra Selatan, gue bergidik. Gue nggak sanggup membayangkan bahwa di daerah terpencil seperti ini anarki seperti itu bisa terjadi. Dari mana mereka bisa dapat senjata? Apa upaya untuk menjembatani perbedaan? Kalau orang satu suku aja bisa bunuh-bunuhan di Ambon dan Poso, apalagi orang yang berbeda suku dan budaya? Gue teringat beberapa tahun lalu ketika orang Madura dan Dayak berselisih senjata hingga memakan korban jiwa di Sambas, Kalimantan.

Seribu pertanyaan berkecamuk di benak gue. Akankah perseteruan antarsuku, antara penduduk asli dan pendatang, seperti di Sambas menyeruak di tanah Sumatra? Mengapa pembauran itu begitu sulit terjadi? Mengapa perbedaan itu begitu sulit untuk dihormati keberadaannya? Mengapa hidup berdampingan dengan orang yang berbeda dengan kita menjadi begitu sulitnya?

Gue nggak akan bisa merasa aman pulang kampung tahun-tahun mendatang kalo terjadi apa-apa di wilayah ini.

Thursday, November 10, 2005

CARITO MUDIAK PATAMO Ada apa dengan orang tua?


Semua orang pasti tahu siapa itu Peter Pan. Gue mungkin termasuk orang yang telat kenal dengan makhluk yang bernama Peter Pan itu. Gue tahu lagu-lagunya justru karena kebanyakan ngedengerin pengamen di Menteng yang silih berganti nyanyiin lagu-lagu mereka. Gue baru tahu namanya Peter Pan ketika mereka udah berhasil ngejual lebih dari sejuta kopi album rekamannya. Bahkan, sampe sekarang gue belom pernah lihat video klip hit terbesar mereka, “Ada Apa Denganmu?”

Telat ya? Gue tahu. Dan gue sadari betapa gue super telat menyadari kehadiran grup ini ketika di satu malam minggu di Kafe Pisa, Menteng, ketika gue lagi asyik makan dan ngobrol di acara ulang tahun teman gue, tiba-tiba penyanyi home band-nya Kafe Pisa ngebacain permintaan lagu “Ada Apa Denganmu?” dan menyapa orang meminta lagu itu. Yang ada, gue terkaget-kaget ketika ngelihat siapa yang minta lagu itu!

Beberapa orang bocah!

Dan ketika akhirnya lagu itu dinyanyiin, seorang bocah perempuan tanpa malu-malu langsung naik panggung—gue rasa pasti pernah ikut kursus presenter-nya Dewi Hughes buat bocah yang lagi ngetren itu—dan nyanyi sambil goyang-goyang pinggul ala Inul! Satu orang penyanyi dengan bodohnya memberikan mikrofonnya kepada seorang bocah cowok yang berdiri dekat panggung dan menatap panggung sambil ngiler sehingga akhirnya dia dibiarkan menyanyikan sisa lagu “What’s wrong with you?” itu sampe selesai! Tanpa salah dengan suara fals nggak karuan.

Bodoh kan? Gue rasanya mau ngerebut mike dari bocah itu dan njitak penyanyinya sambil bilang, “Coba yaaa ... Ini kafe, bukan TK deh!”

Gue nggak pernah berharap masuk kafe dan mendengar suara fals bocah nyanyi lagu dewasa dan mengganggu kenikmatan gue hang out. Apa ini kafe udah berubah jadi night care center buat ngasuh para bocah yang orang tuanya kerja malam? Ketika gue lihat dengan siapa pada bocah itu datang, ternyata mereka datang dengan orang tua mereka sendiri yang asyik ngobrol sesama mereka.

Woiii... nyadar dong! Ngapain lo bawa anak ke kafe tengah malam? Begini ya, kafe itu bukan Dufan ato Taman Safari. Jangan dianggap tempat piknik deh! Jadi, kalo lo nggak bisa nemuin pengasuh yang bisa ngejagain mereka ketika lo mau gaul sampe malam ... ya, jangan pergi! Apalagi di malam minggu yang jelas banget tujuan lo cuman buat senang-senang doang! Dan gue pikir, bukankah menghabiskan waktu bersama anak lo seharusnya membuat lo lebih bahagia daripada nongkrong di kafe bareng temen-temen lo? Heran gue.

Dan jangan nganggap bahwa bawa anak ke kafe itu sebagai ide cerdas buat nunjukin tanggung jawab lo sebagai orang tua yang nggak tega ninggalin anaknya tanpa pengawasan ya. Otak udang! Buat gue, itu cuma nunjukin keegoisan dan kebebalan lo serta rendahnya tanggung jawab lo sebagai orang tua! Maksudnya apa? Sementara lo asyik ngobrol anak lo bakal belajar: oom itu minum apa sih, kok kayaknya abis minum ketawa-tawa melulu, aku abis minum susu kok biasa aja ya; wah tante penyanyinya kayak nggak pake baju, ya; lho, oom sama tante itu kok ciumannya di bibir ya, emang enak? jadi pengen tahu. Sementara itu, lo terus asyik ngobrol sama temen-temen lo.

Gue jadi emosi jiwa.

Ngelihat ada orang tua bawa anaknya ke kafe sama bikin jengkelnya kayak lihat orang tua yang bawa anaknya buat nonton film ‘Flight Plan’ dan semua film dewasa lain. Dan ketika anaknya ketakutan baru mereka—atau baby sitter-nya—keluar di tengah film. Tolol! Untung lo nggak dekat-dekat gue ya, kalo nggak, gue bakal siram coca cola begitu anak lo buka mulut bertanya soal jalan cerita film. Bukan anak lo, tapi lo, bego! Kalo nggak bisa ninggalin anak di rumah sendiri, ajak anak lo pergi ke ITC Kuningan, beli DVD sambil belanja di Carrefour, trus nonton tuh film tengah malam waktu anak lo udah tidur! Jangan ke bioskop! Ganggu orang, tahu!

Dan balik ke Kafe Pisa di malam itu, ketika lagu sejuta umat itu kelar dinyanyiin anak-anak mereka, para orang tua itu memberikan tepuk tangan dengan wajah bangga. Bangga atas keberanian anak-anak mereka beraksi di depan umum. Dan ketika kebanyakan orang satu kafe ikut bertepuk tangan, gue jadi merasa terasing. Ini gue yang aneh, ato mereka yang gila sih. Gue nggak ngerasa hal seperti itu layak diberi dukungan. Berani nyanyiin lagu orang dewasa di sebuah kafe bukan jenis keberhasilan yang bakal bikin gue bangga kalo keponakan gue bisa lakukan.

Tapi gue tergigit lidah ketika hari Senin di malam kedua puluh sembilan Ramadhan, ketika abang ipar gue mulai menjalankan mobilnya memulai perjalanan panjang ke Bonjol, Faiqal, keponakan gue yang baru berumur 3,5 tahun itu minta gue yang duduk di depan buat muterin kaset Peter Pan. Hah? Nggak salah? Dan ketika dia bisa ngikutin lirik lagu-lagu Peter Pan, dengan ditingkahi oleh Aydin, adiknya yang baru berusia dua tahun, yang meneriakkan ujung kalimat, “... SURGAAAA!”, gue cuma bisa ngelus-ngelus dada. Gue nggak bisa ngelarang, apalagi marah.

Ternyata, anak sekarang ternyata emang kekurangan hiburan yang sesuai umur mereka dan banyak orang tua yang ambil jalan pintas—mungkin karena sedikitnya pilihan—untuk membiarkan anaknya menikmati hiburan yang dewasa. Di lain pihak, Chicha sama Adi udah punya anak seumuran keponakan gue. Joshua udah berjakun biar teteup medok, sementara Sherina sekarang udah masuk pengawasan Neng Sarah sama Mpok Jane! Maklum, ABG, udah mulai salah kostum. Bocah sekarang emang nggak punya penyanyi idola baru. Tina Toon? Oh plisss ... Walau gue sangat mengagumi kelenturan bocah gembil ini, tapi yaaaa ...lagunya yang ngetop apaan sih? Biar nggak senyebelin Maissy ... tapi gayanya? Ampuuunnn ...

Dalam perjalanan ke Bonjol, gue terus disiksa oleh suara sengau Ariel selama Faiqal dan Aydin masih melek. Gue cuma bisa terbebas dari kemonotonan lagu-lagu Peter Pan kalo bocah-bocah itu udah tidur. Kalo nggak, kaset itu terus diputar dan nggak ada yang bisa matiin karena risikonya adalah amukan Faiqal dan Aydin. Dan nggak ada orang waras yang mau ambil risiko keponakan gue itu ngamuk menjerit dan memukul di dalam mobil yang penuh barang dalam perjalanan melelahkan selama hampir 40 jam ke kampung halaman.

