Wednesday, February 16, 2005

Peraturan nomor empat: "ANJING KAU, RIO!"


Tapi ketika Senin gue masuk kerja seperti biasa, drama itu belum selesai.

Senin pagi itu gue telat datang karena gue ngerasa berat sekali buat pergi ngantor. Gue paksain diri karena udah janji untuk tetap masuk dengan Kepala SDM. Sampe kantor ruangan ternyata kosong, yang ada cuma Ibra dan sekretaris divisi gue. Ibra manggil gue dan kita bicara. Gue bilang bahwa gue nggak mau berurusan sama Beti sampe buku gue selesai dan Ibra harus aktif jadi perantara. Gue juga bilang ke Ibra bahwa Beti nggak usah takut gue ngadu ke Bos karena gue udah nggak mood sama sekali. Gue udah mutusin untuk keluar begitu buku yang gue produksi kelar diedit dan siap naik cetak. Toh, kalo soal isi, gue lebih banyak berhubungan sama Mr Konsultan, bukan Beti. Gue bilang, sampai saat buku itu selesai, mari kita saling menganggap satu sama lain nggak ada. Ibra setuju dan bilang akan menyampaikan permintaan gue itu ke Beti.

Apa mau dikata, Beti mendadak masuk dan memanggil Ibra. Nggak lama Ibra pun memanggil gue dan kami bertiga duduk di meja rapat di pojokan ruangan. Gue dan Ibra duduk berhadapan sementara Beti di sebelah kiri gue.

Nggak lama kemudian mulailah pengadilan buat gue dengan hakim tunggal, Beti, tanpa jaksa pembela karena Ibra hanya jadi penonton setia.

"ANJING kau, Rio!" kalimat pembukaan Beti sungguh sangat indah. "Berani kau lawan aku depan semua orang! BANGSAT! Tak tahu terima kasih kau! Sudah kubela kau di depan Bos, waktu kau mau dipecat karena tak lulus masa percobaan, sampai kau dapat penyesuaian gaji paling tinggi! Ini balasan kau?! BABI kau!"

Dia nggak berhenti ngomel, "kerja kau main handphone terus! Dasar MONYET PEMALAS kau! Tak produktif!"

Tapi gue diem aja nggak ngejawab dan males ngebantah semua omongannya. Sementara Beti terus nyerocos ngamuk sambil sesekali memberi sound effect dengan memukul meja. Semua bentuk caci maki yang dia kenal, dia lontarkan ke arah gue. Gue hanya diam tanpa ekspresi.

"Kerja kau main game terus!" dia ngamuk.

Errr... okeh, gini ya. Di kantor semua anak kalo suntuk suka main game, termasuk Beti. Malah karena dia paling nggak banyak kerjaan, dia yang paling sering main game. Nah, ada satu permainan bodoh (cuma windows game biasa) yang jadi andalan kita, yang pake bola-bola gitu, lupa namanya. Semua suka mainin dan ngadu tinggi-tinggian rekor. Dulu rekor itu dipegang Beti, hihi... malu nggak sih Bos megang rekor main game, sampe gue berhasil mecahin rekor dia. Sejak itu kerjaannya nanya gimana cara gue dan nuduh gue curang, yang tentu gue jawab nggak, hihihi... padahal gue curang bener!

Cuman ketika masalah receh begini dibahas dalam sidang penuh kata mutiara itu, gue jadi jengkel sehingga mulut gue gatel dan, akhirnya, gue pun angkat bicara. Kata gue dengan santai dan pelan, "Bapak juga suka main game."

Tapi, dampak dari jawaban singkat gue itu ternyata dahsyat. Dia jadi sangat murka mendengar gue berani menjawab setelah lama diam seribu bahasa. Dia pun bangkit dari kursinya dan tangan kirinya mencengkeram leher baju gue dan memaksa gue bangkit dari duduk. Tangan kanannya mengepal dan siap meninju gue.

Gue tatap matanya menantang. Coba aja pukul, kata gue dalam hati, dengan senang hati gue bakal aduin lo ke polisi. Kalo perlu gue aduin sekalian nih perusahaan yang udah ngelanggar banyak aturan ketenagakerjaan. Ayo, pukul, pukul...

