Tuesday, March 29, 2005

Begini caranya makan pisang

PERINGATAN BUAT YANG DI BAWAH UMUR: Maaf yaaa… cerita ini emang bakal bisa diartiin macem-macem. Gue udah diomelin gara-gara nggak ngasih kategori R-rated (gila ya, ini mah belom sampe X getoh lho) sampe Zubia dan Buna ikutan baca, hehe… Yang merasa udah gede, yuk yak yuuk…

Di satu Jumat malam yang cerah, gue memutuskan untuk pergi ke warung internet bareng Kenny selesai kita les Bahasa Prancis di CCF. Kebetulan gue pengen ngaplod tulisan di blog – gue lupa tentang apa – yang nggak sempat gue aplod di kantor.

CCF Wijaya lokasinya sangat dekat dengan sebuah warnet yang, sejak gue tahu tempatnya, gue rekomendasiin ke semua teman gue yang suka nyatronin warnet 24 jam. Namanya Warnet Harry’s. Letaknya di ujung Jalan Wijaya I, pas di perempatan dengan Jalan Iskandarsyah dan Prapanca.

Gimana gue nggak cinta abis sama warnet yang satu ini. Udah cuman bayar lima ribu satu jam, pake webcam pula, dan... ini yang amat sangat penting buat gue, mereka nyediain KOPI all you can drink sampe mabok kopian GRATIS! Kadang, mereka juga nyediain snack berbagai rupa, dari keripik singkong sampe kentang, masih gratis juga! AC-nya juga dingin, dan ruangan untuk mereka yang pengen bunuh diri pelan-pelan (maaf ya, Pe:P) pake asap dan mereka yang nggak suka ngasap dipisah!

Oh, indahnya hidup ini kalau semua warnet seperti ini, bukan? Karena itu, demi kemaslahatan para insomniawan (kayak Benny), para jombloers (kayak Benny juga), pengobrol dan pelihat-lihat maya (masih kayak Benny), gue pun sampaikan kabar suka cita ini! Telah hadir warnet yang paling tepat untuk kita semua! Juru selamat kantong tanpa mati gaya telah datang!

Coba, mari berhitung kalo mau pake internet tengah malam di Starbucks Thamrin, misalnya. Mereka nge-charge 40 ribu untuk setengah jam (Rese! Mangkenye gue nggak pernah mau, di samping notebook gue emang nggak ada wi-fi-nya, hihihi...), ditambah coffee of the day yang tall (pilihan murah meriah enak) yang harganya 16500 perak, et voila! 56500 habis cuman buat setengah jam internetan! Nehi Babu-ji (baca: gue belom cukup kaya)!

Cuman sebelnya, yang berpikiran sama seperti gue dan Kenny untuk menghabiskan Jumat malam mereka di Harry’s ternyata banyak. Kedua ruangan yang isinya masing-masing sekitar 14 komputer penuh! Akhirnya kami mutusin untuk menunggu di ruangan yang bebas rokok.

Sementara Kenny sibuk sendiri, gue pelototin orang-orang yang sedang pake internet, kali-kali aja ada yang bakal selesai. Btw, satu hal yang nggak kalah penting dan menyenangkan kalau memakai internet di Harry’s adalah privacy yang terjaga. Setiap dua komputer berada dalam satu cubicle yang tertutup. Masing-masing nggak bisa ngelihatin apa yang dilakukan oleh orang di sebelahnya. Namun karena jumlahnya yang ganjil di setiap baris, khusus di pojok terdekat ruang tunggu, ada dua komputer di tiap baris yang memperlihatkan pemakainya.

Dan kebetulan, kedua komputer itu dikuasai oleh dua orang perempuan berusia sekitar 30-an. Dari tempat gue duduk, pandangan gue paling jelas melihat ke arah seorang Cici, gue curigesyen dia keturunan Tionghoa, yang bertubuh lumayan tambun dengan rambut sepunggung dan ikal berwarna kecoklatan. Gue lihat dia asyik ketak-ketik kibord sambil cekikikan memandang ke arah webcam yang terletak persis di atas monitor komputer. Gue asumsiin dia pasti ceting.

Gue bilang ke Kenny, “gila ya warnet ini kalo wiken, isinya ajang cari jodoh banget deh!”

Kenny mengiyakan komentar gue, “Ngarep apa lagi lo?”