Dan sekitar pukul 15.30 esok harinya, Selasa, ketika keponakan-keponakan gue asyik nyanyiin lagu-lagunya Peter Pan untuk yang entah untuk ke berapa kali, gue sibuk mengemudikan mobil melintasi daerah persawangan Sungai Lilin, Sumatra Selatan, melewati lubang-lubang besar dan kecil jalan yang seperti ranjau bikin gue harus zig zag melewati jalan lintas timur Sumatra yang turun naik seperti roller coaster dan bikin nyetir jadi penuh tantangan.

Di tengah keriwehan itu semua, mendadak, ketika gue menginjak rem untuk mengurangi kecepatan di jalan turunan, rem itu nggak berfungsi, nggak ada tekanan apa-apa. Sementara mobil gue terus melaju kencang tak terhentikan. Gue coba seimbangkan kecepatan mobil dengan menginjak kopling setengah dan membanting setir ke kiri dan kanan menghindari lubang-lubang jalanan yang menghadang. Dengan kecepatan tinggi mobil gue kemudian naik mendaki jalan dan dari arah depan sebuah truk melaju kencang menuruni jalan. Gue banting setir ke pinggir jalan yang tak beraspal, sambil berteriak ke abang ipar gue yang tidur di bangku belakang:

“Bang! Remnya blong!”

Monday, October 31, 2005

Mudik juga

Delapan jam lagi dan gue akan meluncur ke kampong halaman orang tua gue yang sekarang, mau nggak mau, sejak orang tua gue mutusin jadi petani di kampung halamannya, mudik setiap Lebaran jadi acara wajib yang dulu, waktu mereka masih kerja di Jakarta, belom tentu dilakonin tiap tahun. Dan tahun ini, biar udah coba dirayu, Bokap nggak bisa ninggalin rumahnya dengan alasan gudang coklatnya lagi penuh. Nyokap yah seperti biasa tinggal manut bokap. Sementara gue yang dari awal puasa pengen balik naik pesawat terpaksa ngebatalin niat secara kakak ipar gue tercinta memutuskan buat balik naik mobil. Satu-satunya harapan adalah bila gue dan kakak gue sukses ngerayu bokap dan nyokap buat Lebaran di Jakarta aja. Setelah itu gagal, harapan tinggal kakak ipar gue ngebatalin rencana pergi dan gue bisa langsung cari tiket pesawat untuk pergi sendiri.

Tapi, hari Kamis minggu lalu, jam setengah tujuh pagi, hape gue bunyi dan ketika gue angkat terdengar suara kakak gue yang bilang, “Kita jadi berangkat hari Senin malam ya.”

“Hah?” gue masih ngelindur. “Oh, oke.”

Dan malam ini gue kembali bakal menempuh perjalanan ke Bonjol buat nemuin orang tua gue. Kali ini, adek gue Uly dan isterinya Dias, yang baru dapet momongan baru, nggak ikut. Sementara si Bontot Iky dan isterinya Ratna, juga nggak ikut karena mereka emang biasanya jaga gawang. Jadi yang berangkat adalah keluarga kakak gue: kakak ipar gue, Bang Eri, kakak gue, Rini dan empat bocah laki-laki, anak-anaknya yang lasak bin nggak bisa diam itu, Fauzan (11), Iqbal (9,5), Faiqal (3), dan Aydin (1,5), dan gue.

40 jam penuh tangisan, rengekan, bebauan tujuh rupa, tapi juga tawa, canda, peluk, cium.

Minal aidin wal faidzin, taqaballahu mina wa minkum.

Monday, September 26, 2005

Si Bondol dan kebiasaannya

Hari Kamis kemaren, gue teringat sama si Bondol, teman sebangku gue di kelas III SMP, gara-gara cerita Kenny di mobil Nur dalam perjalanan menuju tempat les. Siang itu, Kenny nggak sengaja ketemu teman SMU-nya yang udah lama banget berpisah sejak temannya itu kuliah di AS. Padahal, kata Kenny, mereka dulu lumayan akrab bahkan duduk satu bangku. Satu cerita kecil yang bikin gue jadi teringat masa-masa SMP gue adalah ketika Kenny bilang bahwa mereka dipisahkan oleh wali kelas karena mendominasi peringkat di kelas dengan jadi juara I dan II. Entah apa dasarnya satu bangku nggak boleh jadi juara I dan II. Mungkin Kenny dan temannya dikira contek-contekan kali ya.

Tapi hal yang sama juga terjadi sama gue dan teman sebangku gue di kelas III SMP, Jhonson ([sic] Plis buat para polisi tatabahasa yang mau protes, ini anak emang nama di aktenya tertulis J-H-O-N-S-O-N. Jadi bukan karena gue dudul salah tulis ya *defense mode on*) What do you expect gitu lho, namanya juga orang Batak bo, hehe.... Selain itu, marganya juga cukup delisius untuk dicela: Bangun, Jhonson Bangun. Secara dia adalah orang Batak pertama dengan marga itu yang gue kenal, jadi sepanjang kita satu kelas bareng, gue sering ngebecandain namanya, “Jhon [sic], lo nggak capek tuh bangun melulu?”

Garing ya? Tapi tahun ’87, itu lucu lhoooo... Adyuh, ketahuan deh gue udah SMP sementara Golda sama Bowo baru masuk TK di Malang, bahkan Primo malah belom lahir kali ya, hehe.... Tapi tolong diinget, gue SMP barengan Pakde Q dan waktu itu Mas Wisa sama Mbak Ria udah pada kuliah lho ya...

Eniwei, di kelas satu dan dua, gue dan Jhonson selalu berada di kelas yang sama. Kelas tiga ternyata kita barengan lagi satu kelas dan duduk satu bangku. Di semester ganjil, gue dan Jhonson kembali mendominasi peringkat kelas dan Jhonson tetap gagal ngalahin gue (syukurin!). Tapi asal tahu aja, gue dan Jhonson nggak pernah contek-contekan. Asli! Bukan apa-apa, biar gue yang orang Padang, tapi kenyataannya justru si Batak itu yang pelit, huh!

Nah, di hari pertama semester genap, wali kelas gue waktu itu, Bapak Malau—guru PMP, melontarkan ide yang sungguh brilian. Katanya ke gue dan Jhonson, “Tak suka aku kalian duduk berdua Jhonson, Rio. Pintar berdua sazanya kalian nanti. Ayo kau pindah ke ke belakang sana, Rio! Duduk saza kau sama si Bondol dan biar si Jungkrik (teman sebangku Bondol yang rambutnya jiplakan persis Simon le Bon van Duran Duran) duduk di depan sama si Jhonson! Biar tambah pintarnya itu si Bondol.”

Oke deh, gue disuruh duduk sama si Bondol yang semua juga tahu emang nggak bakalan mudeng kalo disuruh belajar perbandingan demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila, tapi kalo disuruh membuat perbandingan, maaf, toket siapa yang lebih gede, punya Cingklok ato Cengking (temen kita satu kelas), maka Bondol adalah Einstein. Tapi terlepas dari peringkatnya yang selalu dua digit dan terus berada di divisi bawah, si Bondol anaknya asyik. Tipe cowok badung yang, errr... buat anak emas guru kayak gue, sering jadi panutan sambil hanya mampu berkhayal, “kapan ya gue berani tidur di kelas, bikin jengkel guru sampe ditimpukin pake penghapus, ato dengan cuek keluar kelas kalo dimarahin dan kabur ke kantin buat ngerokok?”

Sejak hari pertama semester genap itu, gue duduk sebangku dengan si Bondol. Dari ke hari gue semakin akrab dengan anak gila ini. Gue pun mengerti kenapa banyak orang yang suka sama dia. Si Bondol, biar bloon, tapi sering sukses bikin cewek-cewek klepek-klepek karena badannya lumayan tinggi besar buat ukuran anak kelas III SMP, tampang lumayan cakep, dan jago basket. Dia jagoan yang setia kawan, baik dalam arti kalo teman berantem, tanpa tanya kiri-kanan pasti ikut ngegebukin lawan temannya, maupun karena dia emang siap ngebelain teman yang lebih lemah. Dia jadi jagoan tanpa jadi bully ato preman yang suka ngegencet orang lain.

Bondol dengan segala keasyikannya itu punya satu kebiasaan yang asyiknya bener-bener asyik sampe bisa dianggap errr... apa ya istilah yang pas... ‘nggilani’ adalah kata yang cocok kali ya. Cuma sedikit orang yang tahu kebiasaan nggilani-nya ini dan mereka yang tahu kebanyakan adalah teman-teman sekelas yang cowok. Tapi dari yang sedikit itu, lebih sedikit lagi yang bisa menyaksikan Bondol beraksi. Mereka yang ‘beruntung’ adalah mereka yang duduk sebangku dengan si Bondol karena aksi si Bondol selalu dilakukan di dalam kelas, ketika semua orang sedang konsentrasi mendengarkan celoteh guru, sementara Bondol mati bosan dan ingin menghibur diri.