Kejadian itu mungkin hanya beberapa belas detik aja tapi rasanya seperti belasan jam berlalu. Beti akhirnya membuang mukanya dari pandangan gue, melepaskan cengekeramannya, dan menurunkan tangan kanannya. Sambil melenguh keras dia angkat kaki dan keluar dari ruangan. Ibra yang hanya bisa berdiri ternganga diam nggak sanggup berkata-kata. Demikian juga sekretaris divisi gue di ujung sana yang menyaksikan sinetron itu.

Dengan perlahan gue balik ke meja gue dan nelepon bokap. Bokap nyabarin gue untuk nggak nelepon polisi (kalo gue telepon gimana ya, hihihi...). Setelah itu gue ngadep SDM lagi dan proses itu berulang lagi. Beti dipanggil, tapi gue tahu, nggak akan ada pemecahan masalah yang berarti. Beti adalah anak emas bos.

Lantas, apa yang gue harus lakukan kalo udah gini? Drama ini cuman drama tambahan dari apa yang udah terjadi hari Sabtunya. Waktu itu gue udah ambil keputusan bertahan karena gue masih punya hutang satu buku yang sedang gue kerjain. Gue nggak pengen ninggalin begitu aja karena gue nggak tega sama yang harus ngelanjutin nanti. Tapi gue tahu, gue udah nggak sanggup bekerja di sana. Terlalu banyak ketidakadilan dan kemunafikan, gue nggak mau terkontaminasi. Rencana gue adalah untuk terus bekerja sambil mencari kerjaan lain.

Akhirnya, gue memang bertahan sambil berusaha menyelesaikan pekerjaan gue. Gue akuin gue udah males kerja, nggak kayak dulu. Sebelomnya, kalo menjelang deadline gue bisa kerja enam hari seminggu sampai larut malam, bahkan pernah nginep. Sekarang, gue kerja dengan santai dan nggak ngotot.

Hingga akhir bulan datang dan tenggat pertama pun datang. Gue gagal memenuhi deadline gue. Dummy buku gue belum selesai. Gue inget tenggat itu hari Kamis karena sehari kemudian gue menerima sepucuk surat cinta dari Beti yang isinya adalah Surat Peringatan kelalaian gue memenuhi tenggat. Dari 12 editor junior yang ada, nggak ada satupun yang bisa memenuhi deadline yang sangat ketat dan nggak masuk akal itu. Tapi hebatnya, surat cinta itu hanya dilayangkan untuk gue seorang.

That's it! Gue tahu Beti bermaksud menyingkirkan gue secara prosedural, dengan melayang tiga kali surat peringatan. Gue nggak mau diperlakukan seperti itu. Gue udah berikan janji gue ke SDM setelah peristiwa kedua bahwa gue tetap akan bertahan sampe buku gue selesai. Tapi kalo gue diperlakukan seenak udelnya kayak gini, gue nggak merasa perlu memenuhi janji gue lagi.

Hari Sabtu gue buat surat ke bos dengan tembusan ke SDM dan Beti yang menyatakan gue mengundurkan diri. Gue udah nggak peduli dengan buku yang setengah jalan itu. Gue nggak mau ambil pusing editor lain ribet ngerjain buku itu. Gue cuek kalo harus nganggur dulu. Gue nggak masalah sama bonus dan pesangon yang nggak gue terima dari penjualan buku. Gue nggak bakalan jatuh miskin cuma gara-gara duit yang nggak seberapa.

Yang penting gue merdeka.

Monday, February 14, 2005

Peraturan nomor tiga: “KELUAR KAU, RIO!"


Beti menatap nanar ke arah anak buahnya satu per satu. Wajahnya geram dan kumisnya yang masai itu membuat wajahnya semakin garang. Sebenernya dia lebih cucok jadi preman di Pasar Senen sana dengan muka tempurnya itu daripada kepala editor sebuah penerbit. Semua diam nggak ada yang bicara.

Tiba-tiba keheningan sesaat itu pecah oleh gelegar suara dan tatapan matanya yang menusuk ke arah, ndilalah, gue. "Coba jawab Rio," kata Beti. "Sudah sampai mana kerjaan kau hari ini?"

