Hari Kamis kemaren, gue teringat sama si Bondol, teman sebangku gue di kelas III SMP, gara-gara cerita Kenny di mobil Nur dalam perjalanan menuju tempat les. Siang itu, Kenny nggak sengaja ketemu teman SMU-nya yang udah lama banget berpisah sejak temannya itu kuliah di AS. Padahal, kata Kenny, mereka dulu lumayan akrab bahkan duduk satu bangku. Satu cerita kecil yang bikin gue jadi teringat masa-masa SMP gue adalah ketika Kenny bilang bahwa mereka dipisahkan oleh wali kelas karena mendominasi peringkat di kelas dengan jadi juara I dan II. Entah apa dasarnya satu bangku nggak boleh jadi juara I dan II. Mungkin Kenny dan temannya dikira contek-contekan kali ya.
Tapi hal yang sama juga terjadi sama gue dan teman sebangku gue di kelas III SMP, Jhonson ([sic] Plis buat para polisi tatabahasa yang mau protes, ini anak emang nama di aktenya tertulis J-H-O-N-S-O-N. Jadi bukan karena gue dudul salah tulis ya *defense mode on*) What do you expect gitu lho, namanya juga orang Batak bo, hehe.... Selain itu, marganya juga cukup delisius untuk dicela: Bangun, Jhonson Bangun. Secara dia adalah orang Batak pertama dengan marga itu yang gue kenal, jadi sepanjang kita satu kelas bareng, gue sering ngebecandain namanya, “Jhon [sic], lo nggak capek tuh bangun melulu?”
Garing ya? Tapi tahun ’87, itu lucu lhoooo... Adyuh, ketahuan deh gue udah SMP sementara Golda sama Bowo baru masuk TK di Malang, bahkan Primo malah belom lahir kali ya, hehe.... Tapi tolong diinget, gue SMP barengan Pakde Q dan waktu itu Mas Wisa sama Mbak Ria udah pada kuliah lho ya...
Eniwei, di kelas satu dan dua, gue dan Jhonson selalu berada di kelas yang sama. Kelas tiga ternyata kita barengan lagi satu kelas dan duduk satu bangku. Di semester ganjil, gue dan Jhonson kembali mendominasi peringkat kelas dan Jhonson tetap gagal ngalahin gue (syukurin!). Tapi asal tahu aja, gue dan Jhonson nggak pernah contek-contekan. Asli! Bukan apa-apa, biar gue yang orang Padang, tapi kenyataannya justru si Batak itu yang pelit, huh!
Nah, di hari pertama semester genap, wali kelas gue waktu itu, Bapak Malau—guru PMP, melontarkan ide yang sungguh brilian. Katanya ke gue dan Jhonson, “Tak suka aku kalian duduk berdua Jhonson, Rio. Pintar berdua sazanya kalian nanti. Ayo kau pindah ke ke belakang sana, Rio! Duduk saza kau sama si Bondol dan biar si Jungkrik (teman sebangku Bondol yang rambutnya jiplakan persis Simon le Bon van Duran Duran) duduk di depan sama si Jhonson! Biar tambah pintarnya itu si Bondol.”
Oke deh, gue disuruh duduk sama si Bondol yang semua juga tahu emang nggak bakalan mudeng kalo disuruh belajar perbandingan demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila, tapi kalo disuruh membuat perbandingan, maaf, toket siapa yang lebih gede, punya Cingklok ato Cengking (temen kita satu kelas), maka Bondol adalah Einstein. Tapi terlepas dari peringkatnya yang selalu dua digit dan terus berada di divisi bawah, si Bondol anaknya asyik. Tipe cowok badung yang, errr... buat anak emas guru kayak gue, sering jadi panutan sambil hanya mampu berkhayal, “kapan ya gue berani tidur di kelas, bikin jengkel guru sampe ditimpukin pake penghapus, ato dengan cuek keluar kelas kalo dimarahin dan kabur ke kantin buat ngerokok?”
Sejak hari pertama semester genap itu, gue duduk sebangku dengan si Bondol. Dari ke hari gue semakin akrab dengan anak gila ini. Gue pun mengerti kenapa banyak orang yang suka sama dia. Si Bondol, biar bloon, tapi sering sukses bikin cewek-cewek klepek-klepek karena badannya lumayan tinggi besar buat ukuran anak kelas III SMP, tampang lumayan cakep, dan jago basket. Dia jagoan yang setia kawan, baik dalam arti kalo teman berantem, tanpa tanya kiri-kanan pasti ikut ngegebukin lawan temannya, maupun karena dia emang siap ngebelain teman yang lebih lemah. Dia jadi jagoan tanpa jadi bully ato preman yang suka ngegencet orang lain.