Iya sih, cuman kalo semua pada ceting, bisa lama dong. Lah, giliran gue kapan? Padahal sumpeh lo, gue nggak pengen ceting sama sekali. Cuman ngaplod, udah. Sementara Kenny juga cuman perlu ngirim imel (waktu itu dia belum punya Ibook gaya kebanggaannya yang bikin gue siriq setengah mampus itu yaaa...). Malas berlama-lama, akhirnya kami putuskan untuk menunggu selama sepuluh menit lagi.

Gue dan Kenny kembali sibuk sendiri-sendiri. Sementara gue asyik ngelihatin para perempuan itu, Kenny membaca. Tiba-tiba si Cici Tambun tadi membungkukkan badannya sambil menjulurkan tangannya ke arah lantai. Ternyata dia mengambil pisang ambon dari tasnya. Mendadak, gue berasa ikutan lapar, maklum kalo udah lihat makanan gue selalu ngeces.

Tapi si Cici ini kemudian melakukan tindakan yang membuat gue nganga selebar-lebarnya dan ngeces beneran. Kali ini bukan karena lapar tapi karena terlalu terperangah. Gimana nggak?! Pisang di tangannya itu dia arahkan ke webcam sambil tersenyum centil. Lalu dengan perlahan, satu demi satu kulit pisang itu dia buka sehingga tinggal batang buahnya yang putih berdiri menantang, tegak dan keras, sambil terus dia acungkan ke arah webcam.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari webcam, Cici Tambun menjilat batang ranum itu perlahan-lahan sambil memejamkan matanya. Ketika lidahnya berhenti di ujungnya yang lancip, tiba-tiba mulutnya membuka lebar dan batang yang putih itu ia masukkan ke dalamnya. Batang pisang yang telah telanjang dari kulitnya itu dia masukkan jauh ke dalam mulutnya. Gila nih perempuan, tenggorokannya panjang juga ya. Tapi, nggak eneg apa?

Ketika dengan perlahan dia menarik pisang itu dari dalam mulutnya, gue pikir pisang itu udah habis dia makan, tapi tidak! Sekali-kali tidak! Pisang itu masih utuh! Putih dan menjulang. Dan sambil terus memandang ke arah webcam dengan tatapan mata yang menggoda, dia masukkan lagi batang putih itu ke dalam mulutnya. Perlahan ia pun menghilang dan menyesaki ruangan mulutnya.

Tiba-tiba tangannya menyentakkan batang itu ke atas dan ketika batang itu dikeluarkan, ujungnya yang lancip sudah rata! Aaaahhh... lega gue, akhirnya pisang itu dimakannya! Gue ngeces lagi. Kali ini gue beneran lapar.

Setelah tersentak dari rasa kaget, gue langsung memukul tangan Kenny sambil berbisik, “Ken, lihat cewek itu makan pisang deh!”

Tanpa sadar sedang diperhatikan oleh gue dan Kenny, Cici Tambun itu kembali memasukkan pisangnya ke dalam mulut sambil mengarahkannya ke webcam dan tersenyum genit dengan mata mengerling penuh arti kepada siapapun yang ada di ujung sana. Batang putih yang telah terpapas itu ia masukkan lagi ke dalam mulutnya sambil tetap memandang ke arah webcam dengan penuh arti.

Gue dan Kenny terlalu syok melihat live show tersebut sehingga kami saling bertatapan dan seolah-olah membaca pikiran masing-masing dan berkata, “pulang yuk.”

Dan gue belom pernah makan pisang lagi sejak saat itu.

Tapi siapa sih yg gak suka pisang? Walaupun di luar sana masih saja ada penyuka pisang in denial - yg menikmati pisang secara diam2, seolah2 makan pisang adalah dosa - komen2 ini membuktikan antusiasme para banana mania terhadap pisang tak pernah lekang! Masih di Blogdrive.

Monday, March 21, 2005

To nyontek or not to nyontek, that is the question

Gue nggak pernah nyontek waktu SD. Satu kalipun. Boro-boro nyontek sama temen sekelas, yang ada ntar nilai gue jadi lebih jelek. Err… maklum, zaman SD gue masih berjaya sebagai juara kelas yang tak tertandingi, hihi… Tapi teman-teman gue nggak ada yang berani minta contekan ke gue karena gue terkenal pelit dan nggak pernah mau ngasih contekan. Abis, gue selalu diajarin bahwa nyontek itu salah dan gue harus percaya sama jawaban gue sendiri. Kalopun salah, yang penting hasil usaha sendiri.

