Wednesday, April 27, 2005

Dongeng sebelum tidur

Waktu keponakan gue - Fauzan - masih balita, dia termasuk anak nggak bisa diam dan sering baru bisa tidur larut malam. Nggak seperti Iqbal, adiknya, yang biasanya udah tidur dengan nyenyak sejak jam delapan, paling telat jam sembilan malam. Secara ibu-bapaknya mesti kerja dan bangun pagi keesokan hari, maka mereka jarang tahan melek lama-lama setelah menidurkan Fauzan. Buntut-buntutnya, setelah Fauzan naik tempat tidur dan berdoa, mereka bakal ketiduran sebelum Fauzan benar-benar terlelap. Dan Fauzan akan bangun dari tempat tidurnya dan keluar kamar.

Kalo Fauzan lagi kena serangan insomnia, dan ini sering, gue termasuk orang yang paling sering menemani dia sampe dia bener-bener mengantuk dan tertidur. Di ruang tengah, kita nonton tv, tepatnya gue nonton tv dan dia ngegangguin dengan seribu satu pertanyaan. Kalo nggak, dia akan minta gue menggambar ikan dan dinosaurus dan dia yang akan mewarnainya dengan krayon.

Selain menggambar dan membacakan buku, dia juga sering minta gue mendongeng. Di rumah, selain gue, yang suka mendongeng buat Fauzan cuman bokap dan nyokap gue. Kakak gue nggak kelewat imajinatif buat ngedongeng. Dia paling bacain buku cerita atau majalah Bobo sebagai pengantar anaknya tidur. Kakak ipar gue juga podo wae. Gue nggak pernah dengar dia mendongeng buat anak-anaknya.

Sementara bokap dan nyokap gue emang suka mendongeng buat anak-anak mereka dulu waktu gue masih kecil. Dongengan mereka adalah dongeng klasik seperti cerita-cerita si Kancil. Dan sampe ke cucu, dongeng itu juga yang sering diceritain sebagai pengantar Fauzan tidur.

Tapi errr... masa gue harus mendongeng cerita yang sama buat keponakan gue? Aduh... nggak gue banget! Gue harus bedain, gue bakal bikin twist dari cerita yang udah kelewat sering dia dengar dari bokap dan nyokap gue. Jadi, mau nggak mau, di satu malam ketika Fauzan meminta gue mendongeng sambil berbaring di samping gue di atas karpet di ruang tengah, gue pun mulai berkisah.

Ada seekor bebek yang ingin menyeberang sungai, tapi di sungai itu banyak buaya

Tiba-tiba lengan kaos gue ditarik-tarik Fauzan sambil berkata, "Oom, kok bebek sih yang ketemu buaya. Kalo kakek cerita, kan kancil yang..."

"Hmmm... kancilnya udah disate sama Pak Tani, tinggal bebek!" jawab gue nyolot. Ini anak, kecil-kecil udah berani protes ya.

"Kan bebek kan bego, gimana mau nipu buaya" kata keponakan gue nggak mau kalah.

Wah, benar-benar ini anak, dapet darah ngotot dari mana sih. Heran gue! Perasaan gue nggak gitu deh.

"Kata siapa?" kata gue sambil mengelus dada menahan sabar dari keinginan untuk njewer keponakan gue yang nggak ngantuk-ngantuk ini. "Besok minta kakek dongengin si kancil ya, malam ini ceritanya tentang BEBEK!"

Gue pun lanjutin cerita gue.

... Satu hari si bebek nakal itu mendapat akal untuk dapat menyeberang sungai....

"Lho Oom," protes Fauzan. "Kan bebek bisa terbang, kenapa nggak terbang aja?"

Aduh, Fauzan, udah jam satu pagi gitu lho. Oom udah ngantuk, tapi kamu masih secerewet burung nurinya Trio Detektif (masih ingat teman-teman;)?). Untung bapaknya baek dan sering minjamin mobilnya ke adek-adek iparnya. Apalagi dia juga dengan kesadaran sering mengisi bensin sampe penuh setiap pulang kerja hari Jumat yang membuat gue selalu mengintai itu mobil buat bergaul (ya nggak, Pe;)?).

Dengan mengingat hadiah dipinjamin mobil weekend nanti, gue pun menabahkan diri ngadepin keponakan gue tersayang. Kalo nggak, gue udah bangunin deh abang ipar gue itu biar dia aja yang nidurin anaknya.

"Sungainya lebar, bebeknya nggak kuat terbang jauh," jawab gue asal. Gue pun meneruskan dongeng gue hingga...

... Dan dengan alasan menghitung jumlah buaya di sungai, selamatlah si bebek sampai di seberang sungai.

