Tuesday, October 26, 2004

Kisah si Mince I-Tukang catut

Jam setengah tujuh telepon kantor gue berdering dan suara sekretaris van Salatiga kantor gue terdengar berteriak, “Schaart, ada tele buat jij.”

Aduh, sapa sih nih, gue udah telat les deh. Kenny biasanya bakal ngomel kalo gue telat. Gue angkat telepon dan suara Mince, salah seorang teman dekat gue, terdengar di ujung kabel.

“Bo, tolongin gue dong,” katanya tergesa-gesa.
“Ada apaan sih? Suara lo kayak orang mau disembelih.”
“Tolong lo telepon nyokap gue.”
“Hah? Kagak salah? Apa urusannya gue nelepon nyokap lo?” gue benar-benar kebingungan.
“Bilang ke nyokap gue kalo lo lagi jalan sama gue,” suara si Mince terdengar memelas.

Oh no, not again. Untuk yang ke-18.862.564 kalinya si Mince nyatut nama gue dan bilang ke nyokapnya kalo dia pergi sama gue, padahal dia jalan dengan backstreet boys-nya. Gue emang kenal orang tuanya, dan mereka percaya sama gue. Kalo si Mince pengen dugem dengan teman, dan bukan keluarga, selama ada gue, dia gampang dapet izin dan bisa pulang rada pagi.

Gue nggak pernah suka nama gue dicatut seperti itu. Tapi, si Mince nggak biasa terbuka dan berterus terang kepada ibunya yang rada-rada otoriter itu. Jeleknya, dia jadi terbiasa untuk berbohong dan mencatut nama teman-temannya kalo perlu, termasuk nama gue. Sangking seringnya, gue sadar kalo cuma masalah waktu aja yang bakal bikin nyokapnya yang ghualak itu sadar udah ditipu.

Dan waktunya pun tiba. Time to face the music. Dengan jantung berdebar-debar, gue telepon nomor rumah si Mince. Ibunya yang angkat.

“Selamat malam, Tante,” sapa gue dengan suara sesopan dan secarmuk mungkin. “Ini Rio.”
“Oh, ya,” suara ibu si Mince terdengar dingin. “Mince mana?”
“Lagi ke toilet, Tante,” gue berbohong dengan sangat tidak meyakinkan. Sial, gue pasti gagal dapet Oscar tahun ini.
“Ah, masa?” suara Tante Batak itu terdengar bertambah dingin dan, jelas, nggak percaya sepatah kata pun yang keluar dari mulut gue.
“Iya, Tante. Nanti saya suruh ia telepon Tante kalo udah selesai,” jawab gue sesuai skenario yang tadi disepakatin. “Makasih Tante, malam.”

Selesai gue menutup pembicaraan dengan nyokap si Mince, gue telepon anaknya yang lagi berasyik masyuk dengan cinta terlarangnya.

“Nyokap lo nggak percaya,” kata gue.
“Gak papa, ntar gue yang telepon dan ngejelasin. Tengkyu ya, bo.”

Gue pun pergi kursus.

Esok paginya gue menerima email dari si Mince yang dikirim dari alamat kantornya. Bunyinya singkat: “Nyokap gue marah besar, gue diusir dan sekarang gue tinggal sama Oom gue.”

Duh, Mince, bau busuk selalu kecium akhirnya.

Old posting and comments

Thursday, October 21, 2004

Kalau orang Minang kasih nama

Zaman sekarang semakin banyak orang yang memberi nama anaknya dengan unsur keagamaan yang kuat, terutama di kalangan umat Islam. Tujuannya jelas agar penyandang nama itu tumbuh seperti namanya. Nama semua keponakan gue mengandung arti dan makna yang indah, serta itu tadi, Islami. Faiqal Ikram atau Dhanya Salsabila, misalnya. Harapannya tentu jadi hmm.. apa ya arti nama keponakan-keponakan gue ini. Lupa gue. Padahal, gue selalu nyumbang nama buat semua nama keponakan, hehe... secara kakak dan adek gue itu emang sangat percaya sama kecanggihan selera gue, hihi...

Orang Jawa setahu gue juga punya kebiasaan menciptakan nama yang bermakna. Coba kita teliti nama Agus Haryo Purnomo. Agus itu kan bagus, Haryo itu nama laki-laki, dan Purnomo, tentunya bulan purnama. Jadi Gusye diharapkan untuk jadi anak laki-laki yang tampan seperti bulan purnama. Walaupun hasilnya adalah muka bulat dan hitam seperti gerhana bulan purnama tapi kan tetap ngganteng ya? Atau satu lagi, Prabowo Sastrodipuro yang artinya orang yang berwibawa dan bertutur kata halus. Nggak heran kan kalo bapak yang satu ini sukses jadi seorang playboyo? Merayu hati banyak wanita, yah, begitulah kesaksian teman-temannya, kalo baca blognya.

Sementara nama gue dan adik-kakak nggak ada yang bermakna indah, apalagi Islami. Nama gue termasuk golongan nama kebarat-baratan yang juga gemar dipake sama urang awak. Hasilnya, antara lain Rinaldi, Hugo, Welly, Ferdinand, Laura, dan Lidya. Nama gue itu diberikan oleh tante gue, Ibu Meinar, dari nama pemain bola Spanyol: Rinaldo. Kalau dia berharap gue gede jadi pemain sepak bola, maaf Ibu, saya gagal. Gue nggak pernah becus olahraga, termasuk sepak bola.