Gue kaget mendengar pertanyaan yang dia ajukan dan dengan gelagapan gue jawab sejujurnya, "Nggak banyak beda dengan kemaren, Pak."

Mendengar jawaban polos gue, Beti tambah meradang. "Dan kau berani pergi padahal kerjaan kau belom selesai, Rio?! Kalau memang suka sekali kau mengurus MAYAT, kenapa kau tidak bekerja saja di krematorium Cilincing sana! Banyak mayat yang bisa kauurus! Bukan itu kerjaan kau di sini!"

What?! Mendadak gue ngerasain darah gue mendidih sampai ke ubun-ubun, dan nafas gue mulai tersengal-sengal pertanda gue berusaha menahan kegeraman gue, mata gue melotot persis banteng ngincer kain merah yang dilambaikan matador. Dan gue mengepalkan jari-jari tangan sambil menahan diri untuk nggak maju dan nonjok mulutnya yang (kayak) nggak makan sekolahan itu.

"Kalian semua," dia mengalihkan pandangannya ke arah semua anak buahnya yang kebanyakan berdiri sambil menundukkan kepala. "Apa kalian tidak sadar dengan tanggung jawab pekerjaan kalian? Kenapa kalian tak berangkat jam setengah satu setelah jam kantor selesai?" cerocos Beti lagi.

"Coba kau, Diana," sergahnya sambil mengganti korbannya dan membalikkan badannya ke arah teman editor junior lain yang ada di sebelah kirinya. "Kau kasih aku satu alasan kenapa kau pergi melayat padahal masih jam kantor!"

Diana menjawab dengan suara lirih, "karena rencananya jenazah akan dimakamkan setelah Dzhuhur, Pak. Jam 12."

Beti mendengus tak puas.

Diana pun melanjutkan, "dan karena menurut agama Islam, makin banyak yang datang melayat, makin ringan langkah mayat ke ku...."

Belum selesai Diana menjawab, Beti langsung menyergah, "Aaahh... tak usah kau berkhotbah segala! Mau jadi mubaligh, kau?!"

Anjrit! Gue asli tambah panas! Muka gue udah kayak udang rebus dan nafas gue udah makin susah diatur. Gue pengen ngelempar kursi ke mukanya!

"Coba kalian dengar ya. Bukan kalian saja yang sedih ibunya si Desi meninggal, aku juga tak kalah sedih. Malah aku ini lebih sedih daripada kalian semua," suara Beti melunak."Tapi aku tahu tanggung jawab kerjaan lebih penting."

Diana menunduk dan air matanya menetes. Teman-teman gue yang cewek rata-rata udah pada nangis. Tapi boro-boro Beti tersentuh, rupanya dia lagi merasakan kenikmatan luar biasa karena mabuk kekuasaan melihat anak buahnya yang ketakutan. Matanya berkeliling mencari sasaran lain.

Dan mengunci sasarannya ke arah gue. Lagi.

Pandangan Beti yang penuh kebencian gue balas dengan tatapan penuh kemarahan yang belum pernah gue rasain seumur hidup gue. Beti pun memuntahkan pelurunya ke arah gue dengan bilang, "Kalau kau, Rio. Apa alasan kau pergi melayat?"

Gue menarik nafas panjang sebelom menjawab tapi tetap nggak bisa menahan getaran suara gue. "Saya setuju dengan pendapat Diana, Pak. Karena Dzuhur nan..."

Beti nggak memberikan gue kesempatan untuk menyelesaikan kalimat karena dia langsung membentak gue sambil memukul meja dengan sekeras-kerasnya, "KEMARI KAU RIO!"

Gue pun berjalan maju sambil menatap matanya dengan penuh murka. Setengah jalan langkah gue terhenti ketika Beti melanjutkan kalimatnya.

"KALAU KAU TAK SUKA CARAKU, KELUAR KAU!" suara Beti menggelegar menusuk gendang telinga gue.