Perkenalan gue dengan mencontek dimulai kelas satu SMP diajarin teman sebangku gue, Supriyatno (Pak, dimanakah engkau berada?). Waktu itu ulangan PMP dan seperti biasa gue dengan pelit menutup kertas ulangan gue supaya nggak bisa dilirik. Tapi pas kertas ulangan mau dikumpulin dan gue membiarkan kertas gue tanpa perlindungan di atas meja, Yatno langsung ngelihat jawaban gue dan mengganti jawabannya dengan cepat. Gue terlalu kaget untuk bereaksi seperti Mr Bean yang sok pura-pura nutup jawabannya itu.

Yatno, anak Jawir tulen yang kesannya lelet dan halus ini kalo nyontek bisa jadi sangat sigap dan beringas, hehe… Tapi biar suka nyontek, Yatno adalah anak yang sopan-santunnya paling juara kelas. Gue heran kok bisa sih ada anak sesopan ini! Bayangin aja, kalo Yatno maen ke rumah gue dan jalan lewat depan nyokap gue, dia bakal membungkukkan badannya sampe sembilan puluh derajat dan tangannya yang satu akan menjulur ke bawa, errr... agak-agak gorilla loook getoh, terus tangan satunya dilipat di punggung (Doel, tengkyu buat tambahannya).

Yatno! Nyokap gue bukan Sultan getoh lho! Gue pun protes sama kebiasaannya, "No, coba ya, lo biasa aja dong kalo lewat depan nyokap gue! Ntar nyokap gue punya ide aneh2 gara-gara ngelihat lo kelewat hormat begini! Bisa-bisa gue disuruh cium tangan tiap mau berangkat sekolah! Ngerepotin gue kan! Pokoknya kalo lo maen ke rumah gue, lo nggak boleh bungkuk2! Awas lo!"

Aduh, tolong jangan menyernyitkan dahi ya, gue emang nggak pernah cium tangan ortu gue atopun berbungkuk-bungkuk depan mereka dari kecil. Lha wong nggak dibiasain dan emang bukan budaya keluarga gue nunjukin hormat ke orang tua dengan cara seperti itu.

Eniwei, setelah dicontek Yatno untuk pertama kali itu, gue pun mulai lebih lunak sama prinsip anti-nyontek gue. Tapi teteup gue nggak kelewat murah hati juga, cuman satu-dua jawaban yang gue kasih setiap ditanya.

Tapi, kelas dua SMP mengubah segalanya. Gue duduk satu bangku dengan Johnson, teman sekelas gue di kelas satu. Di belakang gue duduk Vita, juga teman sekelas dulu. Gue naksir Vita. Menurut gue dia manis, hehe... Anaknya berkulit gelap ala mbakyu-mbakyu jamu gendong gitu deh. Vita, yang kalo ngomong suaranya pelan banget sampe gue rasanya pengen pinjem TOA punya Pak Olyas, guru olahraga, dan memberikannya ke Vita biar suaranya bisa lebih kedengeran. Vita yang rumahnya gus satronin tiap hari pake sepeda cuman buat maen atari.

Dan gue rasa peletan para Jawir yang harus gue derita hingga sekarang dimulai dari sini, dari saat gue naksir Vita dan berusaha menarik perhatiannya. Cara yang gue pake emang rada-rada ajaib: gue nyontek ke Vita. Tiap ulangan, gue SELALU minta jawaban ke dia, kecuali bahasa Inggris. Sisanya, nggak ada mata pelajaran yang nggak gue tanya jawabannya ke Vita kalo lagi ulangan.

Gue juga nggak tanggung-tanggung kalo nanya. Bisa-bisa semua soal gue minta jawabannya. Dan herannya, Vita selalu memberikan. Nggak pernah ngomel. Nggak pernah marah. Satu-satunya saat gue nggak nyontek adalah waktu ulangan umum gara-gara gue duduk paling depan dan nggak bisa berkutik.