Selain gemar pake nama-nama Islami atau kebarat-baratan, orang Minang juga paling gemar pake akhiran tertentu, seperti –zal untuk cowok atau -niar untuk cewek. Dan hasilnya adalah nama para oom gue (Afrizal, Syafrizal, Herizal, dan Inrizal) dan tante (Desmaniar, Yulniar, dan Imaniar). Kadang yang bikin gue putus asa adalah sense mereka waktu ngasih akhiran itu. Seenaknya aja!

Ada lagi orang Minang yang terlalu tergila-gila sama nama Jawa. Anggut atau kakek gue di Bonjol termasuk salah satunya. Alhasil nama anak-anaknya adalah Maryono, Sri Yuningsih, dan Sri Ardieti. Sumpah, gue nggak ngerti gimana kakek gue bisa punya ilham ngasih nama anak-anaknya kayak gitu secara dia seumur hidupnya tinggal di kampung gitu. Kalo nggak kenal mereka, gue pasti sangka mereka transmigran dari Tulung Agung yang terdampar di Bonjol. Yang bikin miris adalah ketika nama-nama itu bersimbiosis dengan sebutan kekerabatan Minang, maka gue pun memanggil mereka dengan Pak Etek Oyon (Maryono), Etek Neng (Sri Yuningsih), dan Etek Et (Sri Ardieti). Nggak bangget deh!

Orang Minang juga punya kebiasaan menyebut nama orang dengan singkatan suku kata pertama nama orang itu—paling banyak dua suku kata—dan ditambahkan dengan si. Tapi ini berlaku buat orang yang lebih tua memanggil yang lebih muda. Maka, jadilah panggilan si Et, si Dul, si Yen, si Mis, atau si Des. Tapi, nggak ada satu namapun yang akan membekas di ingatan gue seperti nama salah seorang kerabat gue, si Jon.

Si Jon ini baru lulus STM dan datang ke Jakarta buat cari kerjaan. Dari pertama kali gue dikenalin, yang gue tahu namanya adalah si Jon. Si Jon ini anaknya—maaf ya Jon—pendek, item dekil, rambut cepak dan kusam, pokoknya—aduh sekali lagi maaf ya Jon—jelek. Si Jon ini hebat, gue kagum sama dia. Biar dari STM di kampung sana, dia bisa diterima bekerja di bengkel Auto2000, not bad lah buat anak kampung yang bapaknya jualan sate di pasar. Dan hebatnya lagi, ada satu hal yang juga bikin dia jadi seperti Mas Wisa yang ahli surga, dia jago ngaji. Karena keindahan suara dan lafalnya, dia udah biasa ditanggap buat jadi qari di berbagai acara. Dan, satu hari, gue akan berkesempatan untuk mendengarkan dia mengaji di salah satu acara pernikahan kerabat di daerah Tambun sana.

Seperti biasa, suatu acara ijab kabul selalu diawali dengan lantunan ayat suci Al Quran dengan surat favorit, Ar Rum ayat 21-22 (bener nggak Bunda, Isna?). Demikian juga di hari yang bersejarah itu, hari ketika gue untuk pertama kalinya mengetahui nama asli dari anak kampung kerabat gue dari nyokap lulusan STM yang jelek tapi hidup dan jago ngaji itu.

Setelah acara dibuka dengan basa-basi dari pembawa acara, tibalah saatnya Si Jon untuk show. Pembawa acara berkata dengan takzim, “Sebelum kita ikuti acara inti dalam upacara pernikahan ini, yaitu ijab kabul, marilah kita tundukkan kepala kita, kita sucikan hati kita, dan kita dengarkan lantunan ayat suci Al Quran, Surat Ar Rum ayat 21-22 yang akan disampaikan oleh adik kita, ...”

Drum rolls, please.

“JOHN TRAVOLTA!”

Jantung gue berhenti berdetak. Mata gue melotot. Kepala gue berkunang-kunang. Sebentar lagi gue tahu gue nggak akan sanggup menahan tawa yang udah ada di ujung kerongkongan gue itu. Sambil ngakak keras-keras—buat yang pernah dengar gue ketawa ngakak mungkin bisa memberi kesaksian betapa dahsyatnya tawa gue itu—gue pun permisi keluar ruangan karena gue nggak pengen mengganggu kekhidmatan acara. Semua mata memandang gue dengan penuh kejengkelan dan nyokap gue pun mencubit tangan gue waktu gue hendak bangun dari duduk.

Gue nggak habis pikir dari mana bapak si Jon dapet ide ngasih nama anaknya? Apa waktu dia lagi beli gerobak sate di Padang dan ngelewatin bioskop Raya terus dia ngelihat poster John Travolta dengan jas putih dan jari menunjuk ke atas dan berpikir, “ndek anak awak beko lahir laki-laki, ka awak agiah namo sarupo jo bintang pelem tuh. Ndek beko inyo tumbuah ka jadi urang nan rancak sarupo laki tu.”

Di luar ruangan, air mata gue menetes dan tawa gue nggak bisa berhenti.