Kali ini kemarahan gue udah nggak bisa gue tahan lagi, gue pun membalas teriakannya dengan suara nggak kalah keras,inget gue lahir dengan built-in THX ya, gue balik membentak bos gue itu, "FINE! SAYA KELUAR DARI SINI!" *errr... maaf ya, kalo lagi emosi jiwa emang darah Londo Kumpeni gue langsung kepancing, jadi gitu deh, bahasanya nyampur, hihihi...*

Sambil menghentakkan kaki gue berbalik badan ke meja kerja gue. Dengan geram gue beresin semua barang-barang gue. Yang lain tetap berdiri dan diam dan gue udah nggak tahu apa yang terjadi kemudian. Di meja, gue pun ngeberesin barang-barang milik pribadi gue. Nggak lama kemudian mendadak datang Ibra, supervisor gue, coba ngebujukin gue—belakangan gue baru tahu kalo dia ternyata disuruh Beti.

"Rio, tenang dulu, jangan buru-buru ambil keputusan," katanya.

"Bukan saya yang ambil keputusan itu, Bang. Beti!" jawab gue nyolot.

"Aku tahu, tapi dia kan lagi marah, kau tahu dia lah. Sabar aja dulu."

"Sabar juga ada batasannya, Bang. Dan jadi bos, biar lagi marah sekalipun, juga mesti ada kontrolnya. Jangan pernah memecat orang kalo dia nggak bermaksud melakukan itu. Saya udah nggak punya hormat sama dia! Percuma juga kerja sama dia!"

"Jangan begitu, tenang dulu. Turunkan emosi kau dulu. Keluar lah kau cari angin, sana. Bantu aku, Yo."

Gue nggak tega. Gue kasihan sama Ibra yang mesti jadi tukang sapu sementara Beti yang buang sampah. Akhirnya gue pun ngalah, gue keluar ruangan dan menenangkan diri sambil ngobrol dengan beberapa teman editor yang lebih senior dari divisi lama yang nggak ikutan melayat. Gue juga ngobrol dengan kepala editornya. Semua menenangkan gue dan bilang bahwa sikap Beti udah di luar batas dan dia nggak berhak memecat gue.

Gue juga menghadap kepala SDM di ruang kantornya, dan seandainya hari itu bos gue ada, gue juga pasti bakal nemuin dia. Sayangnya dia sedang pergi ke Amerika Serikat. Sementara Kepala SDM gue menegaskan semua dukungan yang gue peroleh dari yang lain bahwa Beti udah keterlaluan dan dia nggak bisa mecat gue karena yang mengambil keputusan menerima gue bekerja adalah Bos, direktur dan pemilik penerbit tempat gue kerja. Dia juga minta kalo hari Senin gue tetap harus masuk bekerja seperti biasa. Sore itu Beti dia panggil.

Tapi ketika Senin gue masuk kerja seperti biasa, drama itu belum selesai.

Saturday, February 12, 2005

Peraturan nomor dua: bila bos salah, ingat peraturan pertama


AWAS LO YE: Tulisan berikut ini penuh berisi kata-kata mutiara sehingga yang belom cukup umur, plis ya, jangan baca! Buna, Adam, Fira, Oom jewer kamu kalo baca ya! Ntar Oom dibikin telor pindang sama ibu-ibu kamu kalo kamu ngebeoin kata-kata mutiara di sini. Tapi, errr... kalian belom pada bisa baca ya:D?

Hampir satu tahun berlalu. Gue udah nyelesein dua buku dan buku ketiga gue hampir kelar. Belum lagi buku-buku adaptasi dan terjemahan yang jadi tanggung jawab gue juga udah mulai tahap negosiasi sama para penerbit asing buat pembelian hak ciptanya. Gue nikmatin banget kerjaan baru gue. Selain itu, gue sebenernya dapetin kebebasan kerja yang sangat luas yang nggak dirasain temen-temen editor junior lain yang nanganin buku-buku yang berbeda. Gimana nggak, Beti nggak punya kemampuan buat ngacak-ngacak naskah yang gue bikin karena buku bahasa Inggris getoh. Supervisor gue, sebut Ibra, lebih hancur lagi bahasa Inggrisnya. Jadi praktis, gue lebih banyak diskusi sama Mr Konsultan, yang banyak corat-coret naskah gue. Beti juga nggak pede berhubungan sama penerbit-penerbit luar sehingga semua urusan diserahin ke gue. Gue sih cuman lapor aja kalo ada perkembangan-perkembangan.