Dan nggak lama setelah duduk sebangku dengan si Bondol, gue pun akan menonton aksinya itu.

Di satu pagi yang cerah, matahari bersinar cerah, udara segar membuat pipi memerah, Ibu Shinta Sirait berdiri di depan kelas asyik menjelaskan satu rumus fisika. Dan gue yang nggak pernah suka fisika, sibuk merhatiin dengan serius penjelasan Ibu Shinta. Abis mau gimana lagi, sejak Vita pindah sekolah ke Tegal ikut ayahnya bertugas di sana, sementara Jhonson nggak bisa diandalin karena anaknya pelit dan nggak pernah mau ngasih contekan, maka sejak semester ganjil gue harus belajar fisika sendiri kalau mau bisa ngejawab soal-soal ulangan. Mau nggak mau gue pun konsen ngedengerin Ibu Shinta menjelaskan rumus-rumus pelajaran keparat itu.

Sementara Bondol dengan cepat merasa bosan dan gelisah. Duduknya mulai nggak tenang dan sedikit-sedikit mengubah posisinya. Tapi kemudian suasana jadi tenang dan berlangsung cukup lama. Gue mulai merasa ada yang salah. Biasanya itu anak bakal ngegangguin gue kalo gue terlalu mantengin omongan guru. Ada aja yang dia tanyain. Kediamannya sungguh mencurigesyenkan. There must be something about Bondol neh.

Penasaran, gue pun melirik ke arah Bondol untuk melihat apa yang lagi dia kerjain. Kepalanya tampak menunduk dan matanya agak terpejam. Tapi gue yakin dia nggak sedang tidur karena lengannya terlihat bergerak-gerak. Pandangan mata gue turunkan ke bawah menyusuri gerakan tangannya. Dan ketika pandangan gue terkunci tepat pada jari-jari tangannya yang tampak sedang menggenggam sesuatu di antara kedua pahanya dengan retsleting celana yang terbuka, gue pun kaget dan hampir-hampir berteriak.

“Bondol! Ngapain lo coli dalam kelas!” suara gue mendesis.

Bondol mengangkat kepalanya dan tersenyum sambil terus memainkan, maaf, tunas jantannya (pinjam istilahnya Ayu Utami di Saman) yang tegak dan tegang. “Pinjem penggaris dong, Yo, gue mau ngukur punya gue nih,” katanya tanpa merasa bersalah.

“Enak aja lo!” gue jawab sewot. Sembarangan! Masa penggaris gue mau dinodai buat ngukur ‘barang’-nya?

Tapi bukan Bondol namanya kalo mau dicuekin begitu. Tanpa permisi dia ambil penggaris gue dari atas meja dan menggunakannya untuk mengukur penisnya. “17 senti,” dia mengumumkan hasil pengukuran dengan nada puas.

Sejak hari itu, gue harus membiasakan diri dengan keheningan mendadak dari teman sebangku gue ketika guru sedang menjelaskan pelajaran. Gue tahu sekarang, kalau nggak tidur beneran, maka sangat mungkin Bondol sedang asyik merancap untuk mengusir kebosanannya. Gue udah pernah usul ke dia buat bikin kerajinan tangan yang bisa dilakukan di dalam kelas tanpa ketahuan, merajut ato bikin kristik misalnya;), tapi percuma. Si bondol emang nggak bakat melakukan kerajinan tangan apapun kecuali, errr...ya itu tadi: merancap alias coli alias onani.

Cuma, untuk menghindari bau-bau yang tak sedap dan muncratan muatan yang salah sasaran, gue bikin perjanjian dengan Bondol. Apapun yang terjadi, dia nggak boleh sampe ejakulasi di dalam kelas. Kalo dia nggak tahan, dia mesti keluar dan menuntaskannya di kamar mandi. Coba aja kalo nekad, gue bakal suruh dia jilat semua hasil buangannya itu dan gue nggak bakal mau kasih contekan apapun saat ulangan. Dia terima semua persyaratan gue dan setiap kali dia merancap dalam kelas, gue belagak diam dan cuek.

Tapi di rumah, gue pun masuk dan mengunci pintu kamar, ngeluarin penggaris... dan... huaaaa... jadi pengen ke Mak Erot!

Friday, August 12, 2005

Si Sisir Merah


Kemaren siang gue ngupi bareng Ve, Pram, dan Bowo di Starbucks Skyline Building. Ve cerita bahwa dia baru menulis sebuah artikel tentang kecacatan perilaku orang-orang yang pengen ngupi di warung kopi kapitalis yang menjamur di mana-mana kayak Bintang Dolar favorit gue, Ve, dan Bowo, atau warung kopi Biji Kopi dan Daun Teh yang cheesecake Chicago yang beraroma lemonnya selalu bikin gue ngeces dua ember setiap mampir. Dan Ve, dari hasil obrolannya dengan seorang mantan barista, berhasil ngumpulin cerita-cerita itu dan dia tulis buat Reader's Digest (Tatut, bayar gue nih, udah ngiklanin majalah lo, hehe...).

Asyik emang ngamatin kelakuan orang-orang ketika berhadapan dengan suatu bentuk budaya pop baru karena nggak semuanya bisa dengan cepat beradaptasi. Cerita cacat dari orang-orang yang gegar budaya, termasuk yang gue alami sendiri—maaf, bukan untuk untuk konsumsi publik ya *selebriti mode on*, tentu amat sangat banyaknya, seiring dengan semakin banyaknya terpaan budaya pop itu.

Gampang-gampang susah emang mau beradaptasi itu. Sapa yang ngasih tahu caranya mesen kopi di Starbucks kalo lo baru pertama kali ke sana, misalnya. Mau nggak mau kalo salah-salah dikit biasa lah. Abis, mana ada sih juklak alias petunjuk pelaksana caranya beradaptasi dengan budaya pop? Lah, udah dikasih tahu juga orang Indonesia kan sering ngeyel. Coba deh lihat sekitar kalo nonton film di bioskop. Betapa jengkelnya gue ketika ada orang yang keukeuh ngobrol di telepon waktu Christian Bale lagi digebukin di Batman Begins. Mas, mas, minta digebukin juga ya? Rese banget sih, padahal iklan dilarang maen hape itu kan udah banyak banget ragamnya dan jelas banget maknanya. Adakah efeknya? Sekali dalam bulan biru kali yaaaa... (baca: once in a blue moon)

Demikian juga dengan ngupi di cafe. Ada banyak cerita di sana. Bowo pernah cerita waktu dia lagi ngupi di Biji Kopi dan Daun Teh Plaza Senayan ketika seorang pesohor—yang berprofesi ganda sebagai artis sinetron dan pengacara kondang dengan rambut dicat dan kuncir andalan dan punya marga yang bisa jadi tebak-tebakan garing: “pisau nggak tajam namanya apa hayoo?”—datang ke dalam cafe dan langsung duduk di kursi yang kosong. Tanpa ba-bi-bu dia manggil baristanya dan minta... DAFTAR MENU!

Dengan sabar baristanya nyamperin si Abang ini dan bilang kalo dia harus ngantri di kasir buat memesan. Untung si Abang ini orangnya asyik, dia langsung mengeluarkan selembar seratusribuan dari tas Versace-nya dan bangun dari tempat duduknya. Makanya Abang, ini bukan kelas Abang, lain kali janjian di Hotel Mulia aja, dekat juga kan?

Nah, ada satu kejadian yang gue alami di satu Senen yang cerah waktu gue bolos kantor dengan alasan ada urusan keluarga, padahal gue punya kerjaan sampingan yang mesti gue kelarin secepatnya. Secara kamar kos gue nggak punya kursi dan meja, dan setiap gue kerja di tempat tidur, gue selalu memanfaatkannya sesuai fungsi dasarnya: untuk tidur, gue pun memutuskan untuk kerja di cafe-nya QB, Plangi.

Siang itu lumayan banyak orang makan dan minum dan ngobrol di cafe-nya QB. Setelah sekitar satu jam ketak-ketik di notbuk andalan gue itu, gue mulai bosan dan pengen cari hiburan. Untungnya, nggak lama hiburan itu dimulai.

Gue masih asyik kerja waktu seorang perempuan muda dan cantik mengenakan kaos putih ketat dan pendek yang memamerkan sebagian perbatasan punggung bawah dan pantatnya yang dibalut dengan jins yang memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya yang aduhai (dikutip dari Nick Carter, Cinta Segitiga Seorang Spion, hal. 47; errr..mau pinjem, Way? *kedip-kedip*) masuk ke dalam cafe dan duduk persis di meja di depan gue. Cewek bohay ini datang dengan seorang perempuan setengah baya dan dua orang pria muda. Mereka bereempat kelihatannya punya hubungan kekerabatan deh.