Old posting and comments

Monday, October 18, 2004

Perjodohan II – Berkibarlah bendera(putih)-ku

Gue adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kakak gue adalah cewek semata wayang dan adek-adek gue cowok semua. Ketiganya udah merid. Adek-adek gue, yang jarak umurnya cuma setahun, menikah juga hanya terpaut satu tahun, tahun 2001 dan 2002. Dan ada persamaan unik antara bokap dan adek-adek gue itu. Mereka bertiga menikah di usia yang sama: dua puluh tujuh tahun.

Secara semua udah merid, gue pun jadi pusat perhatian semua orang di keluarga. Nggak ada bosennya di setiap acara keluarga gue mendapatkan pertanyaan “kapan nyusul” yang sepertinya diteriakin dari atas tebing Ngarai Sihanok sehingga bergaung dan bergema nggak habis-habis... nggak habis-habis... nggak habis-habis... nggak habis-habis!

Huh!

Kalo suasana hati lagi baik, jawaban standar gue adalah, “belum ketemu jodoh, Tante/Oom/Kek/Nek/Opa/Oma/Paktuo/Maktuo/Pak etek/Etek/Mamak/Wan.”

Tapi tanya deh kalo mood gue lagi agak-agak bosan, yang sering banget terjadi, jawaban gue akan beragam dari yang jayus hingga paling jayus secara gue udah kehilangan kreativitas gue kalo udah ditanya soal yang satu itu. Mulai dari: “Errr... Oom beliin saya rumah sama BMW dan deposito 10 M, saya kawin deh!”; ato kalo nggak, “Lho, Tante belum terima undangannya ya? Nanti saya cek ke Tiki deh.”; sampe, “Saya nggak mau kawin kalo bukan sama Gwyneth Paltrow.”

Ya, ya, ya, gue tahu alasan gue super duper garing secara pertanyaannya juga makdikipe gigi lo belumut bin najong kriuknya.

Dan kakak gue tercinta termasuk orang yang paling getol “menjual” gue ke semua orang yang dia kenal. Nggak tahu apa yang dia kibulin ke orang-orang kok ya mereka pada pengen kenal gue. Tapi secara gue terkenal cuek berat dan nggak pernah pedulian ato menghargai semua usahanya, pelan-pelan dia nyerah. Terutama setelah usaha terakhirnya untuk ngenalin gue dengan anak tetangganya yang masih kuliah di Trisakti gagal total dengan satu kalimat berbisa yang gue lontarin dengan senyum menyeringai memamerkan semua gigi taring gue yang kuning gara-gara kebanyakan antibiotik waktu kecil.

“Lo pikir gue babysitter?”
Kakak gue ngambek, “Terserah lo deh! Lo emang bebal!”

Yeee bolehnye renyem. Lagian, pacaran sama anak kuliah? Aduh, yang ada kepala gue bakal dibikin pusing sama seribu satu kemanjaan yang nggak jelas. Thanks, dear sister, tapi lebih baik gue lo lepas di kandang macan Taman Safari daripada mesti macarin anak kuliah.

Tapi sekarang, gue nggak tega ngedengar curhatan dia bahwa dia didonderin mamak gue itu yang bahkan setelah pulang ke kampungnya di Pesisir Selatan sana masih sempat-sempatnya menelepon kakak gue beberapa kali buat nanya kapan gue dikenalin dengan anak kerabat mereka di Jakarta itu yang, mbok ya o, namanya kok sama kayak kakak gue, Rini.

“Coba dulu lah, Yo,” suara kakak gue terdengar melas banget di telepon.
“Lu tu ye nggak kapok-kapok. Perasaan gue udah cukup kejam nyemprot lo terakhir kali.”
“Gue udah kapok, tahu!” kakak gue membela diri. “Gue tahu kepala gede lo itu keras kayak batu! Tapi gue nggak enak soalnya Mak Yunar itu neleponin gue melulu.”

Gue diam. Gue kasihan sama kakak gue. Gue tahu banget, sejak kejadian terakhir, dia nggak berani nanya ke gue soal kapan gue mau menikah. Sedangkan kakak ipar dan adek-adek gue juga sama aja kapoknya. Gue pernah disidang hampir dua tahun yang lalu di satu restoran dengan agenda pembahasan tentang rencana gue menikah. Kakak ipar sekaligus oom gue dan kedua adek gue gantian menyerang gue dengan seribu satu argumen memaksa gue buat cepat menikah. Dengan lincah seperti David Beckham menggocek lawan secara gue emang rada-rada mirip Beckham *narsis mode on*, gue menangkis semua argumen mereka. Adek gue cuma bisa ngomong, “lo ke laut aja deh, Yo!”

Idih, kok jadi nyolot? Nekad sih ngajakin gue debat, hihihi... Udah tahu gue nggak mau kalah anaknya, apalagi soal yang satu itu. Gue nggak main-main dengan pilihan gue dan gue sadar dengan semua resikonya. Jangan nekad kasih argumen agama ke gue karena gue emang bukan orang yang taat juga. Kalo shalat yang lebih wajib aja masih jarang gue kerjain, apa lo pikir gue bakal kawin karena alasan agama menyuruh ummatnya buat menikah? Woi, prioritas itu jangan kebalik. Kerjain yang wajib dulu deh!