Nggak sadar, sebelum dongeng gue selesai, Fauzan sudah terlelap. Jempol kirinya udah masuk mulut dan dikenyot. Gue ambil botol susu yang udah disiapin kakak gue dan gue tarik jempolnya dan gue masukkan dot botol susu itu. Sebentar, susu itu pun habis diminumnya. Jempol kirinya kembali masuk ke dalam mulut.

Jam satu lewat. Gue menatap keponakan gue yang terlelap. Dan entah kenapa, melihatnya tertidur membuat gue merasakan kedamaian. Nggak heran, banyak orang yang betah berlama-lama menyaksikan bayi tertidur dari balik kaca di rumah bersalin. Karena ketika mereka terlelap, bocah-bocah kecil itu menyebarkan aura ketenangan yang membuat semua orang akan bicara dengan berbisik dan berjalan dengan berjingkat. Anak kecil yang sedang tertidur adalah malaikat yang sedang mengumpulkan tenaga untuk menyebarkan kebahagiaan di kala terjaga. Kebahagiaan dan kedamaian, hanya itu yang mereka tahu dan itu semua yang mereka beri.

Gue mengangkat Fauzan dari atas karpet, menggendongnya dan membawanya ke dalam kamar. Gue baringkan dia di atas tempat tidurnya pelan-pelan. Dan sebelum keluar, gue cium kening Fauzan, dan berbisik.

"Ajak Oom bermain dalam mimpimu, ya."

komen blogdrive!

Thursday, April 14, 2005

Tambal Ban Kang Maman (Bagian Dua)

Catatan: Biar nyambung, baca bagian yang pertama dulu yaaaa....

Di Bandung, we had a great time. Makan, shopping, makan, clubbing, tidur, makan, shopping, makan, pokoknya hedon sepuasnya. Minggu sore, setelah waktu Maghrib, gue dan teman-teman gue pun harus pulang. Senin esok kami harus "back to reality", kerja, kerja, kerja.

Menjelang Cipanas, mendadak gue merasakan mobilku nggak stabil, rasanya ban mobil gue ada yang kurang angin. Gue menepikan mobil untuk mencek dan sialan, ban kanan belakang gue kempes. Untung ban gue tubless sehingga masih ada sedikit angin untuk dibawa jalan ke tambal ban terdekat.

Gue melihat ke sekeliling berharap kalau-kalau ada tukang tambal ban. Malas betul rasanya malam-malam begini harus mengganti ban. Thanks God, nggak jauh di depan, di sebelah kanan, gue ngelihat sebuah ban bekas terpancang di pinggir jalan. Gue seberangkan mobil dan berhenti tepat di samping ban bekas itu. Gue baca tulisan yang ada di ban muka sampingnya, "Tambal Ban Kang Maman".

"Ya ampun, ini kan tempat gua nurunin si ibu tua dan cucunya!" seru gue terkejut.

"Ada apa sih?" Ana dan Lita dengan kompak bertanya.

"Nanti gua ceritain deh," jawab gue sambil turun dari mobil.

Seorang laki-laki berusia tiga puluhan keluar dari dalam gubuk itu.

"Bisa tambal tubless nggak, Pak?" tanyaku.

Ia menganggukkan kepalanya dan gue pun menunjukkan ban yang kempes. Dengan sigap ia pun mengeluarkan peralatannya dan mulai bekerja membuka ban. Sementara, kedua teman perempuan gue pun keluar dari mobil.

"Yo, gua haus nih," rengek Ana. "Cari minum, yuk."

Gue bertanya pada Kang Maman—laki-laki itu ternyata memang bernama Maman—di mana ada warung. Dia menunjuk ke arah jalan yang tadi kami lewati. Warung itu nggak jauh lenggaknya dari tempat Kang Maman. Seorang ibu-ibu keluar untuk melayani kami. Gue memesan kopi, sementara Lita dan Ana memesan teh manis.

Sambil minum dan makan ubi rebus dan pisang goreng, guepun bercerita tentang kejadian Jumat malam itu kepada Ana dan Lita. Begitu selesai, dengan kompak mereka menyalahkan gue yang nggak mengantarkan kedua "korban" gue sampai di rumah. Kalau ada apa-apa bagaimana, kata mereka. Itu kan tanggung jawab gue juga. Protes gue bahwa mereka yang menolak tawaran gue, dan bukan gue yang nggak mau mengantarkan, disanggah keduanya dengan galak.