Setelah duduk dan memesan ini-itu, tiba-tiba cewek cantik itu memasukkan tangannya ke dalam tas dan ngeluarin...

JRENG... JRENG....

Sisir plastik bergerigi panjang berwarna merah dengan ujung seperti pisau pembuka kertas!

Di dalam sebuah cafe. Di sebuah mal. Di sudut Jembatan Semanggi. Seorang cewek cantik dengan pede menyisir rambutnya yang bak mayang terurai dengan menggunakan sisir plastik merahnya itu.

Gue cuma bisa nganga keheranan menatap pemandangan yang tak biasa dan bertanya-tanya dari mana asal cewek itu karena, yang pasti, dia bukan anak Jakarta!

Gue keinget satu episode di film seri Sex and the City ketika Jack Berger, pacar Carrie Bradshaw, menulis dalam bukunya tentang seorang perempuan Manhattan yang mengenakan ikat rambut (yang menurut nengsarah namanya scrunchie) di sebuah bar. Carrie mendebat hal itu karena menurutnya nggak mungkin ada perempuan asli Manhattan yang mau make ikat rambut seperti itu di tempat umum. Sampe satu saat di sebuah bar Manhattan, Jack Berger melihat seorang perempuan mengenakan ikat rambut. Semangat, dia pun bertanya dari mana asalnya. Perempuan itu tertawa ketika Jack menuduh kalo dia berasal dari New York. She’s no New Yorker, she said laughing, she comes from Georgia (tengkyu lagi buat nengsarah yang udah ngebenerin).

Jadi, buat semua yang protes sama kejakartaan gue, maaf-maaf aja nih. Gue emang anak Jakarta deh! Dan seumur hidup gue nggak pernah ngelihat ada cewek Jakarta apalagi dengan atribut segaul itu yang nekad nyisir rambut pake sisir plastik murahan yang biasa dipake buat nyasak di depan umum. Dalam sebuah CAFE lagi! Gila bener. Mbak, mbak, ke toilet dulu deh kalo emang mau ngeberesin dandanan!

Dan belum selesai kekagetan gue sama kelakuannya, selesai nyisir tiba-tiba cewek itu bangkit dan masuk ke dalam toko buku dan nggak lama kemudian dia kembali ke mejanya membawa...

JRENG... JRENG....

Dua buah buku baru!

Err... mbak, mbak, ini toko buku kale, bukan PERPUSTAKAAN! Kalau mau baca di cafe, beli dulu kek! Kalo nggak, baca di luar aja, gimana? Gue cuman bisa geleng-geleng ketika cewek itu asyik ngebalik-balik isi buku entah apa judulnya itu sambil nyeruput es teh beraroma lemon. Lah, kalo basah bukunya gimana? Kalo robek gimana? Masih mau beli apa?

Pengen deh nanya, “Mbak, maaf, dari Desa Sukatani ya?”

Monday, July 18, 2005

Pesta Kejutan



Produser:
Yungni, seorang AE di salah satu biro periklanan internasional yang punya perwakilan di Indonesia dan punya nama panggilan yang tidak boleh diteriakkan keras-keras di muka umum seperti pernah dilakukan Kenny di Starbucks dan tentunya membuat semua mata melotot mendengarnya: JEMBI.

Sutradara:
Kathy, seorang copywriter yang bekerja di tempat yang sama dengan Yungni; seorang perempuan dengan imajinasi yang sangat errr... vivid dan nggak takut untuk mewujudkan alam khayal ke dunia nyata (stetoskop lo boleh gue pinjem ya kapan-kapan:D).

Sinematografi:
Kenny, seorang penulis lepas yang pernah bekerja di beberapa media cetak dan online, dan terakhir bekerja di salah satu rumah produksi internasional yang membuat Indonesian Idol yang dengan kamera Olympus andalannya udah berhasil memotret berbagai selebriti dunia mulai dari punggung dan tampak samping Collin Farrel sampai wajah cantik Julie Delphi dalam konperensi pers Festival Film Cannes.

Penata Artistik:
Heru, seorang reporter dari salah satu kantor berita asing ini memiliki perawakan yang lumayan tinggi dan besar sehingga sangat membantu tugas-tugasnya sebagai penata artistik namun harus selalu dibantu untuk berhitung sampai tiga mengingat ujaran andalnya, “emang kalo maen threesome sama berapa orang?”

Para Pemain:
Bowo, seorang marketing di sebuah televisi swasta yang biar lulusan ITB dan IPK-nya 3,8 tapi kalo kumat polosnya sering bikin gue heran dan bertanya-tanya, “jangan-jangan dia pake joki tiap ujian?” Tapi kepolosannya (yang sering tersamar jadi kebolotan) itu merupakan kunci yang membuat drama yang akan dipentaskan menjadi berhasil.

Pram, seorang banker yang memiliki hasrat terpendam tampil di Broadway itu jelas tidak perlu diragukan kemampuan aktingnya, khususnya untuk peran-peran yang senada dengan Madam Butterfly dan Vivian (Pretty Woman).

Iwan, seorang akuntan yang juga tetangga gue beda lantai ini nggak perlu berakting secara tampang juteknya udah pasti bakalan sukses nyembunyiin semua rahasia yang udah dikemas dengan rapi ini.

Gue, the birthday boy, teteup imyut dan kiyut di usianya yang ke errr... dua puluh enam ini.

Sinopsis:
Mulai Jumat malam gue sampe Sabtu, gue diajakin Bowo, Pram, dan Iwan buat jalan malam minggu, 16 Juli kemaren. Gue sih okeh aja tapi nggak bisa janji jamnya secara gue seharian itu nemenin nyokap ke Sawangan dan Alam Sutera di Serpong buat nyari euphorbia, tanaman bunga hias yang dikembangin nyokap di kampung. Hari udah jam tiga sore waktu gue akhirnya bisa mastiin untuk ketemuan jam 7 malam di PS. Pram yang ada janji sore itu nggak bisa pergi barengan dan bakal nyusul.

Tanpa gue sadari, ketika gue keluar bareng Iwan dan Bowo, Jembi, Kathy, Heru, dan Kenny sedang ngumpet di parkiran mobil depan rusun tempat gue tinggal. Dan begitu kita menghilang mereka langsung beraksi masuk kamar gue make kunci duplikat yang dengan culas udah diduplikat tanpa gue sadari tujuannya. Kathy hampir aja bikin kesalahan ketika sebelomnya menyangka orang lain lewat dan berpikir kalo itu gue. Kebayang dong kalo mereka nekad keluar dan kwang... kwang... papasan ma gue;).

Di PS kita cuman makan malam dan belanja jendela alias window shopping aja. Pram, yang belom pernah ke tempat gue, dan Bowo mengajukan usul untuk maen ke tempat gue aja sesekali, daripada nongkrong di luar, apalagi Bowo mengajukan alasan tambahan kalo dia lagi mulas dan pengen you-know-what. Ya udah, gue setuju dan kita pun balik ke rusun.

Seharusnya gue curiga, ada banyak banget bolong dari semua rencana itu: mulai dari Pram yang keukeuh biar ujan buat maen ke tempat gue dengan belanjaan dari supermarketnya, Bowo yang kok tumbenan nggak mau ngupi di Starbucks, Iwan yang errr... duh ini anak emang nggak ada matinya, biar udah gue pikirin tapi asli nggak ada yang seharusnya bikin gue curigesyen.

Dan dengan hati bersih tanpa curiga, gue buka pintu kamar....

"SURPRISEEEEE!!!!!!!!"

Gue kaget melongo sambil mejamin mata yang silau oleh sinar lampu yang mendadak menyala dan jepretan kamera Kenny (mana fotonya biar gue aplod nih!) ditambah dengah hujan confetti. Kamar gue udah penuh dengan balon-balon dan hiasan kertas kerjaannya Heru. What a view!

Duh, gue terharu, hiks... Sukses ya lo semua bikin pesta kejutan pertama gue, hehe... Jadi bisa dimengerti kalo gue nggak curigesyen dong secara gue emang anaknya nggak pernah punya pikiran jelek sama orang:P.

Tapi coba yaaa... jangan pada komplen kalo di tempat gue belom ada piring, sendok cuman dua, de el el de es be. Woi, gue baru pindah dan gue emang nggak pernah makan di rumah kali:P. Justru mestinya gue dapet kado buat rumah baru gue. Jadi, dengan biadab, kue dan es krim pun kita makan berame-rame tanpa piring.