Selebihnya, yang bisa Beti kerjain cuman ngasih masukan nggak penting kayak, "tak suka aku warna hijau itu Rio, ganti!" Atau, "fotonya besar kali, kecilkan lah!" Gue nurut dan diem aja. Tapi yang paling bikin jengkel ketika satu kali dia ngomong, "tak suka aku lay out kau ini! Ganti! Suruh setter kau bikin lay out baru!" Anjrit! Kenapa lo baru bilang nggak suka sekarang sih, Bet? Ini udah bab 5, monyong! Lah sebelumnya lo setuju sama lay out begini! Gr&^*&^%$!!! Asli, gue jutek setengah mati. Ini orang sinting ya?! Nggak ngargain usaha orang dan udah jelas ngegambarin betapa bodohnya dia yang nggak mampu ambil keputusan! Di mana-mana lay out udah jadi dulu baru dikerjain tuh buku! Gue juga nggak bakal nerusin bikin dummy buku dengan lay out ini kalo belom dapet approval dari lo! Kali ini gue nggak nurut, gue cuman ganti-ganti sedikit. Tapi dasar gak punya konsep, dia juga nggak ngomong apa-apa setelah itu.

Jadi, gue tahu dia frustrasi sama gue. Dia nggak bisa ngacak-ngacak kerjaan gue di luar hal-hal nggak penting kayak foto atau warna itu. Sementara pada dasarnya dia gemar menunjukkan bahwa dia berkuasa dengan cara-cara yang menyebalkan. Mari kita lihat cara dia menunjukkan kekuasaan dan ketidaksukaannya kepada naskah yang dia bisa pahami. Dengan kening berkerut dia membaca dan membalikkan halaman keras-keras sampai tiba-tiba, di tengah keheningan, dia akan langsung berteriak sambil membanting naskah yang sedang dia baca keras-keras ke lantai, "EDITAN APA INI!"

Dan tumpukan naskah itu bertebaran di lantai. Dengan angkuh dan wajah geram Beti bangkit dari singgasananya dan keluar ruangan. Kami semua cuma bisa terperangah dan terdiam. Teman gue, cewek, yang naskahnya dibanting cuma ngumpulin kertas-kertas itu sambil nangis.

Mo maraaaaaaaaaaaaahhh... Rasanya gue pengen tonjok bos gue itu! Kalo kita bikin salah, tunjukin yang bener kek! Lo pikir begini cara ngajarin anak buah yang bikin salah? Lagian, wajar bukan anak buah bikin salah karena itu sebabnya kita masih jadi anak buah! Karena kita masih perlu diajarin! Dan itu sebabnya lo jadi bos! Karena lo dianggap lebih tahu dan pengalaman, tolol! Kalo kita udah pinter dan nggak perlu diajarin lo lagi, ya udah kita aja yang jadi bos, ngapain lo? Makanya lo dibayar lebih mahal karena lo dikasih tanggung jawab ngajarin anak buah lo. Dasar manajer bego!

Susah emang, divisi gue adalah divisi baru yang lebih kecil daripada divisi lama tapi bikin buku yang berwarna dan beda dari divisi yang lama. Divisi ini dibuat karena bos besar pengen bikin buku yang lebih eksklusif tampilannya sementara brand lama udah punya image tersendiri. Dan Beti naik jadi kepala editor dengan nelikung banyak senior editor yang jauh lebih mumpuni cuma dengan satu alasan: dia pinter njilat dan, maaf, faktor sukuisme. Jadi bukan karena kompetensinya dia jadi bos. Dan ini akibatnya.

Tapi, seribu satu kejadian masih membuat gue bertahan bekerja di sana karena gue masih bisa menikmatinya. Hingga hari itu pun datang. Hari yang membuat gue nggak sanggup lagi menikmati bekerja di sana. Gue inget banget hari itu hari Sabtu karena peristiwa itu terjadi ketika kita semua habis senam erobik *Errr... Ipe, jangan ketawa lo , Nyong!* Big Boss gue dan istrinya, yang jadi bos percetakannya, suka banget erobik. Menurut dia, senam erobik itu olahraga murah meriah yang bagus buat para editor yang kerjaannya duduk melulu di meja dan kebanyakan jarang olah raga. Jadi tiap hari Sabtu jam setengah delapan pagi, seorang instruktur datang dan memimpin kita bererobik.