Bondol dengan segala keasyikannya itu punya satu kebiasaan yang asyiknya bener-bener asyik sampe bisa dianggap errr... apa ya istilah yang pas... ‘nggilani’ adalah kata yang cocok kali ya. Cuma sedikit orang yang tahu kebiasaan nggilani-nya ini dan mereka yang tahu kebanyakan adalah teman-teman sekelas yang cowok. Tapi dari yang sedikit itu, lebih sedikit lagi yang bisa menyaksikan Bondol beraksi. Mereka yang ‘beruntung’ adalah mereka yang duduk sebangku dengan si Bondol karena aksi si Bondol selalu dilakukan di dalam kelas, ketika semua orang sedang konsentrasi mendengarkan celoteh guru, sementara Bondol mati bosan dan ingin menghibur diri.
Dan nggak lama setelah duduk sebangku dengan si Bondol, gue pun akan menonton aksinya itu.
Di satu pagi yang cerah, matahari bersinar cerah, udara segar membuat pipi memerah, Ibu Shinta Sirait berdiri di depan kelas asyik menjelaskan satu rumus fisika. Dan gue yang nggak pernah suka fisika, sibuk merhatiin dengan serius penjelasan Ibu Shinta. Abis mau gimana lagi, sejak Vita pindah sekolah ke Tegal ikut ayahnya bertugas di sana, sementara Jhonson nggak bisa diandalin karena anaknya pelit dan nggak pernah mau ngasih contekan, maka sejak semester ganjil gue harus belajar fisika sendiri kalau mau bisa ngejawab soal-soal ulangan. Mau nggak mau gue pun konsen ngedengerin Ibu Shinta menjelaskan rumus-rumus pelajaran keparat itu.
Sementara Bondol dengan cepat merasa bosan dan gelisah. Duduknya mulai nggak tenang dan sedikit-sedikit mengubah posisinya. Tapi kemudian suasana jadi tenang dan berlangsung cukup lama. Gue mulai merasa ada yang salah. Biasanya itu anak bakal ngegangguin gue kalo gue terlalu mantengin omongan guru. Ada aja yang dia tanyain. Kediamannya sungguh mencurigesyenkan. There must be something about Bondol neh.
Penasaran, gue pun melirik ke arah Bondol untuk melihat apa yang lagi dia kerjain. Kepalanya tampak menunduk dan matanya agak terpejam. Tapi gue yakin dia nggak sedang tidur karena lengannya terlihat bergerak-gerak. Pandangan mata gue turunkan ke bawah menyusuri gerakan tangannya. Dan ketika pandangan gue terkunci tepat pada jari-jari tangannya yang tampak sedang menggenggam sesuatu di antara kedua pahanya dengan retsleting celana yang terbuka, gue pun kaget dan hampir-hampir berteriak.
“Bondol! Ngapain lo coli dalam kelas!” suara gue mendesis.
Bondol mengangkat kepalanya dan tersenyum sambil terus memainkan, maaf, tunas jantannya (pinjam istilahnya Ayu Utami di Saman) yang tegak dan tegang. “Pinjem penggaris dong, Yo, gue mau ngukur punya gue nih,” katanya tanpa merasa bersalah.
“Enak aja lo!” gue jawab sewot. Sembarangan! Masa penggaris gue mau dinodai buat ngukur ‘barang’-nya?
Tapi bukan Bondol namanya kalo mau dicuekin begitu. Tanpa permisi dia ambil penggaris gue dari atas meja dan menggunakannya untuk mengukur penisnya. “17 senti,” dia mengumumkan hasil pengukuran dengan nada puas.
Sejak hari itu, gue harus membiasakan diri dengan keheningan mendadak dari teman sebangku gue ketika guru sedang menjelaskan pelajaran. Gue tahu sekarang, kalau nggak tidur beneran, maka sangat mungkin Bondol sedang asyik merancap untuk mengusir kebosanannya. Gue udah pernah usul ke dia buat bikin kerajinan tangan yang bisa dilakukan di dalam kelas tanpa ketahuan, merajut ato bikin kristik misalnya;), tapi percuma. Si bondol emang nggak bakat melakukan kerajinan tangan apapun kecuali, errr...ya itu tadi: merancap alias coli alias onani.
Cuma, untuk menghindari bau-bau yang tak sedap dan muncratan muatan yang salah sasaran, gue bikin perjanjian dengan Bondol. Apapun yang terjadi, dia nggak boleh sampe ejakulasi di dalam kelas. Kalo dia nggak tahan, dia mesti keluar dan menuntaskannya di kamar mandi. Coba aja kalo nekad, gue bakal suruh dia jilat semua hasil buangannya itu dan gue nggak bakal mau kasih contekan apapun saat ulangan. Dia terima semua persyaratan gue dan setiap kali dia merancap dalam kelas, gue belagak diam dan cuek.
Tapi di rumah, gue pun masuk dan mengunci pintu kamar, ngeluarin penggaris... dan... huaaaa... jadi pengen ke Mak Erot!
Monday, September 26, 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)