Kan lo bisa jalan menemani mereka, kata Lita, masa mereka menolak. Iya, ya, baru sekarang terpikir kenapa gue nggak mengantarkan mereka dengan berjalan kaki. Terus, kenapa lo nggak ngasih uang buat mereka berobat, Lita menyambung omelannya. Busyet, ini juga nggak kepikiran ... duh rese, gue diserang habis oleh dua perempuan ini.

Untungnya Ana mendadak ingin ke belakang sehingga persidangan sementara ditunda. Nggak terasa sudah setengah jam kami berada di warung, dan seharusnya Kang Maman udah selesai menambal ban mobil gue. Sebelum balik, gue juga diserang keinginan untuk buang air sehingga begitu Ana keluar, gue pun ganti masuk ke dalam rumah si ibu pemilik warung.

Isi rumah itu sederhana saja, ruang tamunya hanya terdiri dari beberapa kursi rotan yang sudah lusuh dan peyot karena entah berapa ratus kali harus menahan beban yang nggak sesuai dengan kemampuan mereka.

Setelah menuai hajat, gue pun keluar dan berjalan melewati ruang tamu lagi. Kali ini gue terkesiap dan mata gue terbelalak menatap ke arah dinding yang tadi gue punggungi ketika masuk.

Dinding itu hanyalah dinding batu bata biasa yang nggak disemen, namun bukan itu yang membuat gue nganga dan membatu. Dua buah foto dalam pigura terpaku di dinding adalah wajah si ibu tua dan cucunya, si Neneng!

Ya ampun, ternyata mereka tinggal di sini, pikir gue. Tapi, gue yakin sekali kalau gue nggak nurunin mereka di sini karena warung ini di pinggir jalan dan seharusnya ada cahaya lampu rumah yang menerangi kalau benar mereka turun di sini. Dan, malam itu nggak ada cahaya apa pun.

Gue berseru memanggil si ibu pemilik warung.

"Ada apa?" tanyanya.

Lita dan Ana yang mendengar suara gue ikut masuk.

"Yang digantung itu foto siapa, Bu?" tanya gue.

"Oh, itu teh foto ibu dan anak saya."

"Di mana mereka sekarang?"

Wajahnya nampak muram dan ia menghembuskan nafas dalam sekali sebelum akhirnya bercerita. Ibu dan anaknya telah meninggal dunia bulan puasa yang lalu. Tertabrak mobil di jalan; setengah kilometer setelah tikungan dekat tambal ban Kang Maman.

Cerita ibu pemilik warung seperti suara guntur menggelegar tepat di telinga gue. Badan gue lemas dan lutut gue bergetar dan rasanya nggak kuat menopang beban tubuh gue. Tanpa berkata apa-apa gue keluar dari rumah itu dan setengah berlari gue melangkahkan kaki ke arah tambal ban Kang Maman.

Ana dan Lita menyusul gue dan berusaha mengikuti irama langkah gue yang terlalu cepat dan panjang bagi mereka. Gue lewati mobil gue yang terparkir rapi dengan ban yang sudah ditambal dan terpasang rapi dan wajah Kang Maman yang keheranan karena gue terus saja berjalan melewatinya.

Setelah ngelewatin tikungan, nggak jauh berjalan, gue pun berhenti. Di depan gue sebuah pohon kamboja berdiri tegak dengan bunganya yang rimbun menandai sebuah jalan setapak. Perlahan gue masuk ke dalam. Di kiri-kanan tampak gundukan tanah dengan nisan di ujung-ujungnya. Beberapa sudah terbuat dari semen yang telah berlumut, namun sebagian masih tetap terbuat dari kayu.

Assalamu'alaikum, ya ahli kubur, bisik gue lirih. Seolah ada tangan gaib yang membimbing langkah gue, gue terus berjalan ke arah pojok kanan pemakaman. Dua puluh meter dari pohon kamboja di pinggir jalan tadi, gue berhenti. Di hadapan gue tampak dua buah gundukan tanah merah. Di kedua nisannya tertulis, Icih binti Ganda, Lahir 19 Maret 1948-Meninggal 30 Nopember 2001 dan Neneng binti Komar, Lahir 4 Agustus 1987-Meninggal 30 Nopember 2001.

40 hari yang lalu

"Terima kasih, Kang. Rumah kami nggak jauh dan mobil nggak bisa masuk. Biar kami jalan saja," gue terngiang suara si Neneng, Jumat malam itu. Bulu kuduk gue berdiri ….

Gue bukan orang yang percaya dengan hal-hal yang berbau gaib dan supranatural. Menurut gue, segala sesuatu itu ada penjelasan rasionalnya; dan kalau kita nggak bisa menemukan penjelasan yang logis terhadap suatu kejadian, bukan berarti penjelasan gaib atau supranatural adalah jawabannya.