Dan ketika jam menunjukkan angka dua belas dan umur gue pun bertambah dan berkurang satu tahun, gue mendapat ucapan selamat dari semua pengejut dan hape gue mulai jejeritan. Gue nggak mungkin nyebutin semua yang udah nyelametin gue lewat berbagai cara: telepon, sms, pesan di blog dan email, tapi yang pasti gue mau bilang TERIMA KASIH karena udah ingat ulang tahun gue dan mendoakan gue. You all made my day.

Malam itu, gue merasa jadi orang yang paling kaya di dunia.

Monday, July 11, 2005

INDONESIAN IDOL 2 Zzzzzzzzzz....

Indodol tahun ini enggak kelewat asyik buat gue karena beberapa hal. Pertama, gue mesti les Perancis setiap Selasa-Jumat. Kedua, gue kekurangan pemasok tiket gratisan secara Agus dan Kenny udah nggak kerja di Freemantle lagi, tinggal Miund yang temannya segudang jadi waiting list-nya kayak ngantri ngobatin jerawat sama Dokter Ronny di MMC dan Barrie yang biar belum punya teman segudang di Jakarta—maklum, anak Cirebon yang umumnya kan lebih gemar nonton tarlingan di kolong Jembatan Jatinegara daripada Indodol;)—tapi akrab dengan orang yang tepat jadi sering banget dapet tiket gratisan. Tapi betenya, Barrie punya teman emas, yang selalu dia lagi dia melulu yang diajak nonton, huh! Awas aja kalo pas you-know-who itu udah cabut ke you-know-where dan lo nggak nawarin gue, gue nggak bakalan mau traktir lo di Starbucks lagi! (hihihi… emang kapan gue pernah nraktir ya:P?)

Dan alasan paling utama: pesertanya basi!!! Waktu gue nonton babak pertama Spektakuler di Cafewalk Plangi, cuma satu Idol wannabe yang suara dan interpretasi lagunya bikin gue termehek-mehek seperti dulu waktu Winda nyanyiin lagu Sang Dewi: Mike Mohede. Selebihnya, err… gue baru yakin bahwa yang gue tonton emang Indonesian Idol setelah lihat muka cakep tapi tolol-gagapnya Irgi yang ngomongnya berlepotan mirip Aydin keponakan gue kalo lagi disuapin bubur pisang dan Atta yang cantik dan harus berusaha keras nutupin kedudulan Irgi—lo mesti minta bayaran lebih, Ta! Jangan mau kalo honornya disamain!

Ternyata gue nggak salah, ini emang Indodol! Cuma... kok gini?

Setelah nonton beberapa babak sampe akhirnya nyisain enam peserta, gue rasa Indonesian Idol kali ini tambah ngebosenin karena hasilnya kelewat gampang diprediksi. Nggak ada kejutan berarti seperti tahun lalu (Winda keluar di babak Spektakuler 2—yang gue baru tahu belom lama ini; Lucky kalah dari Delon dan Helena) yang semuanya, biar ngejengkelin, tapi bikin Indodol jadi seru. Belum lagi para Idol wannabes itu punya kemampuan yang khas dan semuanya selalu tampil habis-habisan buat nunjukin yang terbaik yang bikin tiap minggu gue mendukung orang yang berbeda, tergantung penampilan siapa yang terbaik.

Kalo sekarang? Let’s see.

Minggu pertama, Danar keluar walau mungkin para perempuan tampil lebih jelek, tapi Danar juga nggak terlalu luar biasa dan gerakan tangan jurus ombaknya itu sumpah sangat ganggu sehingga bikin gue nggak kelewat komplen ketika dia ditendang keluar. Mike yang paling keren.

Minggu kedua Ronald keluar. Di minggu pertama gue pikir dia lumayan bagus dengan gaya nyayi falsetto-nya walaupun banyak masalah pitch di sana sini. Tapi teman gue, Naek, yang juga gemar Indodol bilang kalo minggu kedua, penampilan Ronald emang jelek, dan gue percaya penilaiannya so, sekali lagi, gue nggak komplen sama hasilnya. Katanya, Mike masih paling keren.

Minggu ketiga Wisnu—yang adalah teman kos Naek di Bandung—ditendang keluar dan gue berhasil nonton langsung secara Kenny dapet tiket dari teman Freemantle-nya. Judika mulai unjuk gigi—yang emang putih dan sangat kontras dengan kulitnya itu—waktu bawain lagu “This I Promise You”. Sekali lagi, suara Mike yang empuk sukses menggerus-gerus perasaan gue waktu dia ngebawain lagu Bahasa Kalbu yang hasilnya lebih ‘nyayat’ daripada suara bindengnya Titi DJ.

Minggu keempat kembali gue nggak nonton dan kali ini yang terdepak adalah Vira yang dibelain sama Gusye punya power saingan sama TOA dan udah nekad manggil Titi DJ “Tante” dan Indra “Oom” secara dia masih 17 tahun. Tapi ndilalah power itu nggak kelihatan selama babak sppektakuler. Yang ada tiap minggu dia ngerusak berbagai lagu dengan interpretasinya yang bikin lagu asyik jadi nggak enak. Dan Mike, masih luar biasa, seperti biasa.

Minggu kelima Yudi ‘si sok Michael Jackson’ akhirnya kelibas komet waktu lagi moonwalking. Sumpeh, gue nggak pernah lihat penyanyi yang segini ngeganggu gayanya. Bawain lagu slow aja dia bergoyang udah kayak nyanyi lagu “Lose My Breath”-nya Destiny’s Child. Hasilnya, dia sering kehilangan nafas dan power suaranya persis speaker mushalla kompleks gue yang cuma menang keras tapi gue nggak pernah yakin sama apa yang gue denger. Errr... Pak Ustadz tadi bilang “Bismillah...” ato “Allahu Akbar...” ya? Artikulasinya sering membaur. Hasilnya hancur. Sementara, biar nggak sehebat biasanya, Mike teteup oke ngebawain lagu rock, katanya ya secara gue nggak nonton:D. Tapi menurut Naek, Judika was the star!

Minggu keenam giliran Glenn si cakep yang keluar. Gue sih nggak kaget karena mestinya Glenn keluar dari kapan tahu karena ini orang emang kalo nyanyi datar banget dan nggak ada gregetnya. Mending Delon kemana-mana kali. Jadi, ketika dia akhirnya keluar, gue kasih standing ovation buat penonton Indodol yang udah milih dengan benar. Dan Mike? Stralah, dia emang dua (ato tiga?) tingkat di atas yang lain. Dia teteup paling juara.

Dan minggu ketujuh, ketika Maya ditendang keluar, gue cuma bisa ngelus dada karena Indodol makin terasa membosankan karena hasilnya terlalu mudah ditebak. Maya si jutek ini emang nggak pernah tampil bener-bener bagus. Tampil dengan ngebawain lagu Festivalnya Vina Panduwinata, dia nyanyi teteup dengan mimik ibu tirinya Cinderella yang lagi ngelempar sapu ke lantai dengan jutek. Gue rasanya pengen ngelempar Maya pake sapu beneran *ibu tiri emosi mode on* secara Teteh Vina itu adalah penyanyi favorit gue dan gue sumprit kagak rela lagu2nya diacak-acak sama Maya, yang mendingan ikutan KDI aja secara kalo dipikir-pikir mukanya mirip banget Iis Dahlia minus kumis getoh lho.

Sementara Monita tampil seperti biasa dengan punggung bungkuk, mata terpejam, mulut meringis, dan suara datar tanpa emosi. Duh, Monita, kamu tahu nggak sih, kalo ngomongin warna suara, kamu tuh nggak kalah dari Mike! Gue serieus. Dan gue yakin, dengan latihan, urusan teknik dan nafas kamu bakal bisa berkembang nyaingin Mike. Masalahnya, kamu nyanyi tanpa emosi. Kamu nyanyi kayak anak TK nekad nyanyi lagu “Hati yang Luka”-nya Betharia Sonatha, hehe... Lempeng aja kayak kamu nyanyiin lagu “Taman Kanak-Kanak”.

Saran gue, Mon, coba pacaran sama seorang playboy abusif, biar kamu bisa ngerasain sakit hati diselingkuhin, digamparin, dan diputusin. Abis itu pacaran sama cowok romantis yang memperlakukan lo seolah2 kamu adalah Juliet-nya. Jadi, ketika kamu nyanyi lagu “Bintang-Bintang”, kamu bakal bisa bikin yang ngedengerin seolah-olah terbang melayang di angkasa. Dan kalo nyanyi lagu sedih, kamu bisa bikin yang ngedengerin garuk-garuk aspal meratapi nasib kayak ngedengerin Eddy Silitonga nyanyi lagu “Mama”! Coba denger deh suara kamu nyanyiin lagu “Oh la la” kemaren. Dataaaaaaaaaar aja, seolah kamu nggak pernah ngerasain kesenangan dan kesedihan sama sekali dalam hidup.