"Yak, satu, dua, tiga, hayo Pak, jangan malas! Angkat tangannya ke atas, Bu! Tariik nafaaas panjaaaaaaang... hembuskan! Sekali lagi! En wan, en tu, en tri! Putar badannya!"

Tiap Sabtu pagi gue harus mengikuti kewajiban yang menyiksa ini. Jangan salah, gue sebenernya suka erobik, tapi kalo dipaksa jam setengah delapan pagi sampe kantor cuma buat keringetan, walaupun di kantor ada kamar mandi yang biasa digunakan setiap habis berolah raga, errr... *oahemm...* Plis deh, gue bukan morning person dan udah gitu instrukturnya basi banget gayanya! Mending si Edo, instruktur erobik di Senayan yang suka gue ikutin sama Isna, Rio's angel *wink*, dulu sebelom dia menikah. Rasanya gue pengen bilang ke bos gue, "Err... kalau mau olah raga, gimana kalo Bapak maen golf aja gimana?"

Eniwei, kembali ke Sabtu naas itu. Pagi itu kita mendapat kabar bahwa ibu dari salah seorang kawan editor junior, Desi, meninggal dunia. Beti menghilang entah kemana seperti biasa dia lakukan setiap Sabtu selesai senam. Merokok ke luar kantor, biasanya. Di seluruh wilayah penerbit dan percetakan yang luas itu emang berlaku larangan merokok. Bos gue trauma karena percetakannya pernah terbakar. Tapi, semua juga tahu, Beti sering ngumpet-ngumpet merokok di ruang kantin. Masalahnya, Sabtu itu dia nggak ada di kantin dan di manapun. Kita nggak bisa minta izin untuk melayat. Hapenya juga nggak bisa dihubungi. Para editor di divisi lama sudah berangkat, sementara kita, yang notabene teman kerja satu bagian, masih ngejogrok di kantor nungguin izin dari bos yang entah menghilang kemana.

Akhirnya, kita ambil keputusan untuk berangkat tanpa izin karena hari sudah jam 11 sementara jenazah rencananya dimakamkan setelah Dzhuhur. Ndilalah, pas kita mau turun dan naik mobil gue, kebetulan gue lagi bawa mobil bokap dan secara kita nggak berani pinjem mobil kantor, mendadak Beti nongol entah dari mana dan langsung menyuruh kita semua untuk kembali ke ruangan kantor. Dalam ruangan dia mengambil posisi berdiri di ujung mejanya, sementara 12 editor junior anak buahnya berdiri mengitar seperti huruf U menghadap ke arah Beti. Gue berdiri pas di ujung berhadapan langsung dengan dia.

Dan, drama itu pun terjadi.

Thursday, February 10, 2005

Peraturan nomor satu: Bos selalu benar


Gue mulai karir di dunia penerbitan udah rada telat. Setelah bolak-balik kerja nggak jelas, gue baru nemuin pekerjaan yang gue banget ketika diterima sebagai editor di salah satu penerbit buku-buku pendidikan terbesar di Indonesia. Dan nggak aneh kalo gue sangat menikmati kerjaan gue secara gue emang kutu buku dan sebenernya sangat suka menulis.

Tapi, Tuhan emang Adil banget yah—walau kalo lagi bete kita sering mempertanyakan keadilan-Nya. Kerjaan udah asyik, temen kerja cihuy, eh, dapet bos nggilani. Beti, panggilan dia, dan ini emang beneran panggilan kita para editor junior ke bos kita itu kalo lagi ngomongin dia, emang sangat luar biasa uedan tenan—harus diucapkan dengan nada penuh kejengkelan dan kejutekan. Beti itu asalnya dari pelesetan singkatan namanya, dan percaya deh, biar Mas Wisa yang paling jago bikin pelesetan juga nggak bakalan nemuin pelesetan yang lebih top markotop daripada Beti.

Okeh, mari kita bahas beberapa aksi nggilani dia. Jangan semua ya, capek nulisnya.