Kejadian hari Jumat malam itu, menurut gue, penjelasan yang masuk akalnya adalah gue salah mengenali wajah kedua orang yang hampir gue tabrak itu. Mereka berdua adalah orang yang berbeda dan, wajar, kalau gue nggak hafal dengan wajah mereka—malam itu gelap. Atau, mungkin ada tambal ban lain dengan nama yang sama—Tambal Ban Kang Maman—di sepanjang jalan yang gue lalui malam itu dan gue jadikan patokan rumah mereka.

Tapi, sungguh ... gue udah nggak yakin lagi ...

komen blogdrive!

Wednesday, April 13, 2005

Tambal Ban Kang Maman (Bagian Satu)

Hari itu hari Jumat kedua setelah tahun baru beberapa tahun silam, gue nggak masuk kantor dengan alasan sakit flu. Alasan sebenarnya sih, lagi ingin long weekend ke Bandung, main dan temu kangen dengan beberapa teman dekat di sana. Udah lama nggak Tour de FO dan makan-makan di berbagai café Bandung yang rasa makanannya enak, suasananya asyik buat ngobrol, dan harganya, man, 3M, murah meriah mun*&^.

Jam setengah delapanan, gue berangkat sendiri dari Jakarta. Teman-teman gue yang lain baru bisa berangkat hari Sabtunya, naik kereta. Gue sengaja ambil jalur puncak, soalnya gue berencana untuk berhenti dan ngupi sambil makan poffertjes di Puncak Pass hotel yang ueenaaak tenan itu. Dan hmm … paduan udara dingin malam di puncak memang menambah kelezatan poffertjes. Gula halus yang meleleh di atas bulatan-bulatan terigu-telur-butter itu bikin gue ngabisin dua porsi sekaligus, plus dua cangkir kopi.

Jam setengah sepuluh. Jalan menuju Bandung nggak terlalu ramai, bahkan selepas Cipanas boleh dibilang nggak banyak mobil yang lewat. Mobil gue praktis sendirian di tengah jalan. Gue nyetir lumayan ngebut. Satu hal yang gue suka kalau nyetir di luar kota dan malam hari, jalan raya terasa lengang dan kita bisa jadi penguasanya.

Gue ditemenin suaranya John Mayer, "Your body is a wonderland …" Gue ikut nyanyi, keras-keras. "Your body is a wonderland …"

Tiba-tiba hape gue bunyi, "Yo, lo di mana nih?" suara errr... sebut aja, Ana.

"Baru selesai ngopi plus poffertjes-an di Puncak Pass."

"Aduh, enaknya. Tapi, gila ya lo, nggak nyadar perut lo yang dah mulai bunting begitu. Makan poffertjes tengah malam begini."

"Cerewet, ah! Nggak bisa lihat orang senang, ya."

"Hehe … segitu juteknya. By the way, sayang, besok jangan lupa jemput gua sama Lita di stasiun ya?"

"Huuuu … maunya. Jam berapa?"

"Gua naik kereta Parahyangan pertama, jam setengah enaman, jadi sampai sekitar setengah sembilanan."

"Aduh, pagi banget sih! Gua masih mimpi jam segitu!"

"Pemalas banget sih."

Sebelum sempat membalas komentar Ana, gue lihat dua sosok manusia sedang menyeberang jalan dan tepat berada di tengah-tengah jalan raya. Sementara, saat itu mobil gue sedang melaju dengan kecepatan seratus kilometer per jam. Hape gue lempar ke jok depan dan gue banting setir ke kanan untuk menghindari tabrakan dengan kedua orang itu.

Berhasil. Nggak ada bunyi dan benturan. Aduh, lega rasanya, gue berhasil menghindari tabrakan. Gue pinggirin mobil dan keluar. Dari jarak sekitar lima puluh meter dari tempat gue berdiri, kedua sosok itu nampak masih berada di tengah jalan. Jantung gue berdegup cepat, aduh, jangan-jangan gue yang salah. Jangan-jangan mereka tertabrak atau seenggaknya keserempet mobil gue dan sekarang terkapar luka di tengah jalan. Rasanya nggak … tapi dalam waktu yang hanya beberapa detik itu segalanya dapat terjadi dan gue sungguh nggak yakin. Dengan bergegas gue berlari menghampiri mereka.

"Kalian nggak apa-apa kan?"

Ternyata keduanya perempuan. Seorang perempuan tua terduduk di atas aspal sambil memegang kakinya dan di sampingnya seorang remaja perempuan jongkok sambil memegang bahu perempuan tua itu. Mungkin ibunya, mungkin juga neneknya.