Gue juga nggak pernah pusing sama tuntutan sosial karena dinamika sosial itu bergerak cepat. Apa yang dianggap nggak pantas dulu, sekarang nggak masalah. Zaman gue SMA, pake jilbab bisa bikin orang dikeluarin dari sekolah. Sekarang? Jilbab udah jadi komoditi gaya hidup dan komersial. Hidup melajang mungkin aneh dulu, tapi nanti, eh, ntar dulu. Buat gue, mending nggak menikah kalo cuma cari status sosial. Sumpah, enggak banget!

Gue juga nggak terima argumen bahwa umur menentukan kapan seseorang sebaiknya punya anak. Karena itu namanya rezeki, dan menurut gue itu bukan urusan kita. Gue masih sangat percaya bahwa itu urusan Tuhan. Lagian kalo cuma pengen anak aja sih, adopsi aja kenapa? Ada terlalu banyak anak terlantar yang bisa dibantu kehidupannya jadi lebih baik daripada menikah hanya buat punya anak dan menuh-menuhin dunia yang udah kepenuhan ini.

Di sidang itu, gue udah bikin pernyataan jelas bahwa gue nggak berpikir untuk menikah dalam beberapa tahun ke depan. Gue juga nggak pernah berpikir bahwa menikah itu satu kewajiban. Tapi, catet, gue nggak pernah bilang bahwa gue nggak akan menikah seumur hidup gue. Gue nggak mau ngelangkahin Yang Di Atas secara jodoh itu kan emang bukan urusan manusia. Jadi, keputusan itu bukan harga mati, masih bisa ditawar. Dan gue bakal meninjau keputusan gue itu nanti. Ada kemungkinan gue bakal memperpanjang keputusan itu, atau gue terminasi. Secara, kontrak kerja kali.

Namun, ada kalanya, keputusan yang udah gue ambil itu mempengaruhi orang-orang terdekat gue dengan cara yang gue nggak harapin. Seperti kakak gue yang harus kelabakan menerima pertanyaan dan penawaran orang yang pengen ngejodohin gue dengan kerabat-kerabat. Kadang kalo kakak gue cerita soal orang-orang yang “minta” gue, gue nggak nyangka ternyata gue segitu lakunya ya *pipi bersemu merah*. Orang itu nggak bisa lihat apa kalo gue bukan “the marrying kind”. Dan gue kasihan kakak gue harus ngejelasin kenapa gue—adeknya—bisa punya pikiran yang nggak Islami dan nggak Minangi sampe menganggap pernikahan bukan suatu kewajiban. Dia nggak punya pilihan selain terpaksa harus ngeles ke sana ke mari karena dia tahu adeknya yang satu ini nggak gampang dipengaruhi.

Tapi gue paling sedih ketika keputusan gue itu mempengaruhi orang yang paling gue cintai di dunia ini, nyokap. Kalo nyokap dengan sedih nangis di telepon dan bicara tanpa menyalahkan gue tapi balik menyalahkan dirinya yang udah merasa gagal membesarkan anak, anak yang nggak saleh dan jauh dari agama, berpikir terlalu jauh buat akal sehat dan norma sosialnya; kalo udah gini, gue nggak tahu mesti bilang apa dan cuma berlagak bisa diam dan membesarkan hati nyokap gue. Kalo udah gini, kadang gue pengen nyerah. Kalo udah gini, begitu tutup telepon, gue luluh dan cuma bisa nangis dan ngebathin.

It’s not your fault, Mother. It’s never been anybody’s fault. Don’t blame yourself. Don’t ever blame yourself. You did nothing but wonderfully raised this ungrateful son of yours the best that you know how. With love and dignity and the strong confidence and self esteem in my ownself. And God knows what a great mother you have been to me. Just love me for what I am, mother, my strengths and my weaknesses. I’m a grown up now, my wings are strong enough to take me flying.

But sometimes, I fly too high and wind lunges and I plunge. Sing me that lullaby you sang for me when I was little for your song will soothe my wounded soul and give me strength to face the day. Caress me for your touch will sprout wings on my back and fly me back in the air. Say a prayer for me for your prayer will be the cloud to shelter me from the heat of the blazing sun.

Don’t cry, because every tear you shed is a dagger stabbing my heart. Just be happy for me, because your smile is the water for my thirst in this long journey through the desert called life. And I know, every time a sand storm blows my gutts out, I’ll have you there to shield my eyes from the blinding sand. And I will still be able to see my way through the storm. Please say that prayer again and again and again, dear mother, then I’ll be alright.

So, akhirnya gue nyerah.

“Ya udah, kasih nomer telepon si Rini itu ke gue, biar gue hubungin dia.”
“Terus kapan lo gue kenalin ke dia?” suara kakak gue terdengar lebih ceria.
“Ih, yang bener aja!” kata gue nyolot. “Lo pikir umur gue sebelas tahun? Gue bisa ketemu sendiri sama dia. Ngapain lo ikut, yang bener aja!”

Gue nggak butuh chaperon deh.

Old posting and comments

Friday, October 08, 2004

Perjodohan I – Dari oom jadi ipar

Hari Sabtu pagi, gue kebangun gara2 telepon dari… hah? Kakak gue? Ngapain nih anak? Dengan ogah-ogahan dan mata berat gue angkat telepon.