Mari kita mulai pada kejadian di satu pagi yang sejuk, saat tanah yang dibasahi hujan semalam mulai mengering di kehangatan mentari pagi. Dari kejauhan Pasar Klender, tampak seorang laki-laki muda yang imyut sedang berlari-lari kecil mengejar bis jurusan Kampung Rambutan. Sungguh dia masih muda, usianya belum lagi kepala tiga, walau tak berarti kepala tiga sudah tua ya. Namun sayang sunggung sayang, karena terburu-buru berangkat bekerja, dia belum lagi sarapan pagi. Oh sungguh kasihan perutnya keroncongan. (Padahal sarapan pagi kan paling penting ya?)

Maka sebelum memulai pekerjaannya, ia pun membeli sarapan ala kadarnya, di warung nasi depan kantornya. Dan di atas meja kerjanya yang luas itu, dia pun menikmati menu pagi harinya. Nasi uduk dan telor pindang dengan sejumput sambal dan lalap timun. Ah, nikmat rasanya. Ia tidak sendirian, banyak teman-temannya yang sedang menikmati sarapan di meja masing-masing.

Tiba-tiba, seorang pria berusia empat puluh tahun berkumis tipis hiasan tapi sumpah tidak menjadikannya tampan rupawan (makanya jangan mau ketipu lagu), masuk ke dalam ruangan dan dengan wajah menyeringis menahan miris karena gigi menggigis, ia layangkan pandangan ke arah anak buahnya yang sedang asyik sarapan dan langsung menggeram, "Apa-apaan ini kalian sarapan di atas meja kantor! Kotor nanti! Lagian, ini sudah jam kerja, kalau mau sarapan di rumah saja kau!"

Suaranya menggelegar memenuhi sudut-sudut ruangan editor yang luas tanpa sekat itu. Sarapan cowok kiyut tadi tak lagi nikmat, walaupun tetap dihabiskan secara ia selalu ingat pesan mamanya untuk tidak menyisakan makanan. Dan esok harinya, kami semua menerima memo yang berbunyi "DILARANG SARAPAN DI DALAM RUANG KANTOR DAN JAM KERJA."

Ada satu kejadian lain ketika si cowok imyut tadi telah bekerja sekitar satu bulan di tempat barunya itu. Memang, harus diakui, di antara semua teman kerjanya yang masih junior, dia adalah penerima sms paling banyak. Tapi, belum pernah ada yang protes karena si kiyut itu banyak menerima sms dari para penggemarnya. Namanya juga cowok kiyut, wajar kan. *kedip-kedip sambil mbawain ember buat yang udah mual-mual (makanya pake ko*^%m dong)*

Hingga satu senja yang jingga, saat awan hitam menari-nari di angkasa, dan rembulan mengintip tak sabaran, si kiyut tadi dipanggil sang atasan yang berkumis tipis tak rupawan, penuh uban, wajah penuh beban, dengan kostum tak pernah sepadan, ke meja tempat para editor biasa urug rembug membantai setiap naskah yang masuk. Dengan perasaan tak menentu, tak tentu laku, cowok lugu berbaju biru itu, duduk di muka sang prabu, berwajah babu, yang tanpa ba bi bu, berkata "Rio, aku tak suka kau main sms di jam kantor. Itu mengganggu jadwal kerja kau."

Si imyut, yang ternyata bernama Rio itu, menatap tak percaya, dengan pandangan (seolah) tanpa dosa (Doel, IPOD, teteup) seperti tatapan Buna memandang ibunya, hanya mampu tergaga, "baik, Pak," suaranya pelan menjawab.

Waktu berlalu, bulan berganti, Rio semakin menikmati pekerjaannya dan membenci bosnya. Dia sangat menikmati ketika diberi perintah dan wewenang untuk berhubungan dengan semua penerbit dan perguruan tinggi di luar negeri. Walaupun dia heran karena seharusnya urusan itu kan urusan atasannya. Belakangan baru dia tahu, bahasa Inggris atasannya itu ternyata, *errrrr... errr.... aduuuhhh... boleh ya nyela, plissss... gatel nih...* bego! Aduh, leganya.