"Maaf, Bu, Dek. Saya tadi nggak melihat, tahu-tahu Ibu dan adik ini sudah ada di hadapan saya."

Keduanya hanya diam, sementara si remaja berusaha membantu si ibu tua untuk bangun. Gue yang dari tadi hanya berdiri melongo mencoba membantu dan memegang tangan si ibu. Ia pun nyerocos dalam bahasa Sunda yang nggak gue mengerti sepatah katapun.

"Terima kasih, Kang. Kami nggak apa-apa. Cuman nenek saya kelihatannya terkilir kakinya waktu lompat buat ngindarin mobil Akang."

Untung saja si remaja perempuan itu bisa bahasa Indonesia, walaupun logat Sundanya sangat kental.

"Maaf, Dek, Bu. Saya sungguh-sungguh nggak lihat. Tapi, Ibu dan adik ini benar nggak apa-apa? Kalau nggak, kita ke rumah sakit saja, biar kaki Ibu diperiksa."

"Ah, nuhun, Kang. Nggak apa-apa. Diurut sebentar juga baik."

Gue mencoba melihat kaki si ibu dengan hanya bantuan cahaya bulan, dan kelihatannya, selain memar di pergelangan, memang nggak apa-apa. Nggak ada luka sedikitpun. Dan si Neng teh kelihatannya baik-baik juga. Duh, untung, gue lega banget.

"Ibu sama adik ini mau kemana malam-malam begini? Biar saya antarkan."

"Ah, nggak usah, Kang. Ngerepotin saja."

"Nggak ngerepotin kok. Lagian, saya nggak mungkin membiarkan Ibu dan adek jalan berdua malam-malam begini."

Tanpa menunggu bantahan mereka lagi, gue membimbing si ibu tua ke arah mobil gue. Dengan jalan yang tertatih-tatih, dia pasrah dengan sentakan tangan gue yang menuntunnya. Sambil berjalan, ia terus berbicara pada cucunya. Dari caranya memanggil, gue bisa menebak nama cucunya, Neneng (standar banget nggak sih buat orang Sunda?).

"Akang teh mau kemana? Nanti kita beda arah, biar kami jalan saja. Akang juga kelihatannya buru-buru."

Nampaknya si nenek menyuruh si Neneng untuk menolak tawaranku, tetap dengan alasan nggak ingin merepotkan.

"Saya mau ke Bandung, Neng, dan saya nggak terburu-buru kok. Saya punya banyak waktu. Sudahlah, Neng, bilang sama neneknya, saya ikhlas kok," kata gue berusaha akrab.

Sambil membukakan pintu belakang dan menuntun si ibu tua masuk ke dalam mobil, Neneng berbicara menjelaskan sesuatu dalam bahasa Sunda kepadanya. Gue berjalan memutari mobil dan duduk di jok depan. Mesin mobil gue nyalakan dan, kali ini, gue nggak lagi mimpi jadi Schumacher yang sedang berlomba di jalan-jalan berbukit kota Monaco. Mobil gue jalankan seperti delman di sepanjang Jalan Asia Afrika, Senayan.

"Nanti kalau mau belok, bilang ya, Neng."

Gue nggak mendengar jawabannya. Gue nggak bisa melihat ke belakang karena gelap, tapi gue pikir ia pasti menganggukkan kepalanya. Setelah itu, hening. John Mayer nggak gue izinkan nyanyi. Hanya suara gumam mesin mobil dan suara nafas pendek-pendek si ibu tua yang terdengar.

Nggak lama kemudian, si Neneng meminta gue untuk berhenti. Tempat itu nampak gelap sekali. Nggak ada cahaya apa pun di sekitarnya. Cahaya bulan yang dari tadi menerangi malam sekarang tertutup awan. Gulita.

"Neng, yang mana rumahnya? Gelap sekali di sini, seperti nggak ada rumah."

"Oh, rumah kami jalan terus ke sana, Kang, masuk ke dalam lewat jalan setapak," jawabnya sambil menunjuk ke arah kiri jalan.

"Kalau begitu, biar saya belok dan antar sekalian, ya."

"Terima kasih, Kang. Rumah kami nggak jauh dan mobil nggak bisa masuk. Biar kami jalan saja."

"Tapi, ini gelap sekali, Neng. Nanti nenek kamu jatuh lagi."

"Ah, buat mata Akang yang orang kota sih memang gelap, buat kami mah biasa saja."

"Bawa senter ya," kata gue sambil membuka laci dashboard mencari senter.