Finalis lain, Harry, tampil ngebosenin. Kembali pamer nafas seolah-olah kemampuan nyanyi yang bagus dan menarik itu cuma ditunjukin dengan nyanyi berbar-bar tanpa narik nafas sekalipun. Bosen. Itu mah bagiannya Harvey Malaiholo yang kalo inget pas nyanyi coda lagu "Seandainya Kita Selalu Satu" gue selalu pengen tepuk tangan sampe tangan kapalan. Tapi Harvey juga nggak terus-terusan nyanyi satu nafas begitu kali. Jadi, biar secara teknis dia bagus, tapi interpretasinya nggak konsisten, dan sayangnya nggak selalu menghibur pula.

Tapi Firman buat pertama kalinya tampil asyik. Sebelomnya, gue rada-rada bete sama gaya Bo Bice wannabe-nya Firman dengan suara dan gaya seraknya yang sama sekali nggak cool. Malam itu, dia ngebawain lagu Bento dengan asyik. Tapi tampil di grand final? Masih ada Judika dan Monita bahkan Harry kali.

Btw, gue bisa nonton babak spektakuler kali ini gara-gara bolos les buat sesyen curhat dengan Ami. Sesyen curhat yang mestinya kelar jam 7 itu ternyata lanjut berkepanjangan sehingga gue putusin untuk sekalian nonton babak spektakuler kali ini di Cafewalk Plangi. Dan pas banget waktu Judika ngebawain lagunya Air Supply, “Making Love Out of Nothing At All”, Ami juga lagi in the mood buat curhat dan Iwan—yang datang belakangan—balas ngegonggongin curhatan Ami. Gue jadi nggak terlalu nyimak. Yang gue denger cuma ini orang artikulasi bahasa Inggrisnya dudul banget ya, saingan sama Joy Tobing yang setiap nyanyi lagu bahasa Inggris, khususnya di grand final waktu nyanyi lagu “The Trouble with Love Is”, bikin gue berpikir bahwa RCTI harusnya nyediain subtitle! Secara kemudian gue bergabung dengan Naek yang Batak, tentunya gue langsung ‘mengkonfirmasi’ ke dia apakah ini emang bawaan lidah Batak susah buat ngelafalin kata-kata dalam bahasa Inggris:D? Naek ngamuk.

Dan My man Mike, yang tampil ngebawain “Crazy Little Thing Called Love”, membuat gue berpikir bahwa persaingan Indodol kali ini seperti partai pertandingan Venus Williams ngelawan Golda. Mo dilihat dari sudut mana juga, udah nggak mungkin banget Golda yang imyut menang lawan Venus yang kekar. Tapi khusus malam itu, penampilan Mike seperti Venus ngelibas Golda dengan 6-0, 6-0 tanpa dapet satu angka pun! Mike bener-bener unjuk kemampuan teknik dan interpretasinya bikin lagu yang udah asyik itu jadi asyik a la Mike! Asli, nggak ada lawan!

Dan gue rela deh, nonton Indodol cuma buat nonton Mike.

Thursday, July 07, 2005

Kamera Polaroid Ayah

“Beliin ayah kamera dong, Yo,” kata ayah - panggilan semua orang ke bokap dari nyokap gue di acara pengajian waktu syukuran pembukaan toko adek gue beberapa waktu lalu.

Gue bengong. Lah, ngapain juga ayah pengen kamera? Kamera nyokap yang lama kan masih ada. Kenapa nggak pake itu aja sih?

“Sekalian alat untuk mencetaknya,” lanjut ayah.

Lho kok malah tambah aneh-aneh aja sih mintanya. Kok tiba-tiba minta dibukain studio foto sih, sekalian aja minta franchise-nya Fuji Image.

“Ayah pengen motoin turis yang datang ke Monumen Khatulistiwa dan Musem Tuanku Imam Bonjol, terus fotonya dicetak di tempat, jadi bisa langsung dibawa,” jelas ayah.

Oke deh, ide ayah emang paling juaranya udah! Waktu nyokap gue minta orang tuanya—ayah dan ibu—untuk pindah ke Jakarta dari kampung mereka di Kumpulan, Pasaman sana, dan ninggalin pabrik es batu mereka untuk dikelola oleh salah seorang adeknya, ayah gue buka warung kelontong di rumah nyokap di Bekasi dan... sebuah perpustakaan mini! Sekarang, coba tebak buku-buku siapa yang jadi pemasok perpustakaan mini itu?

Buku-buku gue tercinta itu tentunya. Semua buku gue: Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Mallory Towers, Si Badung, Trio Detektif, Asterix dan Obelix, Lucky Luke, Hardy Boys, Nancy Drew, Agatha Christie, Sydney Sheldon, aduuhhh... daftar ini bisa tambah panjang! Di akhir 80-an, koleksi buku gue boleh dibilang lumayan banyak. Gue punya semua buku Lima Sekawan dari tulisan Enid Blyton sampe udah berilustrasi dan basi ceritanya. Juga seri-seri yang lain, gue punya lengkap.

Nyokap ngebujukin gue untuk ngerelain buku-buku gue jadi modal awal kakek gue bikin perpustakaan mini. “Kalo ada yang hilang, nanti Mama ganti,” nyokap gue janji. Ya, bukan itu kali masalahnya Ma, banyak di antara buku-buku gue itu adalah edisi pertama dalam bahasa Indonesia. Buat kutu buku kayak gue, itu penting karena setiap ada judul baru dari seri koleksi gue, bisa dijamin gue langsung kabur ke toko buku dan beli buku itu. Dan gue udah ngumpulin buku itu sekitar sepuluh tahun lamanya, nggak heran buku gue sampe ratusan jumlahnya. Buku-buku itu terkumpul dari usaha gue untuk nabung uang jajan, peras oom dan tante gue di sana-sini kalo ada acara khusus kayak ulang tahun ato Lebaran, termasuk nyolong kecil-kecilan kalo nyokap nyuruh gue ke warung beli Rinso dan gue biasanya mendadak amnesia dan ‘lupa’ ngebalikin uang kembalian kalo nggak ditanya *pipi bersemu merah* (Hayo, ngaku, lo juga suka gitu kan:P?)

Dan sekarang, hampir semua buku itu udah hilang kecuali beberapa Agatha Christie, koleksi buku sastra Indonesia dan dunia gue kayak Siti Nurbaya, Belenggu, atau drama-dramanya Shakespeare yang udah diterjemahin Balai Pustaka. Gue cuman bisa nangis berguling-guling di aspal sambil merutuki nasib kalo inget semua buku gue yang udah nggak jelas rimbanya itu. Sebaik-baiknya gue, sesabar-sabarnya gue, kalo gue inget buku-buku gue itu, gue cuma bisa pasrah dan berharap yang terbaik bagi mereka semua *sayap gue tumbuh*.

Ayah emang nggak bisa diam, dia harus selalu bekerja dan nggak bisa diam, tukang keluyuran yang kalo pulang sering disambut omelan almarhumah nenek gue. ”Ayah ko sarupo urang muda keceknyo! Malala se karajonyo!” (“Ayah nih kayak anak muda aja lagaknya! Keluyuran melulu kerjanya!”) *eh, bener kan ya bahasanya, Nelfa;)?*

Dan kalo ibu ngadu ke nyokap buat ngelarang ayah pergi ke sana ke mari, nyokap gue biasanya ngebelain, “biar aja, Bu. Ayah kalo diam aja bisa sakit.”

Ayah emang gitu, nggak bisa diam sementara ibu nggak suka pergi kemana-mana. Bumi dan langit tapi mereka nggak pernah berpisah hingga nenek gue meninggal awal Januari tahun ini. 58 tahun. Setelah gagal buka warung kelontong dan perpustakaan mini, ayah jadi pemasok bahan-bahan makanan buat RSCM (biasa nepotisme secara nyokap gue waktu itu kan Kepala Instalasi Gizinya), trus dia buka meubel kecil-kecilan secara gue tinggal di daerah Klender yang emang terkenal dengan kerajinan meubel kayu, dan sekarang, karena ngikut pindah ke Bonjol sama bokap dan nyokap, dia kepingin jadi TUKANG FOTO KELILING!

Dan Senin kemaren, waktu gue ke rumah kakak gue di Bekasi, kakek gue kembali ngelontarin permintaannya, kali ini dengan nada jengkel. “Ayah bisa nggak sih minta tolong kamu, beliin kamera polaroid.”

“Yah, filmnya mahal dan susah dapetnya. Lagian turis yang datang udah pada bawa kamera sendiri, digital lagi,” jawab gue.