“Ya?”
“Eh, di mana lo? Anterin gue dong!” suara kakak gue memenuhi gendang telinga gue.
“Di kos. Nganterin kemana sih pagi-pagi?”
“Jemput Mak Yunar di rumah sodaranya.”

What? Itu kan di Kramat Jati sana? Jauh bukan? Males bangeeeeeeett.

“Harus ya?” gue coba ngeles. “Emang Bang Eri kemana?” (Bang Eri itu nama kakak ipar gue).
“Bang Eri nggak bisa.”

Aduh, tega bener kakak gue ini, secara gue kan lagi diare, masih pagi dan nyawa gue masih belom ngumpul gini udah dimintain tolong yang aneh-aneh. Kebayang sama gue jauhnya perjalanan gue ke rumah kakak gue di Bekasi terus mesti nyetir mobilnya ke Kramat Jati buat jemput adek kakek gue, sekaligue besan dan oom dari kakak ipar gue. Gue tahu lo bingung sama silsilah keluarga ini, gue aja pusing kok. Secara ini semua terjadi gara-gara kakak gue tercinta, satu-satunya anak perempuan nyokap-bokap gue, yang lahir dan gede di Jakarta, tapi bisa-bisanya… kawin sama OOM sendiri!

Begitulah, orang Padaaaaang orang Padang! Gemaaaaar banget ngejodohin orang! Dan dengan berat hati gue harus ngakuin satu kebiasaan yang entah baik entah buruk dari suku bangsa asal-usul gue ini masih merajalela bahkan di zaman Indonesian Idol begini. Gue tahu, ada pepatah yang merupakan sumber dari budaya perjodohan ini: “Pulang ka mamak.” Karena secara adat matrilineal, artinya garis suku diturunkan oleh ibu, di Minang itu yang bertanggung jawab terhadap anak adalah mamak atau saudara laki-laki dari ibu. Akibatnya, sering banget para kemenakan ini dikawinin sama anak si mamak, bisa mamak dekat bisa mamak jauh.

Prinsip urang awak lain adalah “Anak dipangku, kemenakan dibimbing.” Ayah itu nggak besar fungsinya di keluarga Minang tradisional karena keputusan tentang masa depan anak, dari pendidikan sampe perjodohan ditentukan oleh para ninik mamak. Ayah itu bertanggung jawab sama kemenakannya yang lain.

Tapi keluarga gue adalah keluarga Minang modern gitu lho. Nggak nganut adat-adatan dengan kuat. Mana mau bokap gue ngebiarin orang lain yang nentuin anaknya mau disekolahin di mana atau dikawinin sama siapa. Apalagi zaman sekarang, fungsi ninik mamak itu udah nggak kelewat decisive lagi, cuma forum konsultasi aja. Peran ayah udah jauh lebih besar, apalagi di kota.

Biar begitu, dalam hal kawin, ninik mamak masih sering berkuasa atopun sok berkuasa. Tante gue adek bokap, biar insinyur lulusan IPB, kawin juga dengan perjodohan yang ditentuin ninik mamak di kampung. Tapi menurut gue, itu masih wajar secara hubungan dia dan suaminya hanya satu kampung. Dan tante gue lahir dan besar di kampung, kecuali kuliah aja di Bogor. Yang sampe sekarang sulit gue mengerti adalah kakak gue, duh, kakak gue tercinta, yang lahir dan gede di Jakarta, kok ya mau-maunya dijodohin sama oom sendiri?

Waktu itu kakak gue masih kuliah, gue juga, secara kakak gue cuma lebih tua setahunan. Dan oom gue yang sepupu nyokap itu—Bang Eri—baru kerja di Jakarta setelah lulus kuliah dari Padang. Bang Eri tinggal di rumah nyokap di Bekasi sama salah satu tante gue yang baru merid dan kadang-kadang dia nginep di rumah gue.

Dan satu sore di tahun 1991, nenek gue dari nyokap sama ibunya Bang Eri, adek satu bapak lain ibu dari kakek gue mulai ngerumpi. Buyut-buyut gue, nggak dari nyokap maupun bokap emang para pejantan tangguh, hehe... Secara buyut gue dari nyokap, seorang Datuk di Taluk, Pesisir Selatan itu punya tiga istri. Dan kakek gue adalah anak dari istri pertama sedangkan kakak ipar gue adalah cucu dari istri ketiga. Wekekek… maklum Datuk! Bangsawan penguasa wilayah! Istrinya bisa ada di setiap desa kekuasaannya, jadi istri tiga itu masih bagus lho.

Karena rekor yang lebih nggilani adalah buyut gue dari bokap, yang juga Datuk di perbukitan Bonjol yang dilewatin garis khatulistiwa itu. Dia punya istri 17 orang! Dari 17 orang itu, sepuluh orang punya anak. Jadi kalo gue pulang ke kampung bokap, gue sering dibilang sombong karena enggak negor salah satu pak etek (pak lik) gue atau maktuo (bude). Lah, mana gue tahu?! Salahnya buyut gue nebar, maaf, sp*^%a di mana-mana, gimana caranya gue bisa ngenalin mana sodara mana bukan?

Eniwei, balik ke rumpian para nenek itu di satu sore sambil menyeruput teh manis dan lapek bugih.