Tapi Neneng menolak dan gue ingin protes lagi, tapi gue batalin. Terserahlah, mungkin si Neneng memang betul, mata mereka telah terbiasa dengan kegelapan dan penerangan ala kadarnya. Nggak seperti mata gue yang biasa dimanjain berbagai cahaya yang menyilaukan mata.

Gue pun turun dari mobil dan membukakan pintu belakang sambil membantu Neneng dan neneknya turun.

"Hati-hati ya, Neng."

"Terima kasih, Kang."

Kedua sosok itu menghilang dalam kegelapan malam. Awan yang nakal masih tetap memeluk bulan dan menghalangi cahayanya. Karena nggak ada lagi yang bisa gue lakukan, gue jalanin mobil. Sekitar seratus meter dari tempat mereka turun, tepat di belokan yang agak tajam, baru gue melihat cahaya lampu petromaks berpendar redup. Dan dengan bantuan cahaya rembulan yang berhasil melepaskan diri dari pelukan awan, gue bisa melihat satu-satunya tanda terdekat dengan rumah mereka, sebuah ban mobil bekas yang bertuliskan "Tambal Ban Kang Maman".

Gue terus melaju ke Bandung.

komen blogdrive!

Monday, April 11, 2005

Terjebak

Beberapa tahun lalu, waktu gue baru mulai kerja buat sebuah organisasi kehutanan Uni Eropa yang berkantor di Manggala Wanabakti, gue punya pengalaman yang ngebetein.

Begini ceritanya … auuuuuuuu ….

Di suatu malam gelap tak berbulan, dan awan hitam menggelayuti angkasa menghadang sinar bintang-bintang, gue berdiri di luar gedung blok F kompleks Manggala yang letaknya paling belakang. Gue lagi nungguin teman gue yang mau minjemin notbuknya supaya gue bisa kerja wiken nanti nerjemahin paper-nya.

Setelah dia dateng dan notbuk berpindah tangan, gue masuk ke dalam gedung sambil nggak lupa ngomong ke satpam yang masih nunggu bahwa gue bakal balik setengah jam lagi. Waktu itu udah jam 20.00.

Gue pun naik ke ruangan gue di lantai 6 dan nyelesein beberapa kerjaan yang belom beres sambil berbenah untuk pulang. Tepat jam 20.30, gue turun dan menemukan lobi blok F kosong melompong. Nggak ada satu orang pun di sana. Gue pikir mungkin satpam yang bertugas sedang ke toilet, jadi gue jalan aja menuju pintu. Tapi ketika gue dorong, pintu itu nggak bergerak. Terkunci.

Karena gue pikir satpam hanya ke toilet, maka gue tunggu beberapa saat. Lima menit berlalu tapi nggak ada satu orang pun yang kembali ke meja penjagaan di lobi itu. Gue mulai kehilangan kesabaran.

Gue buka pintu darurat tempat para satpam itu suka tidur. Tapi tikar di lantai kosong. Gue coba naik tangga darurat yang gelap karena penerangan yang seadanya sambil berteriak, “Pak, saya mau pulang!”

Hening. Hanya suara gue bergema seolah menjawab, “mau pulang ... pulang ... pulang ....”

Sialan! Kemana sih para satpam ini? Gue pikir, daripada gue menunggu nggak jelas di lobi yang gelap itu, mending gue balik ke ruangan gue.

Sampai lantai 6, gue berjalan pelan-pelan menuju ruangan gue karena kalo udah di atas jam 6 sore, semua lampu di gedung dalam kompleks Manggala mati. Mau bilang apa, pegawai negeri emang jarang yang kerja lembur, jam empat rata-rata mereka udah pada kabur. Makanya, setiap lantai gelap gulita.

Sampe di ruangan, gue nyalain lampu meja satu-satunya yang bisa dinyalakan tanpa bergantung pada lampu sentral gedung. Terus gue coba telepon teman-teman kantor yang mungkin tahu nomor telepon pos satpam di depan. Tapi nggak ada satu pun yang angkat, semua mati. Lima belas menitan di ruangan sendirian, gue kembali keluar sambil mengutuk-ngutuk kenapa nggak ada senter di ruangan supaya gue nggak harus jalan dalam kegelapan menuju lift barang, satu-satunya lift yang hidup.

Tapi lobi masih tetap kosong. Gue semakin jengkel karena gue capek dan masih banyak kerjaan. Gue heran bagaimana mungkin dalam satu gedung sebesar ini nggak ada satu orang satpam pun yang jaga.

Kemudian, gue mendapat ide. Mungkin mereka sedang keliling setiap lantai. So, gue pun akan melakukan hal yang sama dengan harapan menemukan mereka. Gue masuk ke dalam lift dan gue pencet nomor semua lantai, 14 semuanya, dan pintupun menutup.