“Terserah,” ayah berkeras. “Ntar ayah ganti uangnya. Kamu tinggal pergi ke kota buat cek harga dan barangnya.”

Ini bukan masalah uang, kali, gumam dalam hati gue, jengkel sama kemauan ayah yang aneh-aneh itu. Umurnya udah hampir 87 tahun getoh lho, tapi masih nggak bisa diam dan selalu ingin sibuk.

Buat ngindarin perdebatan, gue bilang, “iya, nanti Yoyo coba cari tahu.” Dan gue pun kabur menghindari omelan ayah lebih lanjut.

Hari udah jam 10 malam, gue dan adek gue pun pamit pulang sama kakak dan bokap-nyokap yang baru datang dari Padang. Nggak sadar bahwa beberapa jam kemudian kita udah akan berkumpul lagi.

Dalam duka.

***

Selasa pagi, 5 Juli 2005, jam 1 kurang seperempat, gue baru tidur setengah jam ketika hape gue menjerit.

“Yo,” suara Ratna, adek ipar gue. “Ayah koma, masuk RS Ananda.”

“Hah?” gue langsung bangkit dari tempat tidur. “Yoyo ke sana sekarang.”

Gue langsung cuci muka dan sewaktu gue lagi ganti baju hape gue bunyi lagi.

“Yo, ayah udah pergi.”

Gue lemas dan nggak percaya sama pendengaran gue. Ayah udah nggak ada. Kakek gue yang enerjik itu udah pergi. Tiga jam yang lalu dia masih baik-baik aja. Gue masih ngobrol dengannya. Sekarang udah dipanggil-Nya.

Ketika gue inget obrolan terakhir gue dengan ayah, gue ngerasa seperti ditampar balok es. Badan gue terasa menggigil. Dan ketika kain kafan satu per satu membungkus tubuhnya yang kurus, air mata gue mengalir mengingat semua obrolan itu. Gue nggak ikut mencium ayah untuk yang terakhir kalinya karena gue nggak bisa menahan air mata gue untuk berhenti. Air mata yang gue tahan sejak pertama kali gue mendengar berita itu.

Gue menangis karena perasaan terakhir yang ayah rasakan kepada gue adalah kemarahan. Gue menangis karena perasaan terakhir yang gue rasakan terhadap ayah adalah kejengkelan. Gue menangis karena tindakan terakhir yang gue lakukan kepada ayah adalah penghindaran. Gue menangis karena kenangan terakhir yang gue berikan kepada ayah adalah ketidakpercayaan gue dan bukan dukungan terhadap semangatnya untuk terus berbuat sesuatu di usianya yang lanjut.

Dan gue pun menangisi keegoisan gue yang enggan direpotkan oleh urusan yang gue anggap nggak penting; menangisi kesombongan gue yang menganggap ayah gue nggak berdaya hanya karena tua; dan menangisi kealpaan gue bahwa usia ayah sudah lanjut dan seharusnya gue selalu berusaha menyenangkan hatinya. Hingga kain kafan itu menutup wajahnya yang seperti terlelap, air mata gue masih belum berhenti mengalir.

Ketika bongkahan tanah menutupi kuburnya, gue hanya bisa memohon:

Ya Allah, biarkan ia mengembara di semua sudut Surga-Mu. Sungai-sungainya yang mengalirkan air susu dan madu, serta istana-istananya yang terbuat dari emas, dan perak sebening kaca. Dan ya Allah, berilah kamera-Mu padanya, agar dapat ia potret semua sudut bukti keagungan-Mu. Kirimkan foto-foto itu dalam tidur agar hamba kembali percaya pada-Mu. Seperti dulu.

Dan sampaikan pada ayah, peluk ciumku untuk ibu, dan sesal maafku yang tak berkesudahan padanya. Kelak bila Engkau beri hamba kesempatan, akan hamba pinta sendiri maaf itu darinya.

Bila saat itu tiba.

Bila Engkau izinkan kami kembali bersama.

Amin.

Saturday, June 11, 2005

Mohon doa restu

Telah pindah dari blogdrive ke blogspot, guario, pada hari Sabtu Wage, 11 Juni 2005. Besar harapan kami agar ucapan selamat dapat diwujudkan dalam bentuk ibook atau ipod. Terima kasih.

Thursday, June 09, 2005

Dari Faiz untuk Khaerunisa

Faiz, bocah kecil yang jago nulis puisi itu, menulis puisi ini setelah mendengar cerita dari sang bunda tentang kemalangan Khaerunisa.

Dan gue menggigil membacanya.


KISAH DARI NEGERI YANG MENGGIGIL
(untuk adinda: Khaerunisa)

Kesedihan adalah kumpulan layang-layang hitam
yang membayangi dan terus mengikuti
hinggap pada kata-kata
yang tak pernah sanggup kususun
juga untukmu, adik kecil

Belum lama kudengar berita pilu
yang membuat tangis seakan tak berarti
saat para bayi yang tinggal belulang
mati dikerumuni lalat karena busung lapar

: aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kulihat di televisi
ada anak-anak kecil
memilih bunuh diri
hanya karena tak bisa bayar uang sekolah
karena tak mampu membeli mie instan
juga tak ada biaya rekreasi

Beliung pun menyerbu
dari berbagai penjuru
menancapi hati
mengiris sendi-sendi diri
sampai aku hampir tak sanggup berdiri

: sekali lagi aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kudengar episodemu adik kecil
Pada suatu hari yang terik
nadimu semakin lemah
tapi tak ada uang untuk ke dokter
atau membeli obat
sebab ayahmu hanya pemulung
kaupun tak tertolong

Ayah dan abangmu berjalan berkilo-kilo
tak makan, tak minum
sebab uang tinggal enam ribu saja
mereka tuju stasiun
sambil mendorong gerobak kumuh
kau tergolek di dalamnya
berselimut sarung rombengan
pias terpejam kaku

Airmata bercucuran
peluh terus bersimbahan
Ayah dan abangmu
akan mencari kuburan
tapi tak akan ada kafan untukmu
tak akan ada kendaraan pengangkut jenazah
hanya matahari mengikuti
memanggang luka yang semakin perih
tanpa seorang pun peduli

: aku pun bertanya sambil berteriak pada diri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Tolong bangunkan aku, adinda
biar kulihat senyummu
katakan ini hanya mimpi buruk
ini tak pernah terjadi di sini
sebab ini negeri kaya, negeri karya.
Ini negeri melimpah, gemerlap.
Ini negeri cinta

Ah, tapi seperti duka
aku pun sedang terjaga
sambil menyesali
mengapa kita tak berjumpa, Adinda
dan kau taruh sakit dan dukamu
pada pundak ini

Di angkasa layang-layang hitam
semakin membayangi
kulihat para koruptor
menarik ulur benangnya
sambil bercerita
tentang rencana naik haji mereka
untuk ketujuh kalinya

Aku putuskan untuk tak lagi bertanya
pada diri, pada ayah bunda, atau siapa pun
sementara airmata menggenangi hati dan mimpi.

: aku memang sedang berada di negeriku
yang semakin pucat dan menggigil

(Abdurahman Faiz, 7 Juni 2005)

Banyak yang trenyuh dan speechless baca tulisan Faiz untuk Khaerunisa, lihat komen mereka saat gue masih di Blogdrive! Komen baru silakan klik yg di bawah ini.

Khaerunisa

Gue cuma bisa duduk dan menangis di kantor ketika membaca berita ini. Rasanya lemah dan nggak punya daya apa-apa. Air mata emang nggak cukup, nggak akan pernah cukup. Tapi saat ini, gue ingin bersedih dulu.

PEMULUNG NAIK KRL UNTUK MENGUBUR ANAKNYA
Salemba, Warta Kota

PEJABAT Jakarta seperti ditampar. Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah. Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor pun geger Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn). Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL.

Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari," ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu. Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet. Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun.

Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.

Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan. Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku.

Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya.

Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi Karen atidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor. Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. "Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia," ujarnya.

Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz, mengatakan peristiwa itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan kesehatan bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin kata Wardah.

Rekan-rekan blogger yang ingin berbagi silakan curahkan simpati kalian di sini. Atau klik yang di bawah ini.

Tuesday, June 07, 2005

Pengajian (2/2)

"Terus kapan nih?" Pak Ustadz berkata sambil tersenyum dan mengambil sepotong semangka dari piring.

Gubraks! Kapan apaan? Walau gue tahu apa yang dimaksud, gue tetap menjawab dengan jawaban standar gue, "kapan apaan, Pak Ustadz?"

"Eh, kapan apaan lagi. Kapan nikah? Mumpung saya masih hidup nih; umur saya sekarang udah 64, udah dapet bonus satu tahun, jadi cepetan dong, Yo."

"Hehe...," seperti biasa, pertanyaan itu gue jawab dengan template yang sama, "Doain aja, Pak."