Dan ketika rapor semester itu dibagiin, wali kelas gue pun menulis nama-nama juara kelas di papan tulis. Gue yakin Vita bakalan jadi juara pertama. Tapi, Bu Maharani yang menulis nama juara kelas dari nomor tiga malah menulis nama Vita Afriyanti, dan gagallah tebakan gue. Juara dua ternyata diraih teman sebangku gue, Jhonson, dan ndilalah, juara pertama adalah ... aduh, malu nih, ... gue!

Gue ngelirik ke Vita yang mukanya diam tanpa ekspresi. Waktu itu gue malu banget sama sikap gue. Gue yang dari dulu nggak pernah suka nyontek dan nggak pernah suka dicontek, tapi begitu jadi tukang contek besar gue sukses berat. Jadi juara kelas dari hasil mencontek sungguh nggak menyenangkan gue. Apa yang mau dibanggain?

Di kelas tiga, Vita nggak lagi sekolah di SMP yang sama dengan gue karena dia pindah ke Tegal mengikuti orang tuanya yang pindah tugas. Gue kembali sebangku dengan Jhonson di kelas tiga, yang nggak suka nyontek dan dicontek itu. Karir gue sebagai tukang contek pun berhenti. Gue kembali jadi Rio yang nggak suka nyontek dan dicontek. Nyontek udah jadi kehilangan daya tariknya.

Nyontek nggak sama rasanya tanpa Vita.

Dan si juara pertama akhirnya berhasil mengumpulkan bejibun komen untuk dongeng menconteknya saat dirilis di Blogdrive ;)

Tuesday, March 15, 2005

Tiara, mahkota yang hilang

Hari Jumat pagi, 14 Maret 2003, gue sedang bekerja waktu hape gue berbunyi. Ternyata nyokap gue nelepon dan bilang bahwa adek ipar gue, Ratna, udah melahirkan anak pertamanya lewat operasi caesar. Perempuan. Gue langsung minta izin ke bos gue di Utan Kayu – waktu itu gue masih kerja di salah satu penerbit di lingkungan Tempo Media – untuk pergi menjenguk adek ipar dan keponakan baru gue di RS Hermina, Jatinegara.

Menjelang sampai di rumah sakit, gue telepon hape nyokap untuk ngecek dia ada di mana dan ternyata nyokap – dan adek gue, Rizky – sedang berada di kafetaria. Gue langsung ke sana nemuin adek dan nyokap gue. Tapi begitu gue hendak duduk sambil menyalami adek gue dan memberinya selamat, gue lihat mata adek dan nyokap gue merah dan bengkak. Something is wrong.

Nyokap gue pun menceritakan sebab mereka menangis. Keponakan gue ternyata lahir bermasalah. Setelah dokter gagal mengupayakan kelahirannya dengan cara normal, hingga akhirnya mengambil keputusan operasi, bayi yang dilahirkan ternyata telah menelan banyak air ketuban sehingga paru-parunya dipenuhi air dan mengalami kesulitan bernafas. Bayi yang baru lahir itu harus dirawat di ruang perawatan intensif. Dan dokter bilang, peluang hidupnya kecil.

"Kamu harus tabah, Nak," kata nyokap seraya membelai punggung adek gue yang menelungkupkan kepalanya di atas meja. "Kamu harus kuat demi Ratna."

"Tapi Iky nggak kuat, Ma," jawab adek gue sambil sesenggukan. "Gimana cara Iky bilang ke Ratna?"

Gue cuma bisa memalingkan kepala ke arah jendela. Mengejapkan mata yang memanas. Duh, Tuhan, kenapa jadi begini? Harusnya air mata yang keluar hari ini adalah air mata kebahagiaan, bukan kesedihan.

Nggak lama, gue pun pergi meninggalkan nyokap dan adek gue untuk melihat keponakan baru gue. Ruang ICU terletak di lantai empat rumah sakit. Untuk memasukinya gue harus melepas sepatu dan mengenakan pakaian seragam berwarna hijau. Di dalam ruangan itu pun gue hanya bisa memandang keponakan gue yang baru lahir dari balik kaca. Bayi mungil itu terpenjara dalam sebuah kotak inkubator. Di ujungmya, terdapat papan bertuliskan: Bayi Ny. Ratna.