Di lantai kedua, pintu pun terbuka dan dengan satu tangan gue tahan pintu lift dan gue keluar dan berteriak kepada kegelapan, “Pak Satpam, ada di mana? Saya mau pulang!!!”

Tak ada jawaban. Dan di setiap lantai hingga lantai teratas, lantai tiga, empat, ... delapan, sepuluh, dua belas ... gue melakukan hal yang sama: menahan pintu lift dan meneriakkan kalimat-kalimat yang sama seperti orang gila bicara sendiri kepada kegelapan.

Hening. Nggak ada jawaban. Akhirnya, gue sadari, dalam gedung 14 lantai itu, jam setengah sepuluh malam, gue adalah satu-satunya makhluk yang masih bernafas.

Gue balik ke ruangan gue dan pasrah menunggu satpam yang datang. Sendirian di ruangan, eh nggak ding, di satu gedung 14 lantai, membuat gue teringat kisah-kisah yang diceritain teman-teman kantor gue tentang berbagai kisah ‘dunia lain’ di gedung tempat kantor gue.

Misalnya cerita seorang pejabat eselon, entah berapa, yang bunuh diri karena nggak jadi dipromosiin dengan cara melompat dari lantai dua belas. Atau cerita tentang pintu yang sering menutup sendiri di lantai 6 tempat gue bekerja. Dan cerita lain tentang suara-suara yang terdengar dari toilet.

Gue coba kerja tapi nggak konsen. Gue setel musik keras-keras supaya kalo memang ada suara-suara tanpa rupa, gue nggak bakal dengar. Sampe akhirnya... terdengar suara langkah-langkah yang makin lama semakin keras, dan... suara ketukan di pintu ruangan gue dan pintu pun terbuka, dua bayangan tampak di ujung ruangan.

“Selamat malam, Pak.”

Satpam-satpam itu akhirnya muncul. Jam 11 malam. Gue pun matiin komputer gue dan bangkit dari kursi. Gue udah terlalu capek untuk marah dan hanya bilang sambil ngelewatin mereka, “kenapa nggak datang besok pagi aja sekalian, Pak.”

Mereka hanya diam dan menunduk.

komen blogdrive!

Monday, April 04, 2005

Q&A: Kenajongan Delapan puluhan

Pagi ini menerima imel dari seseorang yang nge-google buat nyari nama orang-orang top 80s dan buntut-buntutnya nyampe ngelihat blog gue. Namanya Uci (bukan Uci Bing Slamet kan? Dapat salam dari Bukit Berbunga, hihi...). Gue nggak tahu untuk apa, tapi Uci menanyakan empat pertanyaan berikut:
  1. Ejaan nama utk pembawa acara bahasa ingris dulu itu Nisrina Nur Ubay atau Kristina Nur Ubay? (soalnya temen gue ngotot banget katanya yang bener Nisrina, tapi gue ingetnya Kristina...)
  2. Pembawa acara Dari Masa ke Masa itu namanya Tuti Kirana bukan?
  3. Pelari cewe yang dapet medali yang suka nyeker itu dulu namanya siapa ya...
  4. Trus penyanyi Sylvia Saartje (bener gak tulisannya gitu?), itu lagu ngetopnya apa ya?
Gue tahu jawaban soal pertama karena kebetulan belom lama ini gue ceting dengan Alia dan gue nyebutin nama Nisrina Nur Ubay dan dia nanya siapa itu gerangan dan gue sadar... Man! Gue buka aib sendiri, hehe... Alia yang masih belom lagi tiga puluh tahun jelas gede di era 1990-an dan nggak bakalan kenal Tante Nisrina yang dulu tiap sore jam setengah enam ngajar bahasa Inggris gantian sama Oom Anton Hilman.

Tapi tiga lagi... errr... waduh, susah juga yaaa… Coba gue inget-inget....

Untuk pertanyaan kedua gue tahu jawaban itu salah. Tuti Kirana itu pemain film yang pernah menikah, kalo nggak salah, dengan Syuman Djaja almarhum setelah bercerai dengan Farida Feisol. *Najesh! Gue adalah orang terakhir yang tahu kalo Desy Ratnasari udah cerai tapi gue masih inget gosip awal 1980-an begini? Mati gue!*

Otak gue pun muter untuk nginget semua acara musik jayus di TVRI lengkap dengan pembawa acaranya. Aneka Ria Safari (ARS)dibawain oleh Sri Maryati dan Eddy Sud, sementara Kamera Ria itu Frans Hasibuan. Acara musik lain adalah Chandra Kirana yang dibawain oleh Diah Iskandar. Tapi gue nggak ingat siapa yang bawain Dari Masa ke Masa.