Gue pun buru-buru kabur dari ruangan itu dan pindah ke teras sambil ngobrol sama kakek, kakak dan abang ipar gue. Setengah jam kemudian, Pak Ustadz siap-siap pulang ke rumah diantar adek gue. Secara rumahnya dekat rumah gue, ya gue ikutan nebeng karena gue mau ambil majalah Premiere baru gue yang udah dikirim. Lagian, buat apa keluar duit buat bayar taksi lagi.

Tapi apa yang terjadi dua puluh menit ke depan akan menyiksa gue sehingga gue mending bayar Golden Bird kalo perlu dari pada harus nebeng mobil adek gue.

Karena, begitu pintu ditutup, dan mobil mulai jalan, seolah nggak sabar dan nggak puas, Pak Ustadz langsung buka mulut, "jadi saya tanya lagi nih, Yo, kapan?"

Gue hanya bisa nganga mendengarkan pertanyaan ini dan menyadari bahwa gue udah masuk ke dalam perangkap kepelitan gue sendiri! Hiks...

Dengan ketabahan Faradilla Sandy di film Ratapan Ibu Tiri, tapi nggak pake air mata yang mengalir seperti air zam-zam itu ya, gue menangkis pertanyaan Pak Ustadz dengan jawaban standar lagi, "saya sibuk, Pak."

"Wah, justru itu enaknya punya istri, Yok," katanya. "Orang laki (dia emang Betawi bo) capek pulang kerja, ada istri menunggu di rumah buat mijitin kita. Masya Allah, nikmat bener dah!"

"Hehe... kalo istrinya nggak mau, gimana, Pak Ustadz," gue coba ngeles.

"Nggak mungkin. Makanya kalo kita cari istri mesti cari yang solehah." Lah, bukannya gue diajarin kalo setiap orang dikasih pasangan yang sepadan. Gue begajulan begini masa ngarep dapet yang super solehah, sama aja kayak Mandra pengen ngawinin Tamara Bleszinky nggak sih?

Dan gue pun ngebayangin Mel, demi cita-cita menjadi istri yang solehah, setiap malam mijitin abang yang baru pulang kerja (hayoo, ngaku, pernah nggak lo:P?), sementara Adam maen drum dan Fira nonton DVD School of Rock untuk ke-1.512 kalinya;). Walau rasanya ada yang janggal dalam gambaran ini, tapi stralah, hihihi... (Amin, Mel, gue doain kok)

"Karena perempuan shalehah itu adalah sebaik-baiknya perhiasan," Pak Ustadz keukeuh ngelanjutin ceramahnya yang disambung beliau dengan melafalkan ayat-ayat Al Quran. "Wablablabla... blablabla...." (maaf ya, gue nggak hafal ayatnya)

Duh, berasa dapet surat peringatan nih gue. Gue layangin pandangan keluar, dan ngitungin mobil yang lewat sambil berusaha menulikan kuping. Baru sampe Buaran, sepuluh menit lagi. Lama yaaaa...

"Dan jangan jadikan pekerjaan sebagai alasan, Yo," Pak Ustadz Murtadho melanjutkan. "Endeswa... endeswe... endebra... endebre..."

Gue udah nggak sanggup, kalo diterusin bisa-bisa gue lompat keluar mobil yang lagi jalan ini! Gue ambil hape dan gue sms seluruh dunia untuk meminta dukungan moral. Tapi apa daya, gue melupakan satu fakta bahwa teman-teman gue, yang nggak perlu gue sebutkan namanya satu per satu itu, adalah termasuk orang-orang yang berbahagia di atas PENDERITAAN orang lain. Dan gue ingetin ya, doa orang yang teraniaya itu makbul, huh! Untung gue orang yang sabar dan nggak tega ngedoain yang jelek-jelek, huh!

Tapi, seperti sms Ben yang bijak (carmuk sama calon tetangga, hihi...) "badai pasti berlalu," dua puluh menit kemudian, begitu adek gue meminggirkan mobilnya di pinggir jalan masuk ke kompleks perumahan gue, gue turun mobil, badai itu pun berlalu. Mobil adek gue melaju bersama ‘badai’ di dalamnya. Lega.

***

Senen pagi ini gue dapet sms dari Apang, sahabat SMA gue yang baru dapet anak kedua, "Yo, lo ada acara hari Sabtu siang?"

Gue jawab, "Buat lo, gue kosongin. Kekahan ya?"

Tapi gue kemudian menyadari sesuatu hal dan langsung nelepon Apang,"Eh, pake pengajian nggak ya?"

"Kenapa? Emang lo mau dateng?" Apang nggodain gue.

"Ya nggak laaaaaaaahhh... gue cuma mau dateng pas makan-makannya," jawab gue tegas.

"Kalo gitu dateng siang aja," jawab Apang pengertian.

Gue trauma.

Jangan menambah dosa dengan nulis komen yang bikin gue tambah trauma, seperti komen yang di blogdrive! Nulis yang manis-manis yuk. Klik yang di bawah! ;)

Monday, June 06, 2005

Pengajian (1/2)

Secara kebiasaan keluarga gue, yang diajarin sama nyokap yang cinta sekali bikin acara selamatan lengkap dengan pengajian dan makan-makannya setiap kali ada peristiwa penting, adek gue pun melestarikan kebiasaan itu dengan bikin selamatan buat ngeresmiin tokonya.

Duh, gue udah lama banget rasanya nggak pernah ikutan acara-acara begini sejak nyokap pindah ke Bonjol. Kalo dulu sih, jangan tanya. Gue udah enggak tahu deh berapa jumlah pengajian yang gue datengin seumur hidup gue. Sampe-sampe, Ai—sahabat gue di kampus yang lagi bertugas di Moskow—pernah berkomentar, "hidup lo kayaknya cuman buat pengajian sama kawinan ya, Yo."

Lah, gimana nggak? Kalo hampir setiap wiken gue mesti nganterin nyokap gue ke 1001 acara pengajian dan kawinan. Dengan tabah gue sopirin nyokap gue kemana-mana; mulai dari pengajian di Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK)—yang udah kayak Arisan nggak resmi orang Padang se-Jakarta itu, sampe pengajian kelompok ini dan itu di sana dan sini.

Di antara semua acara ceramah dan pengajian itu, gue paling suka nganterin nyokap ke pengajian di MASK. Dan setiap hari Minggu pagi, sering kali tanpa mandi karena gue bangun selalu telat ketika semua orang udah siap berangkat, dengan modal cuci muka dan sikat gigi (kadang inipun nggak sempat), tetap memakai kostum yang sama buat tidur—apalagi kalo gue lagi males ganti celana panjang, tak lupa diiringi omelan nyokap mulai dari soal susahnya ngebangunin gue sampe betapa joroknya gue, gue masuk mobil yang udah dipanasin dulu sama bokap.

Di masjid, kita punya kebiasaan masing-masing. Bokap gue dengan buku catatan kecilnya selalu masuk ke dalam masjid, sementara nyokap gue memilih duduk di luar, di depan aula bareng almarhumah nenek gue dan salah seorang sodara perempuan yang ikut buat jadi dayang-dayangnya nemenin belanja kalo ceramah udah kelar.

Tebak apa yang gue kerjain? Gue selalu jalan-jalan sendirian di halaman masjid buat cari, tentunya: SARAPAN! Lapar, tahu! Jadi acara pertama gue di masjid adalah nentuin menu sarapan pagi itu. Hmm... minggu lalu gue udah makan sate, jadi minggu ini giliran soto, dan minggu depan pecel. Sering, kalo lagi laper banget, sate dan soto sekaligus juga bisa gue sikat.

Dan setelah sekian lama nggak pernah pergi pengajian, hari Minggu itu, gue datang ke acara selamatan toko adek gue. Sampe di sana, pengajian udah kelar, dan tinggal acara makan-makan. Begitu gue dudukkan pantat gue di tikar, gue ditegor oleh seseorang yang nggak gue lihat sebelomnya.

"Yo, kemana aja, jarang kelihatan," seorang pria setengah baya menyapa gue.

"Eh, Pak Ustadz," gue menyapa sambil mengulurkan tangan menyalami Pak Ustadz Murtadho. Pak Ustadz Murtadho ini adalah salah seorang guru mengaji gue waktu kecil karena gue punya banyak guru, hehe... Dia juga imam di mushala dekat rumah dan kalau ada acara pengajian, sering ditanggap nyokap gue.

Sambil nambahin sambal di mangkok berisi soto bikinan Ratna, gue jawab pertanyaan standar itu dengan santai, "Saya kos sekarang."

"Pantes," jawab Pak Ustadz sambil tersenyum.

Senyum berbisa sebelom dia ngejatohin bom itu.

komen blogdrive!