Dan keponakan gue itu tampak seperti tertidur. Such a sleeping beauty. Tapi hidung dan lengan kecilnya yang dicucuk jarum dan selang yang membelit tubuhnya yang rapuh dengan berbagai alat bantu dan mesin yang membantunya untuk tetap hidup. Infus dan dan entah botol-botol apa lagi bergelantungan di sisi inkubator seperti kelelawar mengintai di gelap malam.

Air mata gue menetes melihat keponakan gue yang baru lahir harus menerima azab yang begitu berat. Apa salahmu, Nak, hingga kau yang menjalani ini semua. Saat itu, ingin gue bertukar tempat menggantikannya, ditusuki dan dan dicucuki di sana-sini. Pemandangan itu terlalu memilukan sehingga gue hanya sanggup sebentar berada dalam ruangan itu dan keluar.

Gue turun ke kamar tempat adek ipar gue dirawat. Sebelum masuk, gue tarik nafas panjang dan gue pake topeng keceriaan yang semu. Di dalam kamar, Ratna dikelilingi oleh dua orang kakaknya yang menunggui adik bungsunya. Wajahnya kelihatan begitu bahagia.

"Yok, udah lihat anaknya?" tanya Ratna dengan bersemangat.

Gue mengangguk sambil menelan ludah dan mencoba tersenyum.

"Katanya cantik ya?" wajah Ratna semakin berbinar membicarakan anak yang belum lagi sempat dilihatnya. "Kulitnya putih kayak mama. Cuma katanya beratnya agak kurang sehingga harus dirawat di inkubator dulu. Ratna udah nggak sabar pengen gendong."

Gue mengangguk sambil bilang, "Iya, putih dan cantik."

"Namanya Tiara, Tiara Hanum. Bagus nggak, Yok?"

Gue hanya tersenyum sambil mengangguk, "Kamu istirahat aja dulu, Na."

Gue sungguh nggak sanggup membayangkan bagaimana caranya menyampaikan berita itu kepada Ratna. Rasanya seperti memberi tahu kepada seorang penerjun payung yang sedang terbang melayang bahwa ransel yang disandangnya kosong. Tak ada payung yang akan membawanya selamat mendarat di bumi. Ia akan terus terbang melayang dan gravitasi bumi akan menariknya keras dan menghempaskannya ke tanah. Luluh lantak.

Namun sore itu, ketika keadaan Tiara terus memburuk dan dokter sudah menyerahkan kesembuhannya kepada mukjizat Tuhan, sandiwara itu tak bisa lagi diteruskan, dan adek gue masuk ke dalam kamar sementara semua orang keluar untuk memberi kesempatan kepada sepasang kekasih dan suami-isteri, yang baru beberapa jam menjadi ayah dan ibu, berbagi duka yang tak terperi. Duka yang merampas kebahagiaan sesaat.

Dari luar kamar, raungan tangis Ratna yang pecah menusuk jantung kami semua yang mendengarnya. Tak ada suara yang lebih memilukan hati gue daripada jeritan adek ipar gue saat itu.

Di ruang ICU, nafas Tiara pun perlahan menghilang. Adek gue yang nggak beranjak dari sisi anaknya hanya mampu memandang nafas puterinya yang semakin lama semakin tersengal. "Ayah ikhlas, Nak," bisiknya. Dan dua puluh empat jam setelah dilahirkan, nafas Tiara tak lagi tersengal, jantungnya tak lagi berdenyut.

Selamat jalan, Tiara sayang. Pergilah ke Sang Pemberi Hidup. Tapi, jangan lupakan orang tuamu, terutama ibumu. Ibu yang begitu merindukan saat untuk menggendongmu, tapi Yang Maha Kuasa tak memperkenankannya. Ibu yang susu dan cintanya tak pernah kau kecap. Ibu yang tak pernah bisa melupakanmu dan terus dirundung duka berkepanjangan.

Datanglah kepadanya, Nak. Kepakkan sayapmu, malaikat kecil, dan hadirlah dalam mimpinya setiap malam. Bisikkan pada ibumu, "Jangan bersedih, Ibu. Aku mencintai Ibu, tapi Sang Pencipa lebih mencintaiku dan lebih berhak atas diriku. Ikhlaskan aku, Ibu. Aku akan jemput ibu kelak di Surga."

Sehingga ibumu bisa tersenyum lagi menyambut hari bahagia itu datang.

Click here to read the deepest condolence from friends and relatives during my stay in Blogdrive!