“Uni, cubo lah dikece’an ka si Eri tu. Lai katuju inyo jo si Rini (nama kakak gue).”
“Iyo, mana awak tau lai ka bajodoh.”

Terjemahan untuk para Jawanis (baikya gue? Gue harus kursus sama sekretaris kantor yang freshly imported from Salatiga buat nerjemahin dua kalimat ini doang):

“Jeng, ngomongo kambe Mas Eri. Dek-e seneng karo si Rini opo ora?”
“Iyo, sopo ngerti jodone.”

Singkat cerita, Bang Eri mulai melakukan serangan gerilya ke kakak gue dan ndilalah, kakak gue kok mau dan mereka pun pacaran diam-diam. Nggak satu orangpun di keluarga gue yang tahu. Enggak nyokap, bokap, gue, dan adek-adek gue. Yang tahu cuma nenek gue dan keluarganya Bang Eri. Mereka nggak ngomong karena sungkan sama bokap secara bokap gue emang paling diseganin sama keluarga kedua pihak. Mereka takut bokap gue nggak setuju.

Dan ketika satu sore di awal tahun 1992 kakak gue ngomong sama gue di mobil. “Yo, menurut lo gimana kalo gue merid sama Bang Eri?”

Gue nengok dengan mata melotot ke arah kakak gue secara gue lagi nyetir mobil dan kakak gue yang lagi mabok cinta itu nyampein berita uji jantung itu di saat yang nggak tepat. Mobil gue hampir nyerempet motor. Untung nggak nabrak. Gue diklakson dan diamuk orang.

”Iya, lo emang paling top udah!” kata gue jengkel secara gue sebenernya udah ngendus kemungkinan itu. Rese! “Kagak ada cowok laen apa sampe oom sendiri digebet?”
“Namanya juga jodoh,” kakak gue ngeles.

Malam itu nyokap ngajak gue ngobrol. “Gimana ya, Yo? Mama takut kalo mereka kawin terus nanti nggak cocok hubungan keluarga jadi ikutan berantakan.”
“Nggak lah, Ma,” kata gue nenangin nyokap. “Di antara semua adek Ayah (gue manggil kakek-nenek gue ayah-ibu seperti nyokap gue manggil mereka) kan kita emang paling dekat sama mereka. Biarin aja mereka kawin.”

Dan dua belas tahun kemudian, kakak gue hidup bahagia bersama suaminya dan dikaruniai empat orang anak laki-laki. Keponakan-keponakan gue yang lucu dan bandel.

Emang bener ya, kalo jodoh nggak akan kemana.

Old posting and comments

Wednesday, October 06, 2004

WATCHING Biarkan Bintang Menari

Salah satu keuntungan kalo sakit dan pulang ke rumah adalah bisa nonton tv. Yup, sampe sekarang gue masih belom beli kabel antena buat nyambungin ke antena luar di kos karena antena dalam itu gambarnya nggak bagus. Dan Senin malam, sehabis ngakak nonton Bajaj Bajuri episode Bajuri mati, yang ternyata menurut pakar Bajurisme, Rudy, adalah produksi 2002 dan diputer ulang tujuh kali, gue nonton “Biarkan Bintang Menari” di Transtv.

Gue suka, tapi menurut gue film ini jelek.

Hehe... kok bisa? Ya bisa dong, alasan kesukaan gue sama film ini subjektif. Pertama, gue emang suka musikal, mau teater ato film. Ini film musikal, wajar gue suka. Cuma, PDA, musiknya nggak inspiratif sama sekali dan nggak bikin adegan itu jadi kuat. Lagu-lagu awalnya lumayan manis dan cukup mendukung adegan. Tapi setelah adegan Ospek, nggak ada lagi lagu yang menarik. Lagu cuma tempelan secara ini musikal yang mestinya lagu jadi kekuatan dan bagian integral dengan film. Sapa sih yang bikin musiknya? Lo mesti banyak-banyak nonton musikal dari Singin’ in the rain sampe Chicago dan lihat gimana lagu jadi kekuatan utama.

Trus koreografinya juga, kacau! Pas adegan di tempat kerja Ariyo, lokasi pembangunan Pakubuwono Residence (commercial alert: plis kalo mau bayar iklan, japri aja buat nomer rekening gue ya) gue ngarepin para pekerja bangunan itu dengan serunya menari-nari dengan musik yang lincah dan ceria. Eh, ini, udah musiknya layu getoh, koreografinya jelek, dan lingkungan sekitar nggak dimanfaatin sebaik-baiknya.

Gue udah ngebayangin adegan kayak di lagu “Step in time”-nya Mary Poppins waktu Dick van Dyke dan Julie Andrews nari-nari bareng segerombolan para penyikat cerobong asap di atap-atap rumah di London, berlompatan dari satu atap ke atap lain, keluar masuk cerobong asap, tap dance, aduuuhhh... sumpeh deh keren banget! Salah ya, gue terlalu ngarep.

Tapi gimana juga, gue tetep suka film ini tuh.