Ya, bagaimanakah caranya Rio mengetahui bahwa bosnya ternyata memiliki kekurangan dalam bahasa Inggris? Begini ceritanya, pada suatu siang yang terik, ketika kumbang tak lagi mengerik, bersembunyi di balik bilik, dari sengatan mentari yang mencekik, Rio terheran-heran ketika draft surat yang kesejuta kalinya dia buat hampir tidak pernah diperbaiki seolah-olah sudah baik dan benar. Dan sesekali ketika perbaikan dilakukan, lah, errrrrrr... errrrrrr... kan salah grammar-nya (Noval pasti cinta banget deh secara dia polisi bahasa getoh)! Pantesan dia nggak pede korespondensi sama penerbit luar negeri, pikirnya.

Dan satu hal lagi yang baru ia ketahui tentang bosnya sehubungan dengan korespondensi itu. Beti ternyata... gaptek! Nggak pernah berhubungan dengan imel! Jangan-jangan nggak bisa buka imel. Rio menengarai hal ini sewaktu pertama kali ia harus berhubungan dengan penerbit luar negeri. Beti memberi perintah bahwa surat harus dikirim lewat faks, walaupun dengan alasan logis, penghematan, Rio memberi usul untuk mengirimkannya melalui imel. Tapi nehi! Berpuluh-puluh faks Rio kirimkan ke seluruh dunia,dari Amerika hingga Australia, dengan tak lupa, mencantumkan alamat imelnya. Entah berapa sudah biaya. Tapi apa jadinya? Dia berkata, sambil menahan tawa, ketika memberi tahu Beti atasannya, bahwa jawaban sudah ia terima, dari berbagai penerbit dunia, melalui... ya! Imel, sodara-sodara! (Hari gini getoh lho, nggak punya imel, gaptek banget sih lo:P!)

Kembali terjadi, di satu siang yang panas Beti kelabakan mencari si Rio dan menyuruhnya menelepon sebuah perguruan tinggi di Australia untuk satu urusan. Errrr... setelah mendengar apa yang harus dilakukan, Rio bertambah heran. Busyet, itu kan perintah Bos di rapat beberapa waktu yang lalu ke dia, kok belom dikerjain? Dan kenapa gue yang mesti menelepon ya, kan dia bisa nelepon sendiri? Tapi yah, sudahlah, sebagai karyawan yang baik Rio menikmati wewenang baru itu yang sesungguhnyalah sangat sesuai dengan kesenangannya.

Sebagai banceh ring-ring sejati, jari-jemarinya sangatlah luwes, menari-nari di tuts telepon, menekan nomor yang panjang, memberinya kenikmatan yang tak terkira, ngobrol di telepon pula, siapa yang tak suka? Bukan gue ini yang bayar, pikirnya. Lumayan, buat latihan ngomong Inggris kan? Walaupun akibat hobinya bicara, dengan teman-temannya, di telepon ruma(h) *errr... maaf ya, kalo pake 'h" jadi ngganggu rima getoh lho*, sehingga pernah membuat tagihannya, membengkak luar biasa. (Jumlahnya? Errr... want to knooooow aja! Lo mau bayarin? *sambil dengan jutek melototin yang nanya*)

Ternyata, jawaban mengapa Beti menunda, semua teleponnya, ke seluruh dunia, ditemukan ketika untuk pertama, Rio harus berjumpa, dengan konsultan bahasa Inggrisnya. Ditemani Beti Bos Slebor itu ke rumah sang konsultan yang luas dan nyaman di suatu daerah di selatan Jakarta. Beti pun bicara, blablabla, sementara Rio dan Mr Konsultan yang bule Inggris itu memandang takjub tanpa memahami apa yang dia maksud. Dan ketika Mr Konsultan bilang dia tak paham, Beti memandang ke arah Rio yang sama clueless-nya dengan Mr Bule itu. Beti pun menjelaskan apa maksudnya kepada Rio, dalam bahasa Indonesia tentunya, dan selanjutnya Rio mencoba menjelaskan kepada Mr Bule.

Sejak saat itu, Beti tak pernah ikut setiap Rio harus bertemu Mr Konsultan untuk berbagai urusan. Dia hanya menyampaikan pesan dan maksudnya ke Rio. Selebihnya, terserah si Imyut itu lah mau bilang apa.

Sungguh aneh tapi nyata, kok yang kayak begini bisa jadi kepala editor sih?