Terus, gue inget pelari cewek Afrika Selatan yang suka nyeker dan nyenggol Mary Decker dari Inggris waktu lomba lari jarak menengah di Olimpiade Los Angeles 1984. Zolla Budd namanya. Tapi gue yakin yang dimaksud Uci adalah pelari Indonesia yang suka nyeker juga, tapi gue udah nggak ingat namanya.

Lanjut. Sylvia Saartje benar ditulis dengan ejaan dobel a dan pake c ejaan lama (tj). Tapi gue nggak pernah inget lagunya yang ngetop! Dari dulu juga nggak pernah suka sama dia kok.

Gawat, gue terdesak, gue cuma tahu satu jawaban dari empat. Okeh, sekarang saatnya untuk menghubungi orang yang sebenarnya, sejatinya dan sesungguhnya, adalah narasumber utama gue setiap ngebahas era jahiliyah delapan puluhan.

Siapa lagi kalo bukan: Rudy Setiadi.

Gue langsung telepon bapak yang satu ini, yang ingatannya soal 80-an benar-benar lintas sektoral, dari musik, olah raga sampe gosip. Luar dan dalam negeri. Udah lama keahliannya yang unik gue manfaatkan untuk berbagai hal, hehe... Dan karena ilmunya membuat gue memberi gelar: ahli jayuisme 80-an di samping gelar-gelar kejayusan lain seperti, yang lebih kontemporer, pakar Bajurisme dan penganut aliran JK Record dengan para santanya seperti Dian Piesesha dan Betharia Sonata, yang sering dia bantah karena menurut pengakuannya, dia lebih menganut aliran Jackson Record (Vina Panduwinata dan Utha Likumahuwa).

Dan berdiskusilah gue dengan bapak berambut jigrik ini melalui telepon. Dia nggak berhasil mengingat siapa pembawa acara Dari Masa ke Masa, tapi malahan cerita kejengkelan dia dengan kesalahan yang dibuat Radio Delta FM Bandung yang bilang bahwa pembawa acara ARS adalah Sri Maryati dan Sol Soleh. Jelas, pembuat soal hanya menonton ARS pada saat-saat terakhirnya sementara selama bertahun-tahun acara itu diasuh oleh duo Sri Maryati dan Eddy Sud lepas dari ingatan. Dudul.

Tapi, Rudy nggak mengecewakan gue ketika soal ketiga gue kasih. Hard disknya bergerak cepat dan langsung menyebutkan dua nama: Welmince Sonbay dan Katharina Nasimnasi. Gue jadi inget sama si Welmince dan kejayaannya di PON, tapi gue nggak inget sama sekali dengan Katharina.

Ketika soal keempat gue kasih, makhluk najis tralala ini langsung buka mulut dan nyanyi, ”endeswa endeswe”, lagu yang gue nggak pernah denger sama sekali. Lagu apaan tuh, gue tanya. Biarawati, katanya. Itu lagu hit-nya Sylvia Saartje yang gue heran kapan jadi hitnya ya.

Tinggal satu pertanyaan yang sehebat-hebatnya Rudy, dia juga nggak bisa jawab. Hmmm.... sapah yah yang bisa gue hubungin. Oh ya, Uda Rinto, sapa lagi. Bapak ini emang nggak lintas sektoral ilmu jayus 80-annya, tapi kalo soal musik, boleh diuji. Seperti waktu dia dengan nyanyiin lagu Richie Ricardo ”Nona Manis” berduet dengan Gusye, yang notabene masih kepala dua tapi selera musiknya lebih 80-an daripada gue, waktu karaoke dengan tema 80-an di Nav, Fatmawati, beberapa bulan lalu. Video klipnya asli Richie Ricardo sendiri yang asyik maenin pintu pagar sambil ngegodain Kiki Fatmala (tengkyu Bowo, buat ralatnya) yang jalan megal-megol lewat depan rumahnya.

Agak lama Bapak ini jawab, mungkin sibuk dengan kerjaannya. Akhirnya masuk sms yang bilang: Dari Masa ke Masa yang bawain Mariana Ramelan, Telerama Anita Rachman. Aduuuhhh... bener banget, gue jadi inget tampang tante-tante ini yang dulu – waktu TVRI cuman jadi satu-satunya hiburan – berseliweran di televisi. Duh, nggak nyangka ya, 80-an itu udah dua puluh tahunan yang lalu.

Uci, udah kejawab semua ya?

komen blogdrive!