Kenapa? Ini membawa kita ke alasan kedua, yaitu karena gue penggemar dongeng kelas berat, secara gue kan anaknya emang romantis *pipi bersemu merah*. Gue punya buku koleksi dongengnya Grimm brothers yang masih suka gue baca tiap mau tidur—dan gue lagi nyari buku dongengnya Andersen. Dan film ini memang diawali ketika sepasang bocah tukang mimpi yang terlalu bijak untuk umurnya harus berpisah dan diakhiri ketika kedua bocah bertemu lagi saat remaja dan memadu kasih (duh, bahasanya nggak kelewat kayak novelnya Freddy S kan?). Di bawah bintang, di tepi danau yang sama dengan di awal film, dan ditutup dengan sebuah buku terbuka yang kemudian ditutup bertuliskan “Mereka hidup bahagia sampai akhir jaman” (helloo... editor alert: zaman itu nulisnya pake zet dan bukan jaman pake je!) dengan diiringi narasi yang amat sangat nggak bangget dan mengganggu oleh suara seorang tante-tante, entah siapa. Maunya ngikutin Shrek, tapi sayang, gagal.

Gagal memang, secara gue gak terpengaruh tuh. Adegan itu so sweet banget.

Masih nanya kenapa? Begini ya, gue suka skenario dengan dialog yang cerdas. Dan yang nulis skenarionya—maaf nggak baca credit title dan di rumah internet amat sangat lelet—lumayan cerdas bikin dialog (lagian, buat research entry beginian aja gue mesti bayar telkomnet, nehi babu-ji). Perumpamaan orang jatuh cinta dengan jumlah bintang di langit, cinta dengan menjahit baju, lumayan manis buat jiwa romantis gue yang lagi menggebu-gebu secara baru ditolak getoh (okeh, jangan cerewet, gue tahu nggak baru-baru amat, tapi selama belom dapet ganti gue masih berhak pake itu jadi contoh kasus ya).

Tapi betenya, skenarionya nggak konsisten. Baik dialog maupun cerita. Kadang suka pake analogi yang secara udah dipake satu juta dua ratus tiga belas ribu enam puluh tujuh kali ya: Jakarta adalah kota yang penuh kepalsuan. Ibukota yang kejam, PDA! Hari gini! Ganti topik napah!

Terus, waktu adegan El Manik lagi meluk Ariyo buat minta maaf, masa sih mendadak dia nanyain semester sama IP segala? Dan ngeberondong getoh nanyanya? Aduh, lo tuh ganggu mood sedih gue deh! Secara adegan itu mestinya jadi saat gue ambil tisu sambil termehek-mehek, tapi gara-gara lo bikin adegan sok ngelawak gue jadinya mules secara gue masih diare, ya! Sebel!

Bodo amat, I still love the movie.

Dan dengan bebalnya lo masih terus nanya. Okeh, nih gue beri, alasan keempat: gue suka aktingnya Ariyo sama El Manik. Tapi gue sebel sama Ladya Cheryll (gimana sih ngeja nama anak ini? Orang tuanya penggemar film seri Charlie’s Angels ya? Secara satu-satunya bintang top yang gue tahu namanya pake Cherryl kan si Cherryl Ladd, salah satu Charlie’s Angels versi tv—pasti Rudy inget deh si Blondie satu ini bahkan mungkin bisa kasih info tambahan?). Dan, tentu yang juga gue sebal, perempuan tukang maksa itu, Maemunah. Untung perannya nggak penting dan nggak banyak. Masalahnya, biar sebentar dia nyanyi! Oh no!

Okeh, gue nggak pernah suka si Munah dari dulu. Ya abis, dia sih suka maksa nyanyi udah tahu dia kan cuma cantik doang. Udah getoh Addie MS juga ikut bersalah bikin gue tambah jutek sama si Munah secara tiap tahun dia selalu nampilin Munah di acara TO Concert di PS tiap Lebaran ma Natalan. Dan dengan tidak tahu malunya Munah duet sama Christopher Abimanyu, Rita Effendy, ato Agus Wisman! Oemji! Nyadar nggak sih suara lo terlalu ngepas, Munah darling honey bunny sweetie pie? (Cinta emang nggak cuma bikin buta tapi budeg juga, tuh, Addie MS jadi budeg gara-gara kelewat cinta ma si Munah!) Gini deh jadinya, kesebelan gue ma Munah dipupuk terus setiap gue nonton konser TO. Mo nggak nonton, rugi, secara itu kan gratisan. Dengan darah Padang gue yang ogah rugi mengalir deras dalam nadi, gue milih buat tetep nonton dan menggigit bibir untuk nggak mencaci maki setiap Munah dengan sumringah buka mulut.

Udah ah, ngomongin Munah, sekarang nyela Ladya dulu ya. Gue suka Ladya di AADC, secara dia pas banget maenin karakter rapuh dan melankolik di film itu. Tapi di film ini, jadi pemimpi romantis? Duh, enggak banget. Maennya kok samaaaaa aja gayanya kayak di AADC, gaya meweknya aja sama. Mending Rachel ketahuan.

Rachel Maryam di Andai Ia Tahu jauh lebih menarik sebagai pemimpi romantis, secara filmnya luar biasa jelek dan gue nggak suka dan yang bikin skenario tinggal di Merauke. Masa sih bisa-bisanya dia bikin Mamanya Rachel untuk ngomong sama Marcel buat ngejar Rachel dari Bintaro jam 7 malem, hari kerja, ke Gambir karena keretanya baru berangkat jam 7.30 malam? Dan Marcel sukses sampe Gambir jam 19.31 pas keretanya baru jalan! Gue sampe nangis sesenggukan secara memikirkan akal sehat gue yang udah hilang gara-gara ngebuang duit 30 ribu buat nonton film itu di bioskop, hiks....

Seperti gue udah bilang, gue suka Ariyo. Gaya cuek, sok tough, dan sekaligus hopelessly romantic guy begitu pas dibawain dia. Dan perkembangan karakternya juga dengan asyik dibawain sama dia. Walau itu codet agak lebai ya, tapi dia kewl banget deh. Dan itu suara dia sendiri nggak sih yang nyanyi? Kalo ya, keren. Asli keren, dan cukup bisa mengekspresikan karakternya. Secara si Ladya jelas banget di-dub nyanyinya sama si-sekarang-langsing-dulu-gendut-anggota-RSD-Sita.

Gue juga suka El Manik, tapi ya, secara kapan sih El Manik maen jelek? Dari Titian Rambut Dibelah Tujuh sampe sinetron—yang nggak pernah gue tonton itu—akting El Manik tetap El Maut kok.

Terus... aduh udah deh, jangan kebanyakan nanya, soalnya banyak cacatnya ini film, tapi gue tetep suka tuh. Karena seperti cinta, ia akan menafikkan segala kekurangan yang ada, ehem, gue dalem lho ngomongnya. Seperti Addie MS yang budeg kalo denger Munah nyanyi. Atau kayak Mas Wisa kalo denger Delon nyanyi, oh kalo ini sih emang secara Mas Wisa selalu nyumpelin kupingnya pake kapas karena dia paling benci sama suaranya Delon, hehe...

Tapi coba deh, sampingin semua logika objektif lo dan pejamkan mata dan bermimpilah. (Ya, pinter banget lo nutup mata beneran, mana bisa nonton tahu? Secara gue ngomong pake metafor.) Kayak nonton Harold and Kumar yang goblog abis tapi lucu abis juga itu. Pokoknya, biarin film itu mengisi ruang-ruang romantis lo (yang biasanya abis-abisan didongengin dalam chick lit—wah ini sih Mona jagonya), dan biarkan reaksi kimia itu bekerja. You’ll love the movie. Filmnya dreamy abis. Kalo nggak suka juga, ...

Lo anaknya nggak romantis banget sih?!

Old posting and comments

Perut bintang lima

Gue diare, muntah melulu, mencret melulu dari hari Jumat. Awalnya di kantor sebelom Jumatan, virus-virus diare di perut gue yang udah gerilya sejak sarapan akhirnya memenangkan pemberontakan. Nasi, gudek, kerecek, rendang, dan kerupuk yang gue sikat pagi tadi berhasil ditendang keluar semua dari lambung.

Dan sejak itu virus diare mengkudeta perut gue yang biasanya sangat eklektik seperti suaranya Joy yang bisa nyanyiin apa aja itu. Secara perut gue bisa nerima makanan apa aja, nggak suka pilih-pilih dan mencerna dengan sama baiknya. Mo makanan dengan tingkat goyangan lidah tinggi (karena pedas) seperti waktu Joy mbawain lagu Kuakui sampe yang manis kayak suara Joy mbawain lagu Pelangi.

Perut gue yang juga bisa disamain kayak New York, secara sangat internasional dan terdiri dari banyak kultur. Mulai dari sushi sampe goreng lindung, singkong rebus sampe hisit, perut gue menerima dengan lapang lambung, menampung dan membinanya sampai saatnya mereka pergi. Euuuhh...

Tapi sekarang, sejak virus-virus terkutuk itu berkuasa, mereka telah memaksa semua makanan yang masuk seperti Tom Hanks di The Terminal. Cuma bisa transit sebentar buat kemudian ditendang keluar lagi lewat asal datangnya, mulut! Kalopun ada yang berhasil lolos, mereka sukses menyiksa hingga akhirnya luluh lantak mencair. Oh kejamnya virus-virus itu!

Sabtu sore itu, sebelom untuk kesekian kalinya virus-virus itu berhasil mendeportasi nasi tim ayam yang baru gue makan, secara gue udah nyari makanan lunak begetoh, gue bersekutu dengan dokter di MMC, Kuningan. Tapi sebelom gue minum obat, mereka udah sukses. Bendera putih dikibarkan. Gue nggak sanggup makan apa-apa. Badan lemas, perut keram, lidah pahit. Cuma biskuit marie regal yang nggak dideportasi. Sampe Senin pagi badan gue berasa hancur, patah tulang, dan lemes minta ampun.

Hari Senin badan gue perlahan membaik baik karena gue udah mulai bisa makan bubur nasi dengan sop bikinan adek ipar gue. Dan pelan-pelan, sampe hari Selasa kemaren, nafsu makan gue balik lagi. Biar masih suka ke belakang, gue optimis bakal bisa ngalahin virus-virus laknat itu! Rabu bisa ngantor lagi! Ngeblog lagi.

Kesimpulan, perut gue itu memang seperti New York, mahal dan kelasnya bintang lima! Apa daya, kantong kaki lima! Jadi teman-teman, silakan antri buat gantian traktir gue di coffee shop Grand Hyatt. Apa? Nggak mau? Gimana sih? Katanya care!

Huh, pembohong kalian semua!

Old